Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI Soeharto, Ali Sadikin muncul ketika kekuasaan Sukarno sedang merosot. Konsep kontinuitas dan perubahan (continuity and change) dapat menjadi sandaran untuk memahami pelbagai paradoks Gubernur Jakarta 1966-1977 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harry Benda dan Ben Anderson memulai konsep kontinuitas dan perubahan dengan mengkritik Herbert Feith yang menulis The Decline of Constitutional Democracy (1962). Keduanya menganggap Feith mengabaikan sejarah Indonesia pascakolonial yang merdeka dan hendak menjadi negara modern tapi enggan berpisah dengan masyarakat serta negara pramodern. “Mengapa kita harus mengira negara seperti Indonesia akan mengikuti perkembangan demokrasi seperti di Barat?” tanya mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pertanyaan itu, paradoks Ali Sadikin klop dengan konsep continuity and change ini. Mengapa ia sebagai penguasa otoriter Jakarta mendukung dan menjalankan praktik demokrasi?
Jawabannya, Ali Sadikin bagian dari “Vorstenlandse Republik”—konsep kontinuitas dan perubahan menurut sejarawan G.J. Resink. Demokrasi Terpimpin Sukarno ataupun Orde Baru Soeharto, kata Resink, adalah sebuah republik keraton. Soeharto mengaku “manunggal dengan rakyat”, Sukarno mendapuk diri “penyambung lidah rakyat”. Konsepsi ini berkaitan dengan kekuasaan otoriter yang diterima Ali Sadikin dan Soeharto melalui cara masing-masing. Soeharto melalui Supersemar 11 Maret 1966, Ali Sadikin melalui pengangkatannya sebagai Gubernur Jakarta pada 28 April 1966. Ketika melantiknya, Sukarno berkata, “Saya supplant kepadamu sebagian saya punya kalbu ini, saya masukkan di dalam kalbumu.”
Sampai di sini jelas mengapa Susan Blackburn dalam 400 Tahun Jakarta menempatkan Ali Sadikin sejajar dengan Soeharto dalam segitiga kekuasaan dengan Sukarno di puncaknya. Ali Sadikin seperti Soeharto yang mewarisi kekuasaan otoriter republik keraton. Soeharto dingin elitis, Ali Sadikin hangat merakyat. Ali Sadikin anak priayi yang bunuh diri kelas, Soeharto anak petani yang naik kelas jadi priayi. Ali Sadikin benci feodalisme, Soeharto sebaliknya.
Paradoks ini tecermin pula dari rumah tempat tinggal keduanya. Soeharto di “Jalan Cendana”, Ali Sadikin di “Jalan Borobudur”. Jika memakai kacamata Resink, keduanya adalah “keraton” yang berkontes. Jalan Cendana dilingkupi nama jalan yang diambil dari nama pepohonan—Tanjung, Rasamala, Jambu, Sawo—menjadi pusat kekuasaan baru sebagaimana pewayangan mulai dibangun di tengah hutan. “Keraton” Ali Sadikin di jalan yang mengambil nama dari peradaban Jawa yang besar. Dari kedudukan masing-masing, mereka mengembangkan dikotomi kekuasaan yang lebih bersifat moral dan politik.
Puncak paradoks Jalan Borobudur vis a vis Jalan Cendana itu paling gampang terlihat dari Petisi 50, kelompok kritis yang mengoreksi penyelewengan Soeharto. Selama 20 tahun, Petisi 50 berkantor di Jalan Borobudur dengan Ali Sadikin sebagai ketua kelompok kerjanya. Tapi saat masih menjabat Gubernur Jakarta pun rumahnya itu telah menjadi simbol poros baru demokrasi.
Hariman Siregar, pemimpin gerakan mahasiswa 15 Januari 1974, mengenang bahwa Ali Sadikin kontras dengan Sudomo, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang merepresentasikan Jalan Cendana. Pada 16 Januari, Ali Sadikin menemui Hariman di kampus Universitas Indonesia karena ingin mendengar penjelasan langsung yang diinginkan para mahasiswa. Sudomo mengirim orang menjemput Hariman, lalu dengan kata-kata yang meledak-ledak, menyalahkan seraya menangkapnya.
Penyair dan dramawan W.S. Rendra mengatakan Ali Sadikin bertolak belakang dengan umumnya pejabat Orde Baru. Sementara mereka sungkan menyikapi korupsi, Ali Sadikin sebaliknya. Ia justru memuji dan menyambut aksi mahasiswa serta para intelektual yang ingin menggelar malam tirakat antikorupsi pada 15 Agustus 1970. Sebagai gubernur, ia bersolidaritas dan mengusulkan gerakan memadamkan listrik 15 menit pada pukul 11 malam. Jakarta pun gelap gulita malam itu oleh Ali Sadikin yang bertindak sebagai veritatis splendor, orang yang memberikan sumbangan relevan dalam pergulatan hidup banyak orang yang mendambakan gemerlap cahaya keadilan dan kebenaran.
Dalam catatannya yang ditulis di Kompas 19 Agustus 1970 itu, Rendra pun berusaha memahami Ali Sadikin dalam konsep continuity and change. Tanah raja-raja alias Vorstenlanden, bagi dia, bukan hanya tempat lahirnya raja-raja absolut, tapi juga para republikan. Dalam teater, Ali Sadikin seperti ludruk yang “urakan” tapi dihargai masyarakat Jawa. Dengan kekasaran dan kekurangajarannya, ludruk menjadi jendela masuknya pembaruan. Masyarakat terpesona pada kepekaan dan kegagahan “orang urakan”/republikan yang mendobrak keelokan demi perbaikan.
