Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ali Sadikin pernah diajukan oleh mahasiswa sebagai calon presiden.
Ali Sadikin tampil sebagai tokoh oposisi setelah tak menjadi Gubernur Jakarta.
Presiden Soeharto berang dan anggota Petisi 50 ditekan.
DUA pemuda berdiri di dekat jalan masuk Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Senin, 27 Juni 1977. Mereka mengenakan kaus putih bergambar Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan tulisan "Dia Terbaik, Kita Pilih Pemimpin Terbaik". Ungkapan itu dipungut dari "Why Not the Best?", slogan Jimmy Carter dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah Dipo Alam dan Bambang Sulistomo. Dipo adalah mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Sedangkan Bambang adalah putra Bung Tomo, tokoh pertempuran 10 November 1945, dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UI yang pernah ditahan karena peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, mereka menggegerkan Republik karena mengajukan petisi berisi pencalonan Ali Sadikin menjadi presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan digelar pada Maret 1978. “Presiden Soeharto bukannya tidak berhasil. Tapi percepatan pembangunan memerlukan orang seperti Ali Sadikin,” kata Dipo kepada Tempo pada Rabu, 10 Agustus lalu.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikin bersama Presiden Soeharto (duduk), dan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX dalam pembukaan pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1976. [Dok. TEMPO/Ed Zoelverdi]
Aksi Dipo dan Bambang tersiar di berbagai media nasional dan asing, seperti Asahi Shimbun dan Far Eastern Economic Review. Gerakan mereka kian populer karena kaus putih bergambar wajah Ali yang didesain dan disablon Dipo dikenakan para mahasiswa di berbagai kota. Dijual seharga Rp 350 per kaus, 200 lusin terjual dalam dua pekan.
Beberapa hari kemudian, Dipo bertandang ke kantor Ali Sadikin di Balai Kota. Dipo bercerita, Ali sempat menanyakan alasan Dipo mencalonkannya. “Saya mencalonkan Bapak karena saya tak ingin Pak Harto maju lagi sebagai calon presiden melalui Golkar,” ucap Dipo, yang saat itu berusia 27 tahun.
“Bagaimana kalau kamu ditahan sama Benny Moerdani?” Ali bertanya. Yang dimaksud Ali adalah Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani, Kepala Pusat Intelijen Strategis dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Menurut Dipo, nama Benny Moerdani saat itu angker untuk disebut-sebut. Dipo menjawab bahwa ia siap ditahan sebagai risiko perjuangan.
Setelah itu, Dipo menantang Ali. "Bapak siap enggak kami calonkan sebagai presiden?" tanya Dipo. "Kamu saja berani, masak, saya enggak berani," tutur Dipo menirukan jawaban Ali. Mereka pun bersalaman dan berpelukan.
Man Sekretaris Kabinet Repoblik Indonesia Dipo Alam, di Jakarta, 10 Agustus 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dipo meyakini bahwa Ali menilai gerakan tersebut merupakan upaya memecah kebekuan politik. Soeharto berkuasa sejak 1967 dan menjadi presiden dua periode, tapi tak ada yang berani mengkritik atau tak mencalonkan dia lagi.
Gara-gara mencalonkan Ali, Dipo ditahan tanpa pengadilan oleh Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya yang berada di bawah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pimpinan Laksamana Sudomo.
Sejak Januari 1978, dia mendekam di sebuah tahanan di kompleks Asrama Komando Daerah Militer V/Jaya Tajimalela, Bekasi, Jawa Barat, sebelum dipindahkan ke rumah tahanan Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta. Kala itu, militer menahan puluhan aktivis mahasiswa, politikus, dan seniman, termasuk dramawan W.S. Rendra, dengan alasan pengamanan Sidang Umum MPR.
Kampanye Dipo itu muncul sebulan sebelum Ali Sadikin resmi menyelesaikan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 11 Juli 1977. Dukungan menjadi calon presiden kemudian berdatangan pula dari aktivis mahasiswa dan pemuda di luar kampus yang menilai pemerintahan Soeharto tak demokratis. “Ali demokratis dan membangun peradaban kota,” ujar Dipo.
Setelah pensiun, Ali Sadikin lebih leluasa bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Dia bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang lahir untuk merespons dua ceramah Presiden Soeharto. Pidato itu disampaikan di depan Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, dan di Markas ABRI. Keduanya pada 1980.
Dalam ceramahnya, Soeharto mengingatkan soal “konsensus nasional”, yakni asas tunggal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta jatah kursi ABRI di MPR. Soeharto juga menilai ada upaya merongrong Pancasila dan menyingkirkan dia.
“Daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik satu dari dua pertiga anggota MPR yang ingin mengadakan perubahan agar tidak terjadi kuorum,” ucapnya. “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.”
Hari-hari itu, Soeharto dan keluarganya diterpa berbagai isu, yang semuanya ia bantah. Dalam upacara ulang tahun Komando Pasukan Sandhi Yudha—kini Komando Pasukan Khusus atau Kopassus—pada April 1980, Soeharto mengatakan ada desas-desus bahwa ibu negara Siti Hartinah atau Tien Soeharto menentukan pemenang tender dan menerima komisi.
Pernyataan Soeharto membuat gundah sekelompok purnawirawan jenderal. Bekas pemimpin ABRI yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat itu berkumpul di kawasan Semanggi dan mengundang sejumlah tokoh sipil. Andi Mappetahang Fatwa, pegawai pemerintah DKI yang dipecat karena sering mengkritik pemerintah, hadir di sana.
Pertemuan itu melahirkan “Pernyataan Keprihatinan” yang disusun mantan Menteri Pertambangan, Slamet Bratanata. Pernyataan itu diterbitkan pada 5 Mei 1980 atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang didirikan mantan wakil presiden Mohammad Hatta dan eks Kepala Staf ABRI, Abdul Haris Nasution.
Suasana pemakaman mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen (Purn) Ali Sadikin, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta, 21 Mei 2008.(Dok. TEMPO/ Yosep Arkian)
Pernyataan itu pada intinya meminta Soeharto meluruskan pernyataannya yang membingungkan masyarakat, meminta Dewan Perwakilan Rakyat berdialog dengan presiden sebagai mandataris MPR/DPR, dan menegur penguasa negara.
A.M. Fatwa bersama para aktivis muda bergerilya mengumpulkan tanda tangan sejumlah tokoh untuk mendukung pernyataan keprihatinan itu. Total 50 orang menandatanganinya, termasuk Ali Sadikin; A.H. Nasution; mantan perdana menteri, Mohammad Natsir; eks Menteri Tenaga Kerja, S.K. Trimurti; dan mantan Kepala Kepolisian RI, Hoegeng Iman Santoso.
Pernyataan itu mereka serahkan ke DPR. Sejumlah anggota DPR kemudian mengirim surat kepada Presiden menanyakan apakah rakyat patut mendapat penjelasan mengenai masalah yang diangkat dalam pernyataan itu. Soeharto bersurat kepada Ketua MPR/DPR Daryatmo yang menyatakan bahwa ia yakin DPR memahami makna pidatonya.
Letnan Jenderal Ali Moertopo, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menyebut pernyataan itu "Petisi 50". Dia menilai petisi itu menyinggung pemerintah karena menyiratkan usul pergantian pemimpin nasional.
Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto mengecam kelompok tersebut. "Saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia oposisi yang loyal. Tapi yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya 'Petisi 50' itu tidak saya suka. Cara-caranya tidak saya sukai," kata Soeharto. “Cuma MPR yang berhak menjatuhkan presiden.”
Para peneken petisi menilai Soeharto belum memberikan jawaban memadai. Mereka kemudian membentuk Kelompok Kerja Petisi 50 dan sering berkumpul di rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur atau rumah Nasution di Jalan Teuku Umar.
“Pertemuan itu terbuka, legal. Siapa saja bisa masuk, termasuk mungkin juga intel,” ujar Judilherry Justam, mantan Sekretaris Umum Dewan Mahasiswa UI dan anggota Petisi 50, kepada Tempo, Jumat, 5 Agustus lalu.
Pertemuan biasanya berlangsung pada Selasa siang dan membicarakan berbagai masalah politik, ekonomi, serta sosial. Hasil pertemuan kerap mereka kirim ke DPR dan media massa. Mereka kerap kritis terhadap pemerintah sehingga mengukuhkan posisi mereka sebagai oposisi. Mereka, misalnya, mengkritik masalah korupsi dan menuntut pemilihan umum yang jujur, adil, dan bebas.
Judilherry bercerita, mereka juga mempersoalkan kerusuhan Tanjung Priok pada 12 September 1984. Saat itu massa berunjuk rasa meminta pembebasan empat pembakar sepeda motor milik tentara yang masuk ke masjid tanpa melepas sepatu untuk mencopot pamflet dan spanduk yang mengkritik pemerintah. Diperkirakan 400-700 orang tewas akibat bentrokan warga dengan tentara.
“Terjadi pembantaian terhadap rakyat,” ucap Judilherry. Ketika itu, nyaris tak ada yang mempertanyakan peristiwa tersebut. Kritik Petisi 50 kepada pemerintah atas peristiwa ini dijawab dengan tekanan terhadap anggotanya. Soeharto tidak memenjarakan mereka, tapi ruang hidup mereka menjadi sempit.
•••
SEMBILAN anggota Petisi 50 bertandang ke kantor Direktorat Jenderal Imigrasi di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Jumat pagi, 10 Mei 1991. Mereka antara lain Ali Sadikin, Slamet Bratanata, Hoegeng Iman Santoso, dan Azis Saleh. Mereka ingin mengecek apakah nama anggota Petisi 50 masih ada dalam daftar cegah-tangkal bepergian ke luar negeri.
Rombongan itu diterima Direktur Pengawasan dan Penindakan Kolonel Rahardi di sebuah ruangan dengan meja panjang. Ali salah satu yang angkat bicara. “Saat itu ngomongnya Ali kencang, campur Sunda. Suaranya keras tapi tidak membentak-bentak," tutur Leila S. Chudori, wartawan Tempo yang meliput peristiwa tersebut, pada Jumat, 12 Agustus lalu.
Ali mempertanyakan larangan terhadap mereka yang ikut melahirkan Republik. Adapun Rahardi hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali berkata, “Siap, Pak.”
Anggota Petisi 50 dan keluarganya banyak terkena cekal. Ali Sadikin tak bisa berangkat umrah. Anwar Haryono mengeluh tak bisa berhaji. Istri Azis Saleh tak bisa berangkat ke Belanda untuk menengok kakaknya yang sakit parah. Nasution tak bisa menghadiri undangan sebuah seminar di Malaysia.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo mengaku memerintahkan pencekalan tersebut. Dalam buku Pak Harto: The Untold Story (2011), Sudomo menulis bahwa Soeharto pernah menanyakan apakah keputusan pencekalan itu sudah benar. "Sudah betul, Pak. Saya bertanggung jawab," kata Sudomo.
Pencekalan hanya salah satu tekanan. Anggota Petisi 50 tampaknya sudah dianggap musuh utama rezim Soeharto. Kehidupan mereka menjadi sulit. Keluarga Ali Sadikin tak bisa berbisnis karena permohonan kredit selalu ditolak bank. Untunglah istrinya, Nani Arnasih, adalah putri tuan tanah di Bandung yang punya cukup modal untuk membangun bisnis rumah kontrakan.
Adapun Judilherry Justam diberhentikan sebagai dosen Fakultas Kedokteran UI. “Izin praktik dokter saya juga dicabut,” tuturnya. Menurut dia, Ali sangat marah atas pemecatan tersebut. “Hanya karena menandatangani Petisi 50, jalan hidup orang dipotong,” ujarnya menirukan ucapan Ali.
Berbagai impitan tak membuat mereka berhenti. Setelah reformasi 1998, mereka pindah kantor ke sebuah unit di Ratu Plaza. “Setelah Ali Sadikin meninggal, kami masih di sana karena ruang itu sudah disewa Ali hingga setahun kemudian," kata Judilherry. Hingga kini, mereka masih sering bertemu. Pertemuan berlangsung secara daring selama masa pandemi Covid-19.
Menurut Judilherry, kondisi Ali Sadikin memburuk sejak 2006. Ali menderita penyakit ginjal dan menjalani operasi cangkok ginjal di Beijing, Cina. Judilherry bercerita, operasi itu tak membuat Ali bertahan lama.
Ali Sadikin meninggal dunia pada usia 82 tahun di Singapura pada 20 Mei 2008. Meskipun Ali berhak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, keluarganya menjalankan wasiatnya dimakamkan di atas pusara istrinya, Nani, di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Dalam wasiatnya, Ali menyatakan ingin konsisten dengan ide pemakaman secara ditumpangkan, yang ia terapkan saat menjadi Gubernur DKI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Petisi yang Tertindas"