Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Anjing Diteliti, Manusia Disebut

Disertasi Terawan Agus Putranto diduga penuh kejanggalan hingga berupa manipulasi rujukan riset. Dianggap tak memenuhi syarat klinis sebagai metode penyembuhan stroke.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto melakukan pertemuan di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 30 Oktober 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIUJIKAN pada 8 Mei tiga tahun lalu di Universitas Hasanuddin, Makassar, di--sertasi sepanjang 121 halaman milik Terawan Agus Putranto diakhiri dengan empat kesimpulan dan -empat saran. Kesimpulan pertama menyatakan tindakan intra-arterial heparin flushing atau metode “cuci otak” berpengaruh dalam meningkatkan cerebral blood flow atau aliran darah ke otak.

Kesimpulan itu terhubung dengan saran nomor empat, yaitu metode “cuci otak” dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan sekunder (deteksi dini) atau tersier (pengobatan) pada pasien stroke iskemik—kondisi saat pasokan darah ke otak terganggu akibat penyumbatan—kronis. Terawan menyebutkan metode “cuci otak” itu merupakan hasil modifikasi terhadap digital subtraction angiography (DSA) serta penggunaan heparin. Disertasi berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing terhadap Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien Iskemik” itu mendapat predikat “sangat memuaskan”.

Kepada Tempo pada Rabu, 20 November lalu, Terawan mengatakan metode itu mulai digunakannya pada 2005. Metode yang dia pakai bisa langsung diterapkan pada manusia tanpa melalui uji klinis yang umumnya dilakukan pada binatang. Alasan-nya, DSA dan penggunaan heparin telah lazim diterapkan pada manusia. “Ya, tidak perlu karena risetnya sudah ada,” ujarnya.

Lima tahun sebelum disertasi itu -diuji, atau pada 2011, metode Terawan menimbulkan perdebatan di kalangan dokter. Saat itu, guru besar ahli saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, -Teguh Ra--nakusuma, memanggil Terawan ke kantornya di Rumah Sakit Cipto Mangun-kusumo untuk mendapat penjelasan ilmiah. Teguh menyebut metode Terawan sebagai revolusi di bidang kedokteran dan menjadi gagasan baru untuk mendeteksi pasien stroke. Ia meminta Terawan membuat pengujian ilmiah untuk metode itu.

Seperti metode “cuci otak”, disertasi Terawan pun mengundang pergunjingan. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Mohammad Hasan Machfoed, mempersoalkan kesimpulan disertasi Terawan. Sebab, belum ada panduan universal yang berbasis bukti medis dalam penanganan stroke. Pendapat Machfoed dikuatkan Teguh, yang menjadi penguji disertasi Terawan. Menurut dia, metode “cuci otak” tidak bisa dijadikan rujukan untuk pengobatan, tapi hanya untuk deteksi dini.

Pembimbing disertasi Terawan, Irawan Yusuf, tidak berkomentar soal penelitian mahasiswanya itu. Tapi, pada 2018, saat metode “cuci otak” kembali dipersoalkan, Irawan menyatakan heparin memang tak berfungsi untuk menyembuhkan stroke. “Fakta yang ditemukan Terawan adalah aliran darah meningkat dengan penggunaan heparin,” ujar Irawan. -Pembimbing lain, Bachtiar Murtala, mengakui riset Terawan tak sepenuhnya sempurna. “Jika Anda tak setuju, silakan bikin penelitian lanjutan,” kata Bachtiar.

Adapun Terawan berkukuh bahwa me-tode yang dia temukan bisa dipakai sebagai terapi. “Kalau ilmunya hanya sampai diagnosis, ya, pandangan dia hanya diagnosis,” ujarnya.

Untuk membuktikan dugaan kejanggalan-kejanggalan dalam disertasi Tera-wan, Tempo dan Tirto membaca ulang di-sertasi Terawan dan membandingkan substansinya dengan rujukan ilmiah dalam daftar pustaka. Hasilnya, sebagian kesimpulan Terawan diduga tidak memiliki dasar kuat.

Terkait dengan istilah intra-arterial -he-parin flushing, misalnya, Terawan merujuk pada tulisan Alexandra C. Durran dan Christopher Watts yang terbit pada 2012. Dalam artikel berjudul “Current Trends in Heparin Use During Arterial Vascular Interventional Radiology”, Durran dan Watts menyatakan fungsi heparin adalah melumasi kateter untuk mencegah pembekuan darah. Kesimpulan ini berbeda dengan pernyataan Terawan bahwa heparin berfungsi membilas pembuluh darah arteri sebagai dasar metode “cuci otak”.

Mohammad Hasan Machfoed. rsisurabaya.com

Tempo juga mengecek artikel ilmiah tentang penggunaan heparin untuk mencegah pembekuan darah. Pencarian dengan kata kunci “flushing dan arterial” di PubMed, situs yang memuat riset kesehatan, menghasilkan 663 artikel, sedangkan kata kunci “flushing dan heparin” menghasilkan 224 artikel. Adapun pencarian menggunakan gabungan kata “flushing, heparin, dan arterial” menghasilkan 43 artikel ilmiah. Artikel itu umumnya merujuk pada pembilasan kateter arteri. Temuan ini dikuatkan keterangan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Hasan Machfoed. “Tidak ada satu pun (literatur) dalam disertasi tersebut yang menyokong bukti heparin bermanfaat untuk stroke,” katanya pada Selasa, 26 November lalu.

Yang juga dipersoalkan kalangan dokter adalah metode penelitian Terawan. Terawan menyimpulkan “cuci otak” terbukti memberikan perbaikan untuk penderita stroke iskemik berdasarkan penelitian pendahuluan pada 2011-2014 di Rumah -Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Persoalannya, kata sejumlah dokter yang ditemui Tempo, penelitian selama periode itu dilakukan tanpa information consent (lembar persetujuan) dari obyek yang diteliti. Seharusnya obyek yang diteliti meneken lembar persetujuan bahwa mereka mengetahui sedang menjadi obyek penelitian, tujuan penelitian, lengkap dengan penjelasan risiko yang mungkin timbul.

Terawan menampik tudingan itu. Sebelum pasien menjalani “cuci otak”, ia menjelaskan segala macam prosedur kepada pasiennya. “Mereka harus menandatangani kertas yang isinya penjelasan dokter,” ujarnya. Terawan juga menyatakan telah memperoleh persetujuan etis (ethical clearance) dan bioetik dari kampusnya sebelum menggelar riset. -“Kalau orang lain memandang itu berbeda, mosok aku ngeyel. Ya, sudah, telan saja pendapatmu,” katanya.

Kopromotor disertasi Terawan, Bach-tiar Murtala, meyakini Terawan memegang etika ketika menulis disertasi itu. Ia justru menyerang balik mereka yang mengkritik Terawan. “Penelitian mereka juga banyak masalahnya,” ujar Bachtiar.

Persoalan krusial lain dalam disertasi Terawan adalah soal sitasi terhadap riset Jessica Lewis dan kawan-kawan pada 1964. Di halaman 36, Terawan menulis, “Heparin telah digunakan secara luas pada kelainan tromboembolis pada manusia.” Persoalannya, riset Lewis tidak dilakukan terhadap manusia, tapi pada anjing jenis mongrel berbobot 15 kilogram. Ketika dimintai konfirmasi soal riset ini, Terawan berkukuh bahwa jurnal yang dia kutip meneliti penggunaan heparin pada manusia, bukan pada hewan. “Kamu buka Google. Jangan salah kaprah, tidak mungkin saya tetap jalan,” kata Terawan.

WAYAN AGUS PURNOMO (JAKARTA), DIDIT HARYADI (MAKASSAR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus