Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publik, terutama kalangan pendidik, menunggu seperti apa konsep pendidikan berbasis teknologi yang bakal dibuat oleh pembuat aplikasi Gojek itu. Pendidikan berbasis teknologi sebenarnya bukan gagasan baru. Pada 1973, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggagas pendidikan berbasis teknologi komunikasi. Kala itu, teknologi yang dimaksud adalah radio. Majalah Tempo edisi 29 September 1973 menurunkan artikel bertajuk “Radio: Guru Udara”, yang mengulas rencana pemerintah memanfaatkan radio sebagai sarana menyampaikan materi pelajaran kepada siswa.
Ketua Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P & K) Santoso S. Hamijoyo mengatakan pemanfaatan radio adalah terobosan untuk menyelesaikan persoalan terbatasnya ruang kelas. Departemen P & K telah menandatangani nota kerja sama penyelenggaraan eksperimen siaran pendidikan dengan Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan.
Radio dipilih sebagai “sekolah” alternatif karena dianggap memiliki jangkauan siaran paling luas dan mudah diakses. Melalui radio, pendidikan diharapkan bisa dilakukan secara massal sekaligus ekonomis. Di dalamnya dapat diudarakan paket pengajaran, baik yang mempergunakan alat bacaan biasa maupun alat bacaan berprogram. Secara merata, pelaksanaan eksperimen itu akan dimulai pada Januari 1974.
Siaran terutama ditujukan untuk anak-anak sekolah tingkat menengah, seperti yang pernah dirintis oleh Radio Republik Indonesia Yogyakarta dan Semarang. Siaran akan dilakukan pada jam pelajaran. Kemudian murid akan mendengarkan melalui pesawat penerima di kelas masing-masing. “Siaran pendidikan ini ibarat guru yang mengajar,” ujar Santoso.
Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Syamsu Sugito mengatakan gagasan pengajaran massal melalui radio adalah terobosan yang luar biasa. Ia yakin kegelapan dunia pendidikan akan bisa dilenyapkan lewat udara. “(Ini) merupakan suatu usaha percepatan pembangunan pada umumnya,” katanya.
Departemen P & K belum membuat rincian mengenai jenis pelajaran dan banyaknya jam pelajaran. Tapi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan ilmu-ilmu sosial bakal menjadi mata pelajaran yang dicobakan. Untuk menjalankan proyek tersebut, Departemen P & K, selaku pemegang kendali pembiayaan dan kurikulum, akan membentuk Dewan Pembina Siaran Pendidikan. Selanjutnya siaran pendidikan massal melalui radio bakal dicoba di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Program itu juga bakal mendapat dukungan dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, berupa penyediaan seribu pesawat radio di sekolah-sekolah.
Bagi Radio Republik Indonesia, pendidikan via udara bukan hal baru ketika itu. Pada 1951-1956, RRI membuat siaran pendidikan yang ditujukan kepada bekas pejuang. Umumnya para mantan pejuang ingin mengatasi ketertinggalan pelajaran mereka. Tapi, karena merasa sudah berumur, mereka malu datang ke sekolah. Nah, melalui siaran pendidikan di radio itu para mantan pejuang bisa kembali belajar.
Kepala Dinas Penyiaran Dalam Negeri Direktorat Radio Departemen Penerangan Atmoko mengatakan siaran udara ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan daya imajinasi para anak didik. Misalnya, dalam mata pelajaran ilmu hewan, murid akan dapat mendengarkan bagaimana suara hewan yang dipelajari.
Lebih jauh, dengan adanya konsep pengajaran melalui radio, guru mesti memiliki kemampuan lebih. Guru tak hanya harus pandai. Suaranya juga harus komunikatif sehingga siswa dapat mudah mendengarkan dan membayangkan dengan enak apa yang disampaikan.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 29 September 1973. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo