Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JASAD Nek To Kando yang meninggal 28 tahun lalu termasuk yang unik dan disegani warga kampung. Kepala Lembang Bululangkan E Ungke Toding Allo mengatakan warga setempat percaya jasad Nek To Kando punya kekuatan magis.
Hal itu, menurut dia, bisa dilihat dari kepalanya yang terpisah dari tubuh. Konon, saat purnama tiba, kepala ini akan keluar dari patane dan beterbangan ke sana-kemari. Cahaya seperti api akan menyertai bagian rambutnya. ”Kalau kepala seperti ini terbang-terbang, warga takut. Tapi ada juga yang berani, bahkan menangkapnya untuk dijadikan jimat,” katanya.
Menurut Roy, cucu Nek To Kando, setiap patane dibuka, pasti posisi kepala kakeknya itu berada di depan pintu. Padahal sebelumnya ditaruh agak ke dalam, itu pun dalam keadaan terbungkus. Menurut dia, semasa hidupnya, kakeknya adalah salah satu anggota pasukan Pongtiku, salah satu pahlawan asal Toraja, Sulawesi Selatan. Sebagai anggota Pongtiku, di kampung ini Nek To Kando dikenal pemberani atau disebut to barani, sehingga cukup disegani. ”Ia pendiam, tapi sangat tegas,” katanya.
Jasad para leluhur itu memang tak ubahnya manusia. Satu sama lain punya perbedaan. Ada yang dipercaya punya kekuatan magis, seperti Nek To Kando. Ada pula yang jasadnya hancur sehingga sulit dikenali. Tapi ada juga yang terlihat masih sangat utuh meski sudah puluhan tahun wafat. Salah satunya justru jasad istri Nek To Kando, yakni Nek Sombo Allo.
Kulit Nek Sombo Allo yang meninggal di usia 80 masih utuh, hanya kering seperti kulit kayu. Kukunya bagus. Rambutnya pun masih panjang tergerai dengan bentuk wajah yang masih bisa dikenali dengan baik. Massa tubuhnya saja yang berubah, karena tentu saja jasad berusia 22 tahun ini jauh lebih ringan jika dibanding saat dia masih hidup.
Di patane berukuran 4 x 3 meter itu terdapat sekitar 30 jasad. Separuhnya sempat dibuka dan dibersihkan, sedangkan sisanya hanya dijemur tanpa dibuka pembungkusnya. Roy sendiri mengenali lima jasad, yakni Nek To Kando (kakeknya), Nek Sombo Allo (neneknya), Bapak Supan (pamannya), Bunga (bibinya), dan Agustina (anak bibinya).
Tokoh masyarakat Bululangkan, Yunus Lumbaa, 53 tahun, mengatakan perbedaan jasad-jasad ini terjadi akibat tata cara pengawetannya saat meninggal—apakah menggunakan ramuan tradisional atau formalin. Selain itu, sesuai dengan kepercayaan masyarakat, sangat dipengaruhi perbuatan mereka saat masih hidup.
Menurut Lumbaa, sebelum 1980-an, pengawetan mayat masih sepenuhnya menggunakan ramuan. Setelah era itu, warga memakai formalin. ”Jasad yang diawetkan menggunakan ramuan akan lebih awet dibanding yang pakai formalin,” katanya.
Lumbaa sendiri menyesali bahwa ketika ayahnya, Ye Lumbaa, wafat pada 1974, ia sedang merantau sehingga tak mampu menghalangi ketika jasad sang ayah diawetkan dengan formalin.
Menurut Lumbaa, ramuan itu—terdiri atas campuran daun pinus dan tille, yakni sejenis tumbuhan bambu kecil yang berfungsi untuk mengawetkan—dicampur minyak tanah dan sabun cap tangan agar baunya tidak busuk. Ramuan lantas diminumkan kepada jasad yang baru meninggal. Kalau bisa juga ditambah teh, meski sebelum 1970-an teh belum digunakan karena masih sulit diperoleh. ”Kalau pakai ramuan ini, dijamin biar mumi sudah berusia 80-an tahun akan tetap awet,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo