Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Jalan Politik Ali Sadikin Lewat Petisi 50

Ali Sadikin mulai beroposisi melawan Presiden Soeharto setelah tak menjabat Gubernur Jakarta. Siap menjadi calon presiden.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Anggota Kelompok Petisi 50 diantaranya: Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Slamet Bratanata, Aziz Saleh, dan rekan di Gedung MPR/ DPR RI, Jakarta, 1991. [Dok. TEMPO/ Rully Kesuma]
Perbesar
Anggota Kelompok Petisi 50 diantaranya: Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Slamet Bratanata, Aziz Saleh, dan rekan di Gedung MPR/ DPR RI, Jakarta, 1991. [Dok. TEMPO/ Rully Kesuma]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Ali Sadikin pernah diajukan oleh mahasiswa sebagai calon presiden.

  • Ali Sadikin tampil sebagai tokoh oposisi setelah tak menjadi Gubernur Jakarta.

  • Presiden Soeharto berang dan anggota Petisi 50 ditekan.

DUA pemuda berdiri di dekat jalan masuk Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Senin, 27 Juni 1977. Mereka mengenakan kaus putih bergambar Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan tulisan "Dia Terbaik, Kita Pilih Pemimpin Terbaik". Ungkapan itu dipungut dari "Why Not the Best?", slogan Jimmy Carter dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1976.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Petisi yang Tertindas"

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus