Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zen Hae*
Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, tapi juga pesta akronim (dan singkatan). Menjelang dan saat pemilulah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi akronim secara besar-besaran. Pemilu itu adalah sebuah akronim, begitu juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol, bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg, capres/cawapres, cagub/cawagub, cabup/cawabup, pantarlih, dan seterusnya.
Tengok juga bagaimana para pasangan (calon) pemimpin menamai diri mereka: WIN-HT (Wiranto-Hary Tanoe), Aman (Annas Maamun-Arsyadjuliandi Rachman), KarSa (Soekarwo-Saifullah Yusuf), sementara pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawireja berakronim "Berkah". Adapun Joko Widodo menjadi "Jokowi", tapi Basuki Tjahaja Purnama malah dipanggil "Ahok", tidak diakronimkan dengan "Bacapur" atau "Basunama".
Begitulah, pangkal soal utama akronim adalah hasrat akan keringkasan dalam berkomunikasi. Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini.
Sejatinya, akronim bukanlah kata. Ia hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan, setidaknya, tiga kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Tapi tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh sepanjang akronim itu bisa "diperlakukan sebagai sebuah kata", karena begitulah pengertian dasar akronim menurut Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).
Tapi bagaimana kita bisa memperlakukan akronim sebagai sebuah kata, dengan cara yang wajar pula? Ambil contoh lain: "Sentra Gakkumdu" (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski menurut syarat pembentukan akronim ia tidak lebih dari tiga suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata terakhir setiap kata, "Gakkumdu" adalah "kata" yang aneh, baik bunyi maupun kombinasi vokal dan konsonannya.
Kedua, pencomotan huruf atau suku kata itu menggiring kita ke dalam perangkap alusi bunyi. Sadar atau tidak, saat membuat akronim, kita membayangkan bunyi yang mirip dengan bunyi kata yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan makna. Misalnya, "pileg" (pemilu legislatif) beralusi bunyi dengan pilek; "caleg" (calon anggota legislatif) dengan calo; sementara "balon" (bakal calon) sebunyi dengan balon.
Tapi lain soalnya dengan "markus" (makelar kasus) dalam kasus Gayus Tambunan. Ketimbang "maksus" yang berpola, wartawan lebih memilih "markus" yang sembarangan. Kita mengenal Markus dalam khazanah Kristen sebagai salah satu rasul atau murid Yesus. Tapi namanya telah dicatut untuk menamai sebuah kejahatan yang bertentangan dengan citranya selama ini. Akibatnya, penggunaan akronim ini sempat diprotes umat Kristen karena dianggap telah mendiskreditkan rasul atau murid Yesus tersebut. Sedangkan pada zaman Orde Baru kita tidak berani memprotes penggunaan akronim "petrus" (penembak misterius), padahal Petrus juga salah satu rasul atau murid Yesus. Penembak misterius semestinya diakronimkan dengan "bakus" atau "bakmis" (jika mengacu pada akronim Perbakin). Tapi dua rancangan itu tidak menarik bunyinya, kurang alusif.
Terakhir, sebaliknya, pembentukan akronim juga menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde Baru, "pemilihan umum" diakronimkan dengan "pemilu", bukan "pilum", "pemilum" (jika mengacu ke pola "ketum"). Tidak juga "pilu", yang mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika pemilu diakronimkan dengan "pilu", akan segera beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya. Jika "pilu" yang digunakan, permainan makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu: pemenangnya Golkar melulu, tidak pernah PPP atau PDI. Sedangkan kini "pemilu" bisa juga dimaknai sebagai "menyebabkan pilu atau sakit hati" akibat munculnya pelbagai sengketa dan kecurangan pemilukada.
Memang, dalam pembuatannya, akronim yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang memilih yang melenceng tapi menghasilkan kemerduan bunyi (misalnya "sisminbakum") atau menyaran kepada harapan dan doa. Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai Hanura, menyingkat namanya menjadi "Win", bukan "Wir", karena dengan "Win" dia berharap akan meraih kemenangan di pilpres nanti. Sedangkan dengan "Wir" terkesan peluangnya akan "terkiwir-kiwir"-sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna Twitter.
Akhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim? Saya menerima akronim sebagai sebentuk kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan. Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi penutur asing. Agar mudah dipahami dalam berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin-bukan membuat akronim atau singkatan.
*) Penyair dan kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo