Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama setelah Amarzan Loebis meninggal, 2 September 2019, saya menerima sehimpun sajak yang ditulisnya. Sejak akhir 1950-an sampai dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-21, sajak-sajaknya selalu membawa bunyi yang bening, tak pernah “storing”, tak pernah disonan, tak ada kalimat yang gagap. Tapi, pada suatu saat, di dalam itu, ada yang berubah.
Pada 1958 ditulis sajak ini, tentang tempat kelahirannya di Sumatera Utara:
ASAHAN
I
biru warna lautan
kelam mencat kehidupan
tanah rendah rawa-rawa
gubuk-gubuk malaria
II
di sini hati kami
di sini jantung kami
kasih takkan tertunda
selama darah semerah kesumba
III
malam sepekat jelaga
racun menyebar ke tiap rawa
keinginan sudah membatu
doa-doa terpenggal kaku
IV
dendangkan senandung nada tunggal
kedurhakaan kian menebal
tapi hidup takkan mengalah
selagi fajar semerah darah
V
asahan, rimba nipah berpaya coklat
namun di sini keyakinan memadat
asahan, tanyamu yang pahit kujawab pasti
fajar ini tak lama lagi
VI
asahan, asahan rimba kelabu
asahan juang membatu
di depan tengadah dunia yang baru.
Dengan terang-benderang sajak ini mengungkapkan keyakinan yang teguh—iman “realisme sosialis”. Ia dimulai dengan gambaran tentang kesengsaraan (“kelam”, “gubuk-gubuk malaria”, “racun menyebar ke tiap rawa”). Tapi, di bagian tengah, ada statemen perlawanan: “… hidup takkan mengalah/selagi fajar semerah darah”. Dari proses tesis dan antitesis itu, gerak “juang membatu”, mengeras, dan “keyakinan memadat” dengan kepastian: “fajar ini tak lama lagi”.
Dialektik itu berakhir dengan optimisme, tentu. Optimisme: bagian pokok “realisme sosialis”.
Sejak 1920-an di Uni Soviet, ketika doktrin itu dirumuskan dalam Kongres Pertama Sastrawan Uni Soviet pada 1934, di dasarnya ada kepastian akan kemenangan sosialisme. Sebagaimana dipercayai penganut komunisme, tahap-tahap sejarah yang dipaparkan Karl Marx adalah hasil analisis ilmiah, bukan cuma angan-angan, yang menunjukkan kapitalisme akan runtuh dan manusia akan bebas. Revolusi Sosialis 1917 di Rusia dianggap sebagai jalan ke pembebasan itu. Abad ke-20 akan menggantikan abad sebelumnya, yang, dalam kata-kata Maxim Gorky, salah satu pelopor “Realisme Sosialis”, merupakan “abad pesimisme”.
Amarzan Loebis di Pulau Buru, 2006. Dok. Keluarga,
ADA alasan lain: “optimisme” tentu juga bagian dari agenda Partai Komunis Uni Soviet, ketika Stalin, yang memimpin, mengerahkan semua elemen masyarakat untuk ikut dalam “Rencana Pembangunan 5 Tahun Pertama” (1928-1932). Masa depan adalah segala-galanya: sebuah negara modern yang muncul dari rawa-rawa keterbelakangan, sebuah nasib yang diubah drastis, sebuah keyakinan bahwa (meminjam kata-kata puisi Amarzan), “di depan tengadah dunia yang baru”.
Untuk “dunia yang baru” itu semua dikorbankan. Maka pembangunan pertanian kolektif, pabrik baja, tenaga listrik, dan lain-lain berdiri cepat, dengan antusiasme ataupun paksaan. Rencana 5 Tahun itu sukses, tapi puluhan ribu orang tewas, kelelahan, kedinginan, atau ditembak mati atas nama Stalin. Banyak kehilangan, antara lain kebebasan kesusastraan. “Realisme sosialis” digariskan sebagai cara mengadaptasikan kreativitas dengan kebebasan yang dipangkas itu.
Tapi sudah sejak sebelum Stalin, Lenin, yang memimpin Revolusi, menjelaskan perlunya penangguhan (bukan penghapusan) kemerdekaan. Pada 1905, Lenin mengatakan, dengan sedikit berlebihan, kebebasan kesusastraan hanya bisa ada setelah masyarakat kapitalis berakhir. Sebelum itu, tidak. Maka kesusastraan harus jadi bagian dari perjuangan pembebasan—dengan mengikuti garis Partai. Semangat partlinost, kepatuhan kepada Partai, harus diresapkan. Mikhail Sholokhov, novelis pemenang Hadiah Nobel pada 1965, membenarkan kepatuhan itu bukan sebagai kekangan. Katanya, dengan sikap seorang apologis: “Tiap kami menulis mengikuti tuntunan hati, tapi semua hati kami milik Partai….”
Ada partlinost juga dalam “Asahan”. Amarzan bukan anggota Partai; tapi ada kaitan rapat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tempat ia bergabung, dengan Partai Komunis Indonesia. PKI adalah pelindung dan pemberi arah.
Tapi kemudian, sebagaimana banyak hal lain dalam guncangan keras sejarah Indonesia, keadaan berubah. Dengan trauma.
Setelah 1965, setelah Partai yang dipimpin Aidit itu terjebak dalam kesalahan fatal yang bernama “Gerakan 30 September”—dan sekian ratus ribu kadernya dihabisi kekuatan “Orde Baru”—saya melihat Amarzan mengenang Partai dengan rasa kecewa yang dalam.
Amarzan Loebis (kiri) dan Goenawan Mohamad di Pulau Buru, 2006. Dok. Keluarga,
Meski demikian, saya merasa tetap ada harga diri, integritas, dan kearifan dalam sikap Amarzan, hal-hal yang membuatnya tak mengumbar kekecewaan itu. Setidaknya dalam percakapan dengan saya. Hanya sesekali saya dengar umpatannya kepada PKI.
Ia memang tak menghormati Aidit. Seperti umumnya banyak orang Lekra, ia mencintai Njoto, tokoh nomor dua dalam Politbiro. Bisa dimengerti: Njoto seorang sastrawan dan pemikir yang pantas dikagumi—juga pelindung dan panutan sastrawan Lekra yang tak bisa bersikap doktriner dalam memahami “realisme sosialis”. Pada 1965, Njoto juga dibunuh tentara, meskipun, menurut Amarzan, pemimpin PKI itu tak ikut dalam rencana Aidit dengan “G30S”. Kehilangan itu luka yang dalam, yang juga saya rasakan.
SAYA duga dalam periode itulah sajak-sajak Amarzan berubah, baik yang ia tulis ketika dibuang di Pulau Buru maupun sesudahnya.
MANTRA TELUK KAYELI
Ru Nusa Buru
Rinjis tangis burung hantu
Gelap lindap hutan sagu
Latap gilap kusu-kusu
Hum!
Li-li Kayeli
Kapal api masuk pagi
Pinggir jauh kole-kole
Usir pele arumbae
Hah!
(bertudung kabut
berselimut gerimis
menangis Gunung Kepala Madang
meratap rawa-rawa bakau
—Pantai Sanleko
ketika seribu orang pasungan itu
dibariskan menuju dermaga)
Ti-ti Towuti
Kapal api masuk pagi
Trada cakalele trada dansa bakupele
Seribu orang rante
Turun tangga muka cele
Pikul ransel sio rambate
Jauh anak jauh bini
Seribu soldadu pasang parlente
Sepatu kilap senapan kilap
Cuma berani bangsa sendiri
Cis!
Amarzan menulis sajak ini tak lama setelah ia dijebloskan ke pulau itu bersama ribuan tahanan lain. Bagi saya, ini karya yang paling menggetarkan dari masa itu—lebih menggetarkan saya ketimbang himpunan catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Dalam “Mantra”, alam yang purba dan misterinya hadir. Dari kedalamannya ada bunyi yang berulang, setengah seperti gema, setengah seperti kegagapan, atau terkadang seperti ekspresi anak-anak yang bermain-main dengan rima kata: “Ru Nusa Buru”, “Li-li Kayeli”, “Ti-ti Towuti”.
Amarzan Loebis (tengah) dan Arif Zulkifli (kanan) dalam acara Teras Budaya Tempo bertema “Sajak Sepantun Pejalan Gunung: merayakan puisi Amarzan Loebis” di gedung Tempo, Palmerah, Jakarta, Desember 2015. Dok.TEMPO/Wahyurizal Hermanuaji
Pada saat yang sama, kita merasakan kesunyian dan keterasingan yang penuh.
Amarzan selalu peka akan bunyi kata; dalam beberapa bait, segera kita dapatkan gaung “i”, “u”, dan “é”. Yang terakhir ini jarang terdapat dalam bahasa Indonesia, tapi di sini ia muncul, dan kita pun merasakan latar lokal adegan ini, di Teluk Kayeli di Pulau Buru, Maluku—ketika ribuan tahanan politik tiba dengan kapal api di Pantai Sanleko, digiring masuk, berjalan merambat tebing.
Kesan yang sedikit “ceria” dalam permainan bunyi sajak ini justru mempertajam kontras dengan suasana yang opresif di sekeliling: hutan sagu gelap lindap, “seribu soldadu” memamerkan senjata dan seragamnya. Dalam kekuasaan mereka, terbungkuk-bungkuk para “orang rante”.
Tapi tak semuanya terbungkuk. Ada cemooh: “cis”, tentara itu hanya berani kepada “bangsa sendiri” yang tak berdaya.
Sajak ini hidup bukan hanya karena pesan protesnya. Di dalamnya kita bertemu dengan lebih banyak imaji, lebih banyak kesan piktorial, ketimbang dalam “Asahan”. Dalam “Asahan”, warna adalah simbol yang tak segar lagi; “merah” dalam “fajar semerah darah” hanya representasi yang lazim tentang konsep “berani” dan “kiri”. Dalam “Mantra,” “burung hantu”, “ “rawa-rawa bakau”, “gerimis”, dan “hutan sagu” tampil dalam imajinasi kita dengan polos, tanpa menyangga pengertian lain.
DALAM sastra “realisme sosialis” ada sesuatu yang diutamakan: ideinost, di mana ide mesti hadir, sebagai elemen, atau penunjang, ideologi.
Maka tiap kata harus berarti. Ia harus diarahkan; “merah” tak dibiarkan hanya jadi warna yang tercerap mata, tapi juga sebagai wadah sebuah ide. Dalam sastra yang diberi tugas membawa pesan, kata tak bebas dari apa yang disebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai “beban pengertian”.
Dan puisi pun jadi discourse: kalimat berbaris menegaskan sebuah pendapat—yang umumnya sudah siap pakai, bahkan sudah bisa kita duga. Tapi, pada saat yang sama, di situ puisi kehilangan “yang-lain” dari dirinya: kehilangan keheningan, yang sebenarnya selalu membayanginya bagaikan hantu.
Sebab, yang membuat puisi masuk tertanam dalam diri kita, dan jadi tenaga puitik yang menyentuh, bukanlah deretan kata yang menakjubkan, melainkan keheningan di celah-celahnya. Ada yang tak transparan dalam baris, dalam bait, dan kita merasakannya; kita diundang untuk meresponsnya.
Dalam sajak-sajak Amarzan, tenaga puitik ini sangat kuat ketika muncul dalam frasa-frasa yang pendek, yang seakan-akan dilanjutkan senyap:
burung-burung gagak
dari utara
telah tiba dinihari tadi
menatap sabar lampu
kota yang lindap
menjelang senja
Di sini imaji-imaji—pemandangan yang konkret—kembali muncul: gagak, langit menjelang senja, lampu kota….
Mereka bukan benda-benda yang dijejerkan dalam tata simbolis seperti halnya rambu-rambu lalu lintas yang sudah tertentu acuannya. Mereka membiarkan kita menikmati kehadirannya, antara jelas dan tak jelas, dengan kejutan-kejutan yang muncul tanpa diawali huruf kapital. Semua seakan-akan belum selesai. Semua menyimpan hantu yang samar.
Di sana, ideonost tak berkuasa.
MUNGKINKAH puisi Amarzan berubah karena penjaga ideonost, yakni Partai, tak ada lagi? Mungkinkah karena semboyan “Politik sebagai Panglima” yang terkenal itu tak lagi diartikan sebagai keniscayaan peran Partai—dan ia tak lagi percaya, seperti Mikhail Sholokhov yang hidup dalam haribaan Partai Komunis Uni Soviet, “semua hati kami milik Partai”?
Ada sebuah sajak Amarzan yang menarik perhatian saya, mula-mula karena judulnya, “Tentang GM”:
setelah selang sehari
burung-burung pun terbang
mencari sarang—di negeri yang hilang
kita tak pernah sungguh-sungguh
pulang—
tak pernah
dari berbenah ke berbenah
tangan yang menulis tak kunjung sudah
hingga lampu padam
kota kehilangan arah
engkau memberi tanda pada peta
tapi laut itu telah lama lupa
pada bintang dan mata angin
dan merpati yang kita lepas
mencari Sokotra
tersesat di ufuk tiada.
