Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iskandar berjalan sendiri menuju tempat pemungutan suara, dua ratus meter dari rumahnya di Bayu, Aceh Utara. Pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Senin pekan lalu, ia telah menetapkan pilihan: Irwandi Yusuf, gubernur 2006-2011, yang berpasangan dengan Muhyan Yunan.
Langkahnya gontai. Trauma belum hilang. Akhir Maret lalu, pria 59 tahun ini dipukuli belasan orang. Kepalanya luka, terkena tendangan sepatu bot yang ujungnya dilapisi besi. Koordinator tim pemenangan Irwandi-Muhyan di Lhoksukon, Aceh Utara, ini mengenali penyerangnya. Mereka temannya ketika bergerilya di Gerakan Aceh Merdeka yang marah karena Iskandar melarang pemasangan spanduk bergambar Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. "Mereka menyebut saya sebagai aneuk bajeung (anak haram)," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di jalan setapak, tak jauh dari tempat pemungutan suara, Iskandar melewati sekelompok lelaki. Di antaranya pria 40 tahun, anak buahnya ketika bergerilya di gunung. Ayah Is, begitu Iskandar disapa, dulu ule sagoe, komandan pasukan GAM setingkat kecamatan. "Ayah Is, coblos nomor lima, ya," kata Iskandar menirukan teriakan pria itu.
Nomor lima merupakan urutan Zaini dan Muzakkir pada kartu suara. Mereka didukung Partai Aceh, tempat para bekas anggota GAM bernaung. Iskandar menoleh ke para lelaki itu dan menjawab dalam bahasa Aceh: "Itu bukan urusan kau." Ia sengaja mengeluarkan suara agak keras agar didengar polisi penjaga tempat pemungutÂan suara.
Iskandar melihat kelompok pria itu juga menyuruh setiap pemilih yang melintas agar memilih "nomor lima". Polisi tak mempedulikan teriakan Iskandar. Ajakan para lelaki di jalan setapak juga dibiarkan. Sore harinya, pada saat penghitungan suara, pasangan Zaini-Muzakkir menang mutlak di tempat pemungutan suara itu.
Meski pemilihan berjalan lancar, pemerintah mencatat 30-an pelanggaran. Sebagian besar berupa kekerasan, termasuk intimidasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menyatakan sejumlah tindakan yang tidak fair pada hari pemilihan terjadi di beberapa wilayah Aceh. Aksi kekerasan juga melibatkan mereka yang dulu sama-sama menjadi gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
Jauh-jauh hari, dukungan penuh diulurkan para tetua GAM kepada Zaini-Muzakkir. Pada Juli tahun lalu, Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haythar, memimpin pertemuan di mesnya, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Pada pertemuan itu, ia mendadak berdiri. Belasan laki-laki yang duduk di meja persegi panjang di depannya terdiam. Malik memerintahkan seseorang menutup pintu ruangan. Ia lalu berbicara dalam bahasa Aceh: "Saya hanya satu kali ini minta tolong kepada kalian: mari dukung Zaini dan Mualim memimpin Aceh."
Muzakkir Abdul Hamid, pengawal Zaini yang datang pada pertemuan tersebut, mengisahkan, Malik ketika itu mengatakan sudah saatnya orang dari Partai Aceh memimpin Serambi Mekah. Ia hanya berbicara sebentar, lalu duduk lagi. Ruangan itu kemudian hening. Semua peserta rapat mengangguk setuju. Mereka bersumpah setia akan mendukung Zaini dan mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf, yang biasa disapa Mualim.
Tujuh belas ketua wilayah Komite Peralihan Aceh, yayasan tempat menampung para bekas kombatan GAM, hadir. Mereka dulu merupakan panglima GAM di berbagai wilayah setara kabupaten. Di antaranya Muharram, yang memimpin Komite Peralihan Aceh Besar, dan Saiful Husen alias Cagee, yang memimpin wilayah Bireuen. Muzakkir Manaf, yang memimpin Komite Peralihan, juga hadir.
Muharram menuturkan, seusai pertemuan kurang dari satu jam itu, Cagee berdiri. Ia mengeluarkan stempel ketua wilayah KPA dari tas. Ia juga membawa map berisi dokumen internal KPA Bireuen. Ia meletakkan stempel dan map itu di atas meja, lalu keluar dari ruangan tanpa berbicara. "Itu simbol tidak setuju dengan rencana Malik," kata Muharram. Dua pekan kemudian, Cagee tewas. Dua peluru menembus tubuhnya di depan warung kopi miliknya di Peusangan, Bireuen.
Sejak itu, suara di kalangan bekas anggota GAM terbelah. Ada yang setuju dengan Malik, ada yang menolak. Kedua kubu, yang pernah bersama berjuang di atas gunung, lalu berhadap-hadapan. Mereka yang menolak Zaini-Muzakkir kemudian mendukung Irwandi Yusuf, yang pernah menjadi juru bicara GAM.
Seorang bekas gerilyawan menjelaskan alasan penolakannya. Menurut dia, Zaini dan Muzakkir terlalu tinggi untuk menjadi gubernur. "Mereka simbol gerakan kami, kini derajatnya di bawah orang Jakarta," katanya.
Berbagai kekerasan di Aceh kemudian terjadi: penembakan, pembunuhan, dan teror. Kedua pihak saling tuding. "Polisi harus berani mengungkap aksi teror dan kecurangan agar tuduhan tidak mengarah kepada kami," kata Zaini, yang diperkirakan memenangi pemilihan, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sejak awal tahun lalu, warung kopi di berbagai pelosok Aceh kian ramai. Topik terhangat pembicaraan mereka adalah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan dan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, dua pasangan terkuat, mengerahkan tim propaganda masing-masing. "Setiap ada kesempatan dialog, anggota tim akan mengajak memilih kami," kata Irwandi. Warung kopi merupakan lokasi favorit penduduk Aceh untuk bertemu.
Tim dari Partai Aceh juga bergerak. Sekretaris tim pemenangan Zaini-Muzakkir, Kautsar Muhammad Yus, menjelaskan, timnya memanfaatkan sel-sel di Partai Aceh dan Komite Peralihan untuk mengumpulkan suara. Sel-sel ini sudah lama terbentuk dan diisi orang-orang yang dulu bersimpati kepada GAM. "Sekarang tinggal memanfaatkannya," ujarnya.
Berbagai klaim juga dilancarkan. Amir, bekas anggota GAM di Batee Ilik, Bireuen, mengatakan Doto'—panggilan Zaini—adalah orang yang paling paham soal perjanjian damai Helsinki. Ia menyatakan ada beberapa poin perjanjian yang belum dikerjakan, terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan Aceh. "Dengan terpilihnya Doto', seluruh isi perjanjian bisa terlaksana," katanya.
Rumor kerusuhan akan meletup bila Zaini-Muzakkir tidak terpilih juga bertiup di desa-desa. Di sebuah kedai di Sawang, Aceh Utara, misalnya, orang yang diduga anggota Partai Aceh kerap meniupkan "teror": Aceh bakal lebih parah daripada masa darurat militer bila Zaini-Muzakkir kalah. "Orang langsung takut. Mereka trauma," ujar Ibrahim, penduduk Peureulak, Aceh Timur.
Zaini membantah kabar miring ini. Ia menyatakan tak mau berperang lagi. Dukungan kepada Partai Aceh, kata dia, diberikan karena masyarakat Aceh tak suka lagi kepada Irwandi, yang dianggap gagal meningkatkan ekonomi Aceh. Zaini lalu mengklaim sambutan kepadanya di berbagai daerah yang ia datangi. "Dukungan masyarakat Aceh kepada kami sungguh luar biasa," katanya.
Mustafa Silalahi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo