Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALUNAN musik paduan sinden dan hiphop menggoda. Sorotan cahaya tiga proyektor menyulap gedung Mahkamah Agung dan Balai Kota era kolonial menjadi layar, menuturkan kisah tentang alam, ambisi manusia, dan kasih ibu pertiwi. Menteri Kebudayaan Singapura Edwin Tong beranjak mengitari instalasi Wings of Change karya Kumari Nahappan yang berbentuk biji saga. Terbebas dari tugas mengantar Menteri, Arahmaiani berjingkrak ria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulai 19 Januari malam hingga 8 Februari 2024, wajah Galeri Nasional Singapura yang memadukan kedua gedung bersejarah tersebut bertata cahaya. Pameran “Light to Night #8” ini merupakan rangkaian dari perhelatan Pekan Seni Singapura atau Singapore Art Week 2024 yang bertajuk “Art Takes Over”. Lebih dari 60 karya seni, termasuk instalasi interaktif, meramaikan malam cahaya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman intermedia Polandia, Milosh Luczynski, diundang berkolaborasi dengan dua seniman senior, Teo Eng Seng dari Singapura dan Arahmaiani asal Indonesia. Sementara Teo mengajak penyimak festival merayakan warna-warni kehidupan sehari-hari melalui karya Living the Life, Arahmaiani menawarkan pengalaman spiritual bernuansa lingkungan melalui Temple of Love (2024).
Seniman yang lahir di Bandung dan kini aktif di Yogyakarta serta Bali ini menggubah cerita tentang kehancuran dan pemulihan alam dengan memadukan aneka lukisan tanaman, pohon, dan bunga beserta figur ibu pertiwi. Ia menggunakan karya animasi grup Wayang Merdeka dan musik oleh Jogja Hip Hop Foundation. Arahmaiani mengundang partisipasi para pengunjung: ayo, mari menari!
Wajah Arahmaiani yang sedang berjoget di lapangan bersinar seperti seorang darwis yang khusyuk menghayati olah tubuh. Karya Arahmaiani telah dikoleksi oleh gedung-gedung seni di sana. Instalasi I Love You (2009), misalnya, dikoleksi Museum Seni Rupa Singapura. Karya ini dibuat Arahmaiani untuk Biennale Anak. Ia menyajikan bantal-bantal empuk berbentuk aksara Jawi. Jelas-jelas di samping bantal-bantal itu ada tulisan larangan memanjat karya. Tapi undangan tersirat seniman rupanya lebih kuat daripada larangan tersurat galeri. Bantal-bantal yang koyak serta debu jejak kaki dan pantat anak-anak menuturkan kegemasan mereka merangkul dan berbaring di tengah karya bantal berbentuk aksara Jawi tersebut.
Akan halnya di lantai tiga sayap Mahkamah Agung, terdapat karya Arahmaiani lain. Sebanyak 14 bendera Flag Project Jawi (2010) beserta dokumentasi video Crossing Point (2011) hadir bersama karya-karya kaligrafi Ahmad Sadali (1924-1987), A.D. Pirous, dan Haryadi Suadi (1938-2016). Pameran bertajuk “Dimensi Terabaikan” ini menyoroti peran kaligrafi dalam seni rupa Indonesia pasca-1960-an. Bagi Arahmaiani, yang menyelisik citra aksara Jawi, ini sebuah pengakuan sekaligus pelipur lara.
Pada 2005, Arahmaiani kabur ke Singapura setelah diburu kaum radikal Malaysia karena memecahkan piring bertulisan nama Tuhan dalam kaligrafi Arab di Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur. Pada 2003, pertunjukan berjudul Breaking Words (2003) tersebut pernah disajikan di Biennale Venesia, Italia. Di Venesia, pertunjukan itu diakui mengingatkan akan pentingnya internalisasi nilai sebab dunia ini fana. Di Malaysia, alih-alih mengingatkan akan pentingnya menghayati nilai ketimbang memuja berhala, pertunjukannya malah dituduh menghina agama. Sejak itu, ia memilih berkarya dalam aksara Jawi guna mengangkat citra Islam yang sarat kearifan lokal.
Arahmaiani dalam pameran Light to Night #8 di Singapura. Kadel Krishna Adidharma
Kini Arahmaiani hadir sebagai undangan terhormat di Singapura. Benderanya berkibar. Ia menggubah cerita tentang kehancuran dan pemulihan alam dengan memadukan aneka lukisan pohon dan bunga karyanya dengan figur-figur karya grup Wayang Merdeka dalam animasi cergas. Musik oleh Jogja Hip Hop Foundation melengkapi paduan, mengantarnya menari ke ranah seni kontemporer yang mengundang partisipasi penyimak: ayo, mari menari!
Ia tertawa lepas, mengabaikan fotografer Dewan Kesenian Nasional Singapura yang menguntit setiap geraknya. Tatkala ia menari, Miko Malioboro dari Wayang Merdeka dan Milosh Luczynski ikut serta, meski rada-rada canggung di awal. Tak lama kemudian, penonton mulai ikut turun ke lapangan. Ada gairah baru yang memasuki saat penonton berpartisipasi. Pemerhati seni Lawrence Xu terlihat mengambil video pertunjukan tersebut di depan instalasi cahaya Temple of Love. “Ada rasa kehilangan yang mengalun di awal, menyentil hati. Namun, di akhir, ketika animasi terhenti sejenak pada figur si seniman berbingkai bunga-bunga Rafflesia, hadir harapan baru,” ujar Lawrence.
Secara visual, Arahmaiani sengaja memilih citra bunga unik Nusantara sebagai pigura akhir. Tubuh bunga tak berakar dan tak berdaun ini menyatu dengan inangnya. Serta-merta mekar di sepanjang garis atap gedung Balai Kota, bunga itu mengingatkan akan hadirnya simbiosis yang lebih mendalam dengan bumi. “Yang dibilang potret diriku itu lukisan ibu pertiwi,” Arahmaiani menegaskan. Tak perlu lari. Waktunya menari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan Arahmaiani pun Menari"