Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Aktivis Perhimpunan Indonesia yang Tersisa

24 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ternyata bukan hanya Djajeng Pratomo bekas anggota Perhimpunan Indonesia yang masih hidup. Ada beberapa lainnya, meski sedikit. Tempo berusaha mencari mereka, baik di Amsterdam maupun di Jakarta. Memang rata-rata usia mereka sudah sekitar 90 tahun. Berikut ini dua mantan aktivis Perhimpunan Indonesia dan seorang bekas anggota Indonesie Christen Yongeren-perkumpulan Indonesia di Belanda semasa dengan Perhimpunan Indonesia-yang masih segar bugar.

Go Gien Tjwan

Dia Sekretaris Perhimpunan Indonesia pada akhir 1940-an. Go Gien Tjwan kelahiran Malang 94 tahun lalu. Dia menamatkan pendidikan di fakultas sastra di Jakarta. Pada 1945, Go mendirikan Angkatan Moeda Tionghwa di Malang. Setahun kemudian, ia bergabung dengan Partai Sosialis dan menjadi anggota dewan pimpinan partai tersebut pada 1947.

Go juga pernah bertugas di Kementerian Luar Negeri sampai terjadinya Agresi Militer Belanda I. Atas mandat Kementerian Pemuda, ia dikirim belajar ke Belanda dan memilih pendidikan sastra di Leiden. Go juga merangkap kuliah di sosial-politik di Universiteit van Amsterdam. Ia lalu bergabung dengan pergerakan Perhimpunan Indonesia dan menjabat sekretaris. Ia juga berinisiatif mendirikan Kantor Berita Antara Belanda di Amsterdam.

"Sebagai anggota Perhimpunan Indonesia, saya merasa sangat bangga dengan keterlibatan para senior saya dalam gerakan melawan fasisme," kata Go saat ditemui di rumahnya yang halamannya penuh bunga di kawasan Max Havelaarlaan, Amstelveen, Amsterdam. Dia menyebutkan banyak orang takut bergabung dengan Perhimpunan Indonesia karena dianggap organisasi berhaluan kiri. "Saya masih ingat, ketika bergabung dengan Perhimpunan Indonesia, saya diberi briefing oleh M. Natsir dan Soenito," ucapnya.

Karena pro terhadap Republik Indonesia dan anti-Konferensi Meja Bundar, Go dan istrinya, Tilly, di-persona-non-grata-kan oleh pemerintah Belanda. Pada 1953, Go kembali ke Indonesia dan menjabat anggota direksi Kantor Berita Antara sampai 1965. Dia juga aktif di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia dan duduk sebagai sekretaris. Go menjadi wakil golongan minoritas Tionghoa di Konstituante.

Ketika pecah Peristiwa 1965, Go ditangkap rezim Soeharto. Ia ditahan selama empat bulan di Kompi Penyelidik Khusus di Lapangan Banteng, Jakarta. Lepas dari penjara, Go balik ke Eropa. Pada 1966, ia masih dilarang masuk Belanda. Baru pada 1967 ia bisa masuk dan kemudian menjadi warga negara Belanda. Sejak 1968, ia mengajar di Sejarah Asia Modern Instituut voor Moderne Aziatische Geschiedenis di Universitas Amsterdam hingga pensiun pada 1985.

Masa pensiun, bagi Go, bukan berarti berhenti berkarya. Ia banyak menulis buku, di antaranya terkait dengan etnis Cina dan kebudayaannya di Indonesia. Beberapa bukunya berjudul Desa Dadap: Wujud Bhinneka Tunggal Ika (2008); Lenong in the Environs of Jakarta: A Report (1976); Lotgevallen van Chinese immigranten in Nederland, 1911-1940, yang ditulis bersama H.J.J. Wubben (1988); dan persembahan bagi sobat kentalnya, In Memoriam Siauw Giok Tjhan (1982).

Sejak 1988, ia turut mendirikan De Wertheim Stichtung dan menjadi wakil ketua yayasan hingga sekarang. "Saya hidup sendiri setelah dia meninggal," ujarnya sambil menengok foto Tilly dengan mesra. Tilly meninggal pada 4 Februari 2008. Anak perempuan mereka satu-satunya kini menetap di Swiss.

Franscisca Pattipilohy

Suara trem nomor 1 dari luar jendela rumah di kawasan Osdorp, Amsterdam, sesekali menyela pembicaraan perempuan berumur 88 tahun ini. Cisca-begitu Franscisca Pattipilohy dipanggil-berkisah ia datang ke Belanda pada 1947 dan belajar hukum di Universitas Leiden. Kala itu usianya 21 tahun. Awalnya ia bergiat di Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), tapi akhirnya ia bersama abangnya, Frans Pattipilohy, bergabung dengan Perhimpunan Indonesia, yang dianggap organisasi Marxis. Di situ pula ia menemukan jodohnya, pemuda Batak Islam, Zain Nasution. Pada 1951, mereka menikah di Praha.

Cisca adalah anggota Perhimpunan Indonesia angkatan akhir. Dia mendengar para seniornya ikut dalam perlawanan terhadap fasisme Jerman di Belanda. Menurut Cisca, kala itu ada harapan bagi para aktivis Indonesia, dengan ikut membela Belanda, akan terbuka peluang menentukan nasib sendiri. Tapi, menurut dia, harapan itu terlalu naif. "Belanda itu sejak dulu anti-kiri dan anti-komunis. Jangan lupa, Belanda adalah salah satu peletak paham kapitalisme," katanya.

Cisca bercerita, pada 1955, ia dan suaminya balik ke Jakarta. Ia diterima bekerja di Departemen Penerangan dan Tenaga Kerja. Suami Cisca, Zain Nasution, menjadi wartawan di Harian Rakyat. Zain ditangkap begitu meletus Peristiwa 1965. Dia dipenjara di Pulau Buru sampai meninggalnya pada 1975. Cisca ikut diciduk saat Zain ditangkap. "Bayangkan, datangnya dengan tank! Waktu itu anak-anak saya masih kecil-kecil. Saya diangkut begitu saja," ucap Cisca.

Awalnya Cisca diberi tahu bahwa ia dibawa ke Kostrad untuk menjadi saksi. "Tapi, selama delapan hari pertama, saya dibiarkan saja." Karena kondisinya memburuk, Cisca dibawa ke Rumah Sakit Kostrad bagian kandungan. Atas desakan para ibu yang iba, akhirnya Cisca dipindahkan ke penjara Bukit Duri. "Di sana saya tinggal selama sembilan bulan sampai saya ditebus oleh ayah saya."

Sang ayah pula yang mengantarkan Cisca dan keempat anaknya pergi ke Belanda. "Dia takut saya ditangkap lagi," kata Cisca. Untuk menghidupi keluarganya, Cisca bekerja di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden selama lima tahun. Setelah itu, ia bekerja di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) di Amsterdam sebagai ahli perpustakaan dan dokumentasi sampai pensiun. Kini ia mengisi waktu senggangnya dengan melukis. Di dalam rumahnya, hasil karyanya dan lukisan cucu-cucunya dipajang.

Olga Nelly
Looho-Sigar

Olga Nelly Looho-Sigar, 94 tahun, masih menyimpan banyak kenangan semasa kanak-kanak dan remaja tinggal di Negeri Belanda. Mesti bukan anggota Perhimpunan Indonesia, ia mengenal dekat para pengurus dan anggota perkumpulan itu, seperti Setiadjit, Soeripno, Susilo, dan Maroeto Darusman. "Itu nama-nama yang coup di Madiun. Semua teman saya," kata Olga saat ditemui di kediamannya di kawasan Permata Hijau, Jakarta.

Olga sama sekali tidak terlibat politik. "Sampai sekarang saya tidak berpolitik," ujarnya tegas. Di Belanda, Olga menjadi anggota perkumpulan Indonesie Christen Yongeren (ICY). Inilah cikal-bakal Persatuan Kristen Indonesia. Memang, tak seperti Perhimpunan Indonesia yang dianggap organisasi ilegal, ICY diperbolehkan pemerintah berkegiatan.

"Di Belanda hanya ada tiga perkumpulan mahasiswa Indonesia: ICY, Roepi (Roekoen Peladjar Indonesia), dan PI (Perhimpunan Indonesia). Perhimpunan Indonesia selalu (aktif di) politik. Mereka punya slogan lepas dari Belanda," ucap Olga. Kegiatan-kegiatan ICY menjadi wadah untuk saling kontak antar-orang Indonesia di Belanda, bahkan yang bukan anggota ICY sekalipun. Apalagi ICY menyelenggarakan konferensi sebanyak lima kali pada 1941-1943. Kesempatan itu digunakan sebagai ajang berkumpul orang-orang se-Tanah Air. Banyak anggota ICY yang juga menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.

"Dulu orang Indonesia di Belanda erat sekali hubungannya antara Kristen dan muslim. Kalau Lebaran, kami diundang ke Leiden. Kalau ada Natal, mereka datang ke Amsterdam. Dan tiap tahun ada konferensi pelajar ICY," kata Olga mengenang.

Di salah satu konferensi itulah Olga melihat Yap Thiam Hien, mahasiswa fakultas hukum di Leiden, yang kemudian menjadi pendekar hak asasi manusia di Indonesia. Yap kerap berdiskusi dengan kakak Olga, Tom Sigar. Yap juga berteman dengan pacar dan kemudian menjadi suami Olga: Estefanus Looho, mahasiswa farmasi di Leiden. Ternyata pertemanan antara Olga, Looho, dan Yap Thiam Hien diwarisi anak-anak mereka sampai ke jenjang pernikahan. Anak Yap, Yap Hong Ay, yang kuliah di Belanda, dan anak Olga-Looho, Stefan, yang kuliah di Inggris, menjadi pengantin karena sering bertemu dalam kegiatan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Lea Pamungkas (amsterdam), Doddy Hidayat (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus