Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYAMBANGI Istana Negara pada Ahad, 15 Oktober lalu, Abdi Negara Nurdin bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Gitaris grup musik Slank itu menemani mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamekas, untuk membicarakan peluang putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto. Hari-hari itu kabar tentang duet Prabowo-Gibran kian santer terdengar.
Pertemuan di Istana digelar sehari sebelum Mahkamah Konstitusi merilis putusan tentang gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Hasil pertemuan dengan Jokowi lantas diceritakan oleh Erry dalam pertemuan telekonferensi dengan sejumlah aktivis, akademikus, dan budayawan.
Erry menceritakan bahwa Jokowi menyimak sarannya. Presiden meminta Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang menemani, mencatat nasihat yang disampaikan Erry. “Kami menyuruh Gibran untuk pulang ke Solo dan melanjutkan tugasnya sebagai wali kota,” kata pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, lewat pesan pendek pada Jumat, 27 Oktober lalu.
Goenawan juga diundang ke Istana, tapi dia absen karena sedang berada di Bali. Ia turut menyimak isi pertemuan dengan Jokowi dari Erry. Cerita yang sama didengar oleh pemain teater Butet Kertaredjasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Goenawan Mohamad di Komunitas Salihara, Jakarta, 28 Juli 2022. Tempo/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Butet bercerita, Erry menuturkan bahwa Jokowi mengaku bingung dan meminta nasihat mengenai dinamika menjelang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi. Erry menyarankan Jokowi memberi pernyataan publik bahwa kepala negara menerima apa pun putusan Mahkamah. “Pak Jokowi berbinar-binar menurut pengamatan Pak Erry,” tutur Butet.
Dalam pertemuan dengan Jokowi, Abdi Slank juga menyerahkan surat yang ditulis Goenawan dan Butet kepada Jokowi. Goenawan, pendiri Komunitas Salihara, tak bisa memastikan apakah warkat pribadinya dibaca Presiden. Sedangkan Butet mengklaim layangnya sampai di tangan Pratikno.
Hingga Jumat, 27 Oktober lalu, Abdi tak merespons pertanyaan yang dilayangkan Tempo ke nomor telepon selulernya. Adapun Erry enggan memberikan penjelasan. “Mohon maaf, saya tak bisa memberi komentar,” ujarnya melalui pesan pendek.
Dalam suratnya, Butet menulis agar Jokowi menyelesaikan masa jabatannya dengan mulus. Putra maestro seni tari Bagong Kussudiardja itu pun menyebutkan bergabungnya Gibran dengan Prabowo Subianto merupakan bencana moral. “Saya masih percaya ada keajaiban,” kata pendukung Ganjar Pranowo ini kepada Tempo di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 26 Oktober lalu.
Butet Kartaredjasa di Jakarta, 23 Oktober 2023. Antara/M Risyal Hidayat
Meminta suratnya diserahkan kepada Jokowi, Butet menelepon Pratikno. Ia berharap Presiden sudah membaca pesannya sebelum Mahkamah Konstitusi yang dipimpin ipar Jokowi, Anwar Usman, bersidang pada Senin pagi, 16 Oktober 2023. Ia juga berharap Jokowi bisa segera bersikap mengenai putusan batas usia calon presiden-wakil presiden dan membatalkan pencalonan Gibran.
Namun harapan Butet pupus. Mahkamah memutuskan calon presiden-wakil presiden berusia minimal 40 tahun atau pernah terpilih sebagai kepala daerah lewat pemilihan langsung. Usia Gibran baru 36 tahun ketika Pemilu 2024 bergulir, tapi ia lolos karena pernah terpilih menjadi Wali Kota Solo. Jadilah pengusaha martabak itu menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo.
Pun Jokowi sama sekali tak menentang pencalonan Gibran. Ia menyatakan urusan penentuan calon presiden dan wakil presiden adalah ranah partai politik. Namun, sebagai bapak Gibran, Jokowi mendoakan dan merestui pilihan politik putra sulungnya. “Jangan mencampuri urusan karena sudah dewasa,” ucap Presiden Jokowi di Surabaya.
Jokowi bukan pertama kali tak mengacuhkan saran masyarakat sipil. Bekas Gubernur DKI Jakarta itu pernah mengumpulkan puluhan tokoh, akademikus, dan budayawan di Istana Merdeka pada 26 September 2019. Waktu itu Jokowi ingin mendengar sikap mereka tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Para tokoh yang hadir menyarankan Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk memperkuat lagi komisi antirasuah. Jokowi pun berjanji menimbang usul tersebut. Namun perpu yang diharapkan tak terbit sampai sekarang.
“Jokowi tak menghiraukan peran masyarakat sipil dalam membangun pemerintahan demokratis,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia yang juga aktivis 1998, Usman Hamid. Usman terlibat dalam perumusan dan deklarasi Maklumat Juanda yang menentang pencalonan Gibran.
Mula-mula Usman menghimpun aktivis 1998 untuk memprotes dinasti politik yang dibangun Jokowi pada Sabtu, 14 Oktober lalu. Di antaranya aktivis 1998 dari Universitas Trisakti, Wanda Hamidah, dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada 1997-1998, Ridaya Laodengkowe.
Mereka menyusun gerakan yang menyerukan kemunduran capaian Reformasi 1998. Dalam diskusi di rumah Usman di Jakarta Selatan, mereka menyoroti penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan keluarga Jokowi. “Reformasi kembali ke titik nol,” ujar bekas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu.
Usman dan kawan-kawan kemudian melibatkan akademikus dan pegiat demokrasi lain untuk memperluas dampak gerakan. Mereka membentuk grup percakapan di WhatsApp dengan nama “Mahkamah Keluarga”. Di grup virtual inilah Erry Riyana Hardjapamekas, Goenawan Mohamad, dan Butet Kartaredjasa bergabung dan memberi sumbang saran.
Dalam percakapan yang dilihat Tempo, seorang anggota grup meminta tak perlu memasukkan kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang dibuat rezim Jokowi. Sebagian anggota grup juga keberatan untuk melibatkan pendengung alias buzzer Jokowi yang kecewa terhadap majunya Gibran. “Pesan Pak Erry agar Jokowi membatalkan pencalonan Gibran dirumuskan di grup ini,” ucap Usman.
Ratusan aktivis ini menolak putusan Mahkamah Konstitusi dengan membacakan Maklumat Juanda di Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Pernyataan itu mengecam Presiden Jokowi yang memberi contoh buruk dengan memperpanjang kekuasaan lewat trah politik.
Wanda Hamidah, kini politikus Partai Golkar yang ikut mengusung Gibran, turut menolak dinasti politik yang dibangun Jokowi. Ia belum mendapat teguran dari pengurus Golkar. Tapi Wanda mengaku sudah menyampaikan sikapnya untuk kritis terhadap keputusan partai yang bertentangan dengan agenda Reformasi 1998. “Saya mengambil risiko itu,” tuturnya.
Dalam perumusan maklumat, bekas politikus Partai Amanat Nasional itu meminta forum menyederhanakan ide dinasti politik. Wanda beralasan tak semua masyarakat memahami makna dan dampak trah politik. Ia menyarankan penjelasan mengenai dinasti dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan antara Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, dan Gibran.
Wanda menyebutkan deklarator Maklumat Juanda akan menggalang lebih banyak dukungan dari masyarakat sipil. Ia berharap aktivis mahasiswa segera bergerak untuk melawan trah politik yang dibangun Presiden Jokowi melalui pencalonan Prabowo-Gibran. “Sulit berharap ada kontrol yang seimbang karena Dewan Perwakilan Rakyat tak berani berbeda sikap,” kata Wanda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Titik Nol di Mahkamah Keluarga"