Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Situs Gunung Padang: Bukit Alami atau Konstruksi

Situs Megalitikum Gunung Padang apakah bukit alami atau konstruksi di atas gunung purba?

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM Terpadu Riset Mandiri yang dipimpin Danny Hilman Natawidjaja menyimpulkan bahwa Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, bukan bukit alami, melainkan sebuah konstruksi berbentuk piramida. Inti piramida terdiri atas lava andesit masif yang dipahat dengan cermat dan diselimuti tiga lapisan konstruksi batuan selama periode glasial terakhir. Periodenya 25-14 ribu tahun sebelum Masehi. Setelah itu, Gunung Padang ditinggalkan selama ribuan tahun sehingga menyebabkan pelapukan yang signifikan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 7.900-6.100 sebelum Masehi, Lapisan 3 yang berada di dekat inti bangunan sengaja dikubur dengan timbunan tanah yang cukup besar. Sekitar satu milenium kemudian, antara 6.000 dan 5.500 sebelum Masehi, pembangun piramida Gunung Padang berikutnya menghasilkan Lapisan 2. Adapun Lapisan 1 yang terluar dibangun antara 2.000 dan 1.100 sebelum Masehi. Studi itu menyoroti keterampilan penyusunan batu tingkat lanjut sejak zaman es terakhir. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya diketahui peradaban manusia dan perkembangan teknik konstruksi canggih hanya muncul pada periode hangat Holosen awal atau Revolusi Neolitikum dengan munculnya pertanian sekitar 11 ribu tahun lalu. Namun bukti dari Gunung Padang dan situs lain, seperti Göbekli Tepe di Turki, menurut tim, menunjukkan bahwa praktik konstruksi yang maju sudah ada ketika pertanian mungkin belum ditemukan.

Tim riset menilai para pembangun Lapisan 2 dan 3 piramida Gunung Padang memiliki kemampuan luar biasa sebagai tukang batu yang tidak sejalan dengan budaya tradisional pemburu-pengumpul. Penguburan bangunan situs sekitar 9.000 tahun lalu menambah intrik. Penggunaan Gunung Padang yang berlangsung lama dan berkelanjutan, menurut tim, masuk akal untuk dijadikan dasar spekulasi bahwa situs ini memiliki arti penting sehingga berulang kali ditempati dan dimodifikasi.

Lanskap Gunung Padang, menurut pengamatan tim, memperlihatkan sebuah bukit terpencil yang memanjang ke arah utara-selatan. Sisi timur dan baratnya disebut simetris dan datar. Ciri khas puncaknya adalah permukaan datar yang di terasnya terdapat batu-batu berdiri alias menhir. Gunung api Gede-Pangrango terlihat di utara. Terbagi menjadi lima teras, garis area situs jika dilihat dari angkasa terlihat seperti cahaya senter yang terpotong-potong. 

Teras-1 (T1) di bagian selatan berukuran 30 × 40 meter. Teras-2 berukuran 20 x 25 meter. T1 dan T2 dipisahkan oleh lereng setinggi 9 meter. Mengarah ke utara, luas teras makin kecil. Tinggi situs Megalitikum itu sekitar 100 meter dari arah gerbang masuk. Sedangkan dari permukaan sungai di bagian utara setinggi 200 meter. Adapun balok-balok batu di situs merupakan batuan beku dari lava yang mendingin berjenis basaltik-andesit dengan sebutan kekar kolom.

Tim menggunakan multi-metode terintegrasi. Surveinya melibatkan kombinasi pemetaan lanskap dan permukaan secara rinci, kemudian pengeboran hingga lapisan inti, pembuatan parit, serta teknik geofisika terpadu yang melibatkan tomografi resistivitas listrik (ERT) 2D dan 3D, radar penembus tanah, serta seismik tomografi. Selain itu, digunakan drone kecil untuk melakukan survei udara tiga dimensi.

Penggalian geoarkeologi dimulai pada pertengahan 2012 dan sebagian besar dilakukan pada Agustus-September 2014. Ukuran parit bervariasi dari 1 × 2 meter hingga 3 × 9 meter di permukaan sedalam 2-4 meter. Sebuah titik lain digali hingga kedalaman 11 meter. Penggalian parit dilakukan secara manual. Adapun pengeboran bertujuan memastikan dugaan adanya rongga bawah tanah yang besar. Operasi pengeboran dilakukan dengan hati-hati agar tidak ada batu megalitik yang terganggu atau hilang. 

Metode geofisika multi-resolusi tinggi dalam skala besar dikerahkan untuk menyelidiki struktur kuno yang luas. Metode ini, menurut Danny, biasa dipakai ilmu kebumian seperti geologi dan geofisika untuk mengeksplorasi peninggalan budaya atau situs arkeologi. Ini khususnya untuk bangunan besar yang tertimbun di dalam tanah. “Penentuan umur tidak hanya memperkirakan umur situs dari keberadaan artefak, tapi juga bisa dari hubungan antara bangunan dan lapisan tanahnya.” 

Pengkritik mengatakan sampel yang diambil menggambarkan umur tanah, bukan bangunan. “Memang benar umur tanah, tapi yang sama dengan umur bangunan,” ujar Danny. Alasannya, situs Gunung Padang dibuat berlapis-lapis. Bagian inti merupakan batuan alami yang dibentuk permukaannya untuk menjadi dasar bangunan. Dari hasil uji karbon diketahui Lapisan 3, sebelum dibangun Lapisan 2, ditimbun dengan tanah berumur sekitar 10 ribu tahun. Tanah itu homogen karena tak punya stratifikasi pelapukan. 

Apa yang menjadi kontroversi antara geologi dan arkeologi dalam studi situs Gunung Padang, menurut Danny, sederhana. Pada dinding antara T1 dan T2 setinggi 9 meter, arkeolog menyebutkan batuannya alami. Sementara itu, tim Danny menyatakan sebaliknya. Dinding itu merupakan batu kekar kolom yang disusun orang. “Kalau ada arkeolog yang tidak percaya, berarti batuan yang disebut alami itu harus dipangkas untuk membentuk lantai teras dan dinding yang rata,” tuturnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bukit Alami atau Konstruksi"

Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus