Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemberian gelar doktor kehormatan kepada pejabat, politikus, dan orang berduit terus terjadi.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Brawijaya.
Perlu perbaikan peraturan dan mekanisme pemberian gelar doktor kehormatan.
CARA serampangan sejumlah perguruan tinggi membagikan gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa sudah saatnya dihentikan. Tidak semestinya pemerintah dan pengelola kampus mengakomodasi para pejabat, politikus, dan orang berduit yang sedang keranjingan mendapat gelar pendidikan secara mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obral gelar doctor honoris causa dan guru besar kehormatan oleh kampus sudah lama terjadi dengan pelbagai dalih. Yang mutakhir, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menerima gelar tersebut dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, pada akhir Juli lalu. Senat Fakultas menilai Surya aktif dalam pembebasan sandera di Filipina serta mencetuskan ide restorasi Indonesia, politik tanpa mahar, dan sosiologi politik kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada alasan yang meyakinkan sehingga Surya layak diberi gelar. Pembebasan warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina itu melibatkan banyak pihak, terutama Angkatan Bersenjata Filipina. Adapun ide-ide yang konon Surya lontarkan itu juga bukan lahir dari sebuah penelitian panjang dan pengembangan teori, tapi sekadar pendapat pribadi tanpa pertanggungjawaban akademis.
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Gelar Doktor Kehormatan sudah menggariskan bahwa gelar doktor kehormatan diberikan perguruan tinggi kepada orang yang memiliki jasa-jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemanusiaan. Syarat itu saja sudah menuntut Senat melakukan penyelidikan mendalam dan memiliki pertimbangan yang matang tentang calon penerima gelar. Ukuran keluarbiasaan juga mengindikasikan reputasi tinggi dari sang calon.
Kenyataannya pragmatisme pengelola kampus mengabaikan syarat-syarat tersebut. Demi mendapat dana, akses ke politik, dan anggaran negara atau kepentingan petinggi kampus untuk mendapat jabatan tertentu telah membuat elite perguruan tinggi menutup mata terhadap reputasi sang calon. Makin klop karena banyak calon pemburu gelar doktor kehormatan ikut aktif melobi kampus agar memberi gelar.
Sebuah penelitian pada 2021 menunjukkan belakangan ini memang terjadi lonjakan angka pemberian gelar doktor kehormatan kepada para pejabat pemerintah dan politikus. Selama 47 tahun (1951-1998), kampus-kampus memberikannya hanya kepada 61 orang. Jumlah ini meroket menjadi 150 orang hanya dalam 20 tahun (2000-2020).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim bertanggung jawab atas “inflasi” gelar kehormatan, karena membuat status yang sejatinya istimewa menjadi biasa dan murah. Dia tak dapat berkilah bahwa keputusan pemberian gelar itu sepenuhnya berada di tangan kampus karena peraturan menetapkan bahwa Menteri dapat mencabut gelar yang tidak memenuhi persyaratan.
Pemberian gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa yang melenceng dari tujuannya ini harus dihentikan. Selama belum ada mekanisme yang layak dalam proses pemberian gelar, Menteri Nadiem perlu menangguhkan semua pemberian gelar itu. Tanpa para doktor kehormatan itu pun kegiatan kampus akan tetap dapat berjalan baik. Yang universitas butuhkan adalah pengajar yang menghasilkan gagasan dan temuan bermanfaat, bukan para politikus dan pejabat dengan kepentingan sesaat.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo