Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN duduk dan menunduk di bawah temaram lampu dan desakan intel menjadi adegan paling menantang bagi Arswendy Bening Swara saat memerankan tokoh utama dalam film Badrun & Loundri karya Garin Nugroho. Ia didesak mengakui sesuatu yang tak ia lakukan. Ia tak leluasa banyak berbicara. Ia pun tak punya pembelaan kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktor kawakan ini mengakui adegan di tujuh menit terakhir itu sebagai tantangan terberat. “Karena dipaksa mengiyakan apa yang tidak dilakukannya.” Saat itu juga Badrun seolah-olah hendak menunjukkan ia kehilangan identitasnya sendiri. Apa pasal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Badrun & Loundri dibuka dengan adegan seorang pria tua yang menggigil di tengah hujan. Ia berbalut kaus oblong putih dan celana batik basah meringkuk di atas dipan di depan kios penatu yang tutup. Sekonyong-konyong seorang ibu mendatanginya. Ibu yang mengira pria tua itu sedang berjaga kemudian menitipkan sekantong pakaian untuk dicuci.
Sang pria tua membuka kantong yang dititipkan ibu tersebut. Ia mengambil sehelai gamis gading dan kopiah putih. Tak lama kemudian ia pergi membawa serta kantong cucian besar itu. Di dermaga tepi sungai, ia ikut sebuah kapal pergi ke hulu. “Aku ini dari Mekah habis berhaji. Tujuanku selalu hijrah ke mana-mana,” kata pria tua itu, yang belakangan diketahui bernama Badrun, kepada seorang awak kapal.
Badrun, seorang pria asing yang tak diketahui asal-usulnya, tiba-tiba mengenalkan diri sebagai musafir dan sekelebat orang kemudian menjadikannya imam salat serta juru selamat yang kerap didatangi untuk dimintai berkat dan nasihat.
Arswendy Bening Swara dalam sebuah adegan di film Badrun & Loundri. Tim Behind The Scenes Badrun & Loundri
Warga meyakini kemenangan tim sepak bola desa dan kelulusan seratus persen siswa dalam ujian nasional adalah berkat doa “haji gadungan” itu. “Padahal dia kan seorang petualang yang entah dari mana,” tutur Arswendy kepada Tempo pada 13 Januari 2024.
Arswendy mengungkapkan, Badrun menjalani hidupnya dengan memanfaatkan apa yang ia temukan. Saat menemukan gamis dan peci, tiba-tiba ia bisa mengaku sebagai orang yang pulang berhaji lalu dielu-elukan dan dipanggil Pak Guru. Lain waktu saat berseragam aparat milik sosok yang disegani, seketika ia ditakuti. Pakaian cucian yang dia kenakan seolah-olah mewakili suatu aksi kotor dan berbau, tapi luput disadari lantaran tertutup citra yang lebih kuat.
Bagi Arswendy, memerankan Badrun punya tantangan sendiri. Ia harus membayangkan tokoh ini adalah seseorang yang tak diketahui asal-usul dan tujuannya. Orang yang menjalani hidup dengan spontan tapi cukup punya pengetahuan tentang banyak hal. “Dia berubah-ubah, tapi citra yang kemudian melekat pada dia sebetulnya respons masyarakat,” ucapnya.
Untuk menyelami karakter tokoh Badrun, ia juga mempelajari filsafat dan menelusuri pemikiran orang eksistensialis. Badrun selalu mendefinisikan dirinya melalui pilihan-pilihan yang ia buat sepanjang hidupnya. “Dia orang yang apa adanya, kadang juga tidak terlalu peduli pada esensi,” ujarnya.
Sebetulnya, Arswendy melanjutkan, Badrun tak punya intensi untuk membohongi orang. Hanya, saat ia mengaku baru pulang berhaji dan sedang mengembara, perjalanan barunya dimulai. Pada satu waktu ia bisa meyakinkan warga desa sebagai seorang haji yang berilmu. Ia juga rutin mampir di warung makan dan bertemu dengan perangkat desa yang sedang menghadapi pemilihan kepala desa.
Badrun juga menemukan ruang sepinya. Misalnya, dalam adegan mencuci baju dan bernyanyi sendiri, Arswendy mengaku harus membangun suasana batin yang sepi dan menghadirkan perasaan rindu kepada seseorang yang selama ini kerap menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut.
Di sinilah sosok Badrun tampak punya sisi yang ambivalen. Ia seolah-olah punya sisi yang penuh kesadaran menikmati bagaimana orang-orang mengelu-elukannya berkat citra yang ia hadirkan. Namun ia juga merasakan kesepian dan pertanyaan sendiri di benaknya. “Dia biarkan hanyut. Sepi sendiri dan rindu pada yang entah di sela peran yang disematkan masyarakat yang tak ditolaknya,” kata Arswendy.
Karakter Badrun yang seperti bunglon itu Arswendy hadirkan lewat imajinasinya. Sebab, nyaris belum ada referensi yang bisa digunakan untuk menjadi cerminan tokoh seperti Badrun. “Apakah dia memang ingin memanfaatkan kesempatan sebagai sebuah kejahatan atau mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Atau dia berjalan saja gitu tanpa alasan apa-apa,” ujarnya.
Arswendy Bening Swara saat memainkan tokoh Badrun di film Badrun & Loundri. Tim Behind The Scenes Badrun & Loundri
Cerita berlatar kehidupan masyarakat di hulu-hilir sungai juga punya arti sendiri bagi Arswendy. Ia menempatkan Badrun sebagai sosok yang hidup layaknya aliran sungai. “Ia mengalir saja, tahu akan hulu dan hilir. Walau tidak tahu seperti apa hulu dan hilir itu sendiri. Badrun seperti orang yang menjalani hidup tanpa tujuan, tapi tahu ia sedang menuju sesuatu,” ucapnya.
Gambaran tokoh Badrun dalam imajinasinya itu kemudian ia sodorkan kepada sutradara Garin Nugroho. Garin cukup terbuka dan menerima beberapa usul yang Arswendy sodorkan. “Kami berdiskusi cukup intens soal karakter ini.”
Garin Nugroho mengemas film Badrun & Loundri sebagai komedi satire. Ceritanya realis tapi juga mengandung unsur surealisme. Si tokoh utama tanpa sadar terjebak di antara intel yang menelusuri jejak teroris. Kemudian seorang pengembara tanpa identitas tiba-tiba menjadi tertuduh teroris.
Arswendy menuturkan, tuduhan teroris ini juga menjadi sorotan penting Garin. “Ini juga pertanyaan, dari mana sih sebetulnya seorang teroris datang? Betulkah seorang teroris itu teroris? Apakah teroris memang harus seorang muslim? Atau apakah teroris itu juga sebetulnya diciptakan penguasa atau ada tafsir lain?”
Badrun & Loundri menjadi film panjang pertama Arswendy dengan Garin yang menempatkan Arswendy sebagai pemeran utama. Sebelumnya ia terlibat dalam beberapa film Garin, tapi bukan sebagai aktor. Misalnya, pada 2004, ia menjadi pelatih akting untuk film Garin, Rindu Kami PadaMu. Dua tahun berikutnya, ia menjadi ko-sutradara Opera Jawa.
Tawaran peran Badrun ia terima setelah Garin mengajaknya terlibat dalam lokakarya yang diadakan Akademi Film Yogyakarta atau Jogja Film Academy. Ide film muncul saat Garin mengunjungi Forum Sineas Banua. “Awalnya ini memberi pelatihan, tapi jadi berpikir untuk ada output film panjang,” kata Arswendy.
Film Badrun & Loundri menjadi proyek pertama pemeran Purnawinata dalam film Autobiography itu bersama anak-anak muda komunitas film lokal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. “Rupanya, kalau dilatih dan diarahkan dengan matang dan serius, mereka punya potensi besar,” tutur Arswendy.
Kepiawaian Arswendy mengekspresikan berbagai macam emosi dalam film Badrun & Loundri menjadi salah satu alasan juri Film Pilihan Tempo 2023 mengusulkan dia menjadi aktor pilihan. Akting Arswendy yang menunjukkan dia seorang haji dari cara bertutur dan gestur di film Badrun & Loundri juga sangat meyakinkan. Hal-hal itulah yang menjadi pertimbangan para juri menobatkan Arswendy Bening Swara sebagai Aktor Pilihan Tempo 2023.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Sisi Haji Pengembara"