Sebagai veritatis splendor, biografi “orang urakan” ini menjadi ringkih karena cap “tukang gusur”. Visi Sukarno menjadikan Jakarta metropolitan dunia dan keinginan Orde Baru menjadikan Jakarta pusat investasi asing membuat Ali Sadikin menggusur untuk membangun. Jakarta pun berubah dari bentangan bangunan-bangunan kumuh menjadi kota yang tertata cukup baik dengan jalan-jalan raya modern yang sisinya dihiasi bangunan-bangunan megah dan beberapa pusat rekreasi.
Ali Sadikin mengakui jalan-jalan modern itu hasil pelebaran yang tanahnya ia minta dari kerelaan masyarakat tanpa ganti rugi. Selain tidak cukup punya uang, ia menganggap masyarakat diuntungkan oleh pembangunan itu. “Kami tinggal di Karet Kubur, jalannya semula 6 meter dilebarkan sampai 50 meter, tanah kami kena segitu banyak tidak diganti,” Abdul Chaer mengenang.
Ini mewakili kenangan banyak orang Betawi tentang Ali Sadikin. Citra “tukang gusur” kuat membayangi dan mengganggu Ali Sadikin sebagaimana tecermin dalam buku pelepasannya sebagai gubernur, Menggusur dan Membangun (1977). Di sini ia membela diri, tak mungkin membangun tanpa menggusur, katanya. Ia menjelaskan betapa hati nuraninya merintih setiap kali memerintahkan penggusuran, karena itu ia tak berani melihatnya. Ali Sadikin takut terpengaruh oleh belas kasihan lantas membatalkan penggusuran itu sehingga ia gagal membangun Jakarta.
Rintihan itu didengar pembela demokrasi Adnan Buyung Nasution. Ia menemui Ali Sadikin yang terbaring sakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengusulkan pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk membela rakyat korban penggusuran. Pada 28 Oktober 1970, Ali Sadikin mengukuhkan berdirinya LBH. Ia menjadi pelindung dan mendanai 80 persen kegiatan operasionalnya. Setahun setelahnya, di mana-mana LBH berantem dengan Ali Sadikin. Ada ratusan perkara dengan pemerintah DKI Jakarta sebagai tergugat. Mayoritas kasus penggusuran. Ali Sadikin tak menyesal menjadi “korban” lembaga yang dibantunya ini.
Lain halnya para korban penggusuran. Susan Blackburn melaporkan sedikit sekali yang bisa dilakukan LBH. Kasus-kasus penggusuran biasanya telat dibawa ke LBH. Penggusuran sudah terjadi dan para korbannya tercerai-berai, patah semangat. Karena pemerintah kota menolak membawa kasus-kasus ini ke pengadilan, LBH hanya bisa bernegosiasi.
Susan menyoroti Proyek Perbaikan Kampung Muhammad Husni Thamrin (MHT) yang dianggap sebagai bukti keberpihakan Ali Sadikin kepada orang kecil di kampung-kampung. Namun, dalam skala luas, Proyek MHT sangat kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran lain. Dana perbaikan kampung tempat tinggal sekitar 60 persen warga Jakarta hanya menyedot 15-29 persen anggaran Jakarta.
Sebagian besar anggaran tersedot untuk pembangunan fasilitas, seperti jalan, listrik, dan air leding untuk orang-orang berada. Pada masa akhir jabatan Ali Sadikin, hanya 15 persen warga Jakarta yang mendapat fasilitas air leding. Kelompok minoritas ini membayar air lebih murah dibanding orang di kampung-kampung. Bahkan anggaran pendidikan yang peningkatannya paling besar tak digunakan maksimal untuk mendidik warga miskin kota. Pada 1971, hanya setengah dari jumlah anak usia sekolah di Jakarta yang bersekolah. Ini terjadi karena jumlah sekolah atau guru yang minim plus biaya sekolah yang mahal.
Mungkin berlebihan mengkritik program-program Ali Sadikin bagi orang miskin. Apalagi untuk membiayainya ia telah menempuh jalan penuh risiko dengan melegalkan judi sehingga harus menanggung cap “gubernur maksiat”, “gubernur judi”, dan istrinya pun kena sebutan “madam hwa hwe”. Ali Sadikin berkali-kali menegaskan ia adalah orang yang terbuka terhadap kritik. Pembaruan dan kemajuan, kata dia, tidak akan ada tanpa kritik.
Barangkali Ali Sadikin mirip dengan Frederick II, Peter I, Catherine II, Maria Theresa, Joseph II, atau Leopold II. Mereka penguasa otoriter abad ke-18 yang membawa pembaruan penting bagi masyarakatnya. Sebagaimana dicatat A.H. Johnson dalam The Age of the Enlightened Despot (1920), mereka berusaha keras mengejawantahkan gagasan pencerahan melalui reformasi hukum, sosial, dan pendidikan serta mewariskan aneka institusi penting bagi kemanusiaan, pengetahuan, dan kebudayaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ali Sadikin sebagai Veritatis Splendor"