Saya ingin menduga “GM” dalam judul itu adalah saya. Bahwa Amarzan diam-diam menulis sajak itu—dan baru kemudian saya temukan—makin membuat saya merasakan betapa tak ternilainya persahabatan kami.
Tentu ada yang ambigu dalam kata “tentang” di judul itu. Adakah ia hendak berbicara perihal saya? Atau kepada saya? Barangkali keduanya. Sajak itu menyebut “kita”, dan “engkau”, dan bagi saya, itu sebuah percakapan: sebuah percakapan imajiner, tentang satu soal yang rasanya lebih besar ketimbang hidup pribadi kami masing-masing tapi tak lepas dari dunia yang kami alami, berdua, beberapa puluh tahun lamanya, di sebuah tanah air yang luka, cemar, tapi tak bisa dilepaskan.
Suasana murung meruap: sebuah negeri hilang, ketika burung-burung mencari sarang. Sesuatu terasa tak konklusif, tak sampai garis final. Kita berdua tak pernah sungguh-sungguh pulang. Kita selalu berbenah, selalu siap berangkat lagi. Tangan menulis terus, bukan untuk diri sendiri, tapi tak ada arah. Di akhir sajak, kesia-siaan mencapai klimaks:
dan merpati yang kita lepas
mencari Sokotra
tersesat di ufuk tiada.
“Sokotra”, kata yang pertama kali ini muncul dalam puisi Indonesia, tampaknya menunjuk ke suatu tempat, sebuah pulau kuno di Samudra Hindia, di selatan Yaman. Sejak berabad-abad lampau pulau ini terpencil, dengan penduduk yang terpisah dari Afrika, dan tak banyak orang tahu ia pernah ada.
Tak ada tanda bahwa ia lambang taman firdaus. Jika sajak Amarzan mengatakan ada “merpati yang kita lepas” mencari pulau itu dan tersesat “di ufuk yang tiada”, agaknya ini sebuah alegori tentang pencarian yang tak mengerti lagi apa arti “sampai” dan apa arti “tersesat”. Mungkin riwayat kita—katakanlah sejarah manusia—adalah pencarian yang tak berarah, tak ada akhir, tak ada utopia.
Amarzan meninggal, menitipkan sajak ini dan saya tak mungkin lagi berbicara dengan dia tentang Sokotra itu—pulau yang istimewa hanya karena geografinya yang terpencil, antara diingat dan entah.
Yang saya lihat, tak ada lagi “keyakinan memadat” dan jawab yang “pasti” seperti dalam sajak “Asahan”.
Amarzan Loebis (KIRI), Goenawan Mohamad, dan Djoko Pekik di rumah Djoko di Dusun Sembungan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, November 2011. TEMPO/Arif Zulkifli
Amarzan tampaknya telah menutup satu bab dalam hidup kepenyairannya: realisme sosialis adalah inspirasi dahsyat di masanya, tapi akhirnya sejarah menunjukkan tak ada tujuan yang tercapai, juga masyarakat komunis yang diidamkan.
Jika pernah begitu banyak yang dikorbankan untuk itu, juga kemerdekaan, juga hidup seorang Amarzan, sajak ini mengingatkan: masa depan tak punya peta. Atau tak memerlukannya. “Laut… telah lama lupa/pada bintang dan mata angin”. Jika ada masa depan, ia membaur dalam masa kini.
Saya tak pernah bertanya kepada Amarzan, bagaimana pandangan akhirnya tentang kebuntuan Marxisme-Leninisme yang pernah punya desain pasti tentang masa depan. Saya tak ingin melihat ia seperti diingatkan bahwa proyek Lenin, Stalin, Mao, mungkin juga Castro, gagal dan jadi sekadar nostalgia.
Saya hanya berasumsi, atau berharap: kami bisa berbagi pandangan bahwa, meskipun kesusastraan tak pernah berhenti berperan sebagai bagian emansipasi bagi demos, bagi yang tersisih, “politik” sebagai Panglima tak harus sama dengan Partai sebagai Panglima. Politik adalah la politique dalam pengertian Rancière: pembebasan yang tak bisa berhenti, karena dunia tak pernah sempurna, karena Sokotra tak pernah jelas. “Tangan yang menulis tak kunjung sudah”, meskipun “lampu padam/kota kehilangan arah”.
Jakarta, 10 September 2019.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo