Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMPA berkekuatan 7,6 skala Richter yang mengguncang kawasan Sumatera Barat pada Rabu dua pekan lalu membuat orang sadar: ini bukan yang terakhir. Lindu niscaya akan datang dan terus datang lagi. Masalahnya, kapan dan di mana.
Tak mudah menjawab pertanyaan itu secara persis, bahkan bagi seorang pakar gempa seperti Sri Widiyantoro. Sri dan Wahyu Triyoso, koleganya di Jurusan Ilmu dan Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung, telah menganalisis serangkaian gempa yang pernah terjadi di Indonesia. Analisis dilakukan dengan teknologi tomografi pemodelan rambatan gempa yang dibuatnya bersama Wahyu Triyoso. ”Pemodelan itu untuk memperkirakan potensi gempa selanjutnya,” kata guru besar seismologi pertama dari ITB itu, Rabu pekan lalu.
Berdasarkan analisis itulah, Sri menyimpulkan bahwa gempa bumi telah merambat dari utara ke selatan Sumatera, dimulai dari Aceh pada Desember 2004. Disusul lindu berkekuatan 8,6 skala Richter mengguncang Nias, Sumatera Utara, pada 28 Maret 2008. Gempa yang menggoyang Padang pada 30 September lalu juga telah diperkirakan oleh Sri dan para ahli lainnya, karena data yang tersedia menunjukkan dengan gamblang potensi gempa di kawasan tersebut. Di peta gempa buatan lembaga asing, pemerintah, dan peneliti gempa, wilayah barat Sumatera diarsir warna merah membara. ”Di situlah pertemuan dua lempeng besar Indo-Australia dan Eurasia,” kata Sri.
Lempeng Indo-Australia dari arah selatan atau kiri Sumatera, katanya, bergerak mendesak lempeng Eurasia ke timur dan utara. Lempeng Eurasia, yang ditandai dengan adanya patahan Sumatera di daratan, relatif diam tak bergerak. ”Karena terus didesak, lempeng itu bisa pecah di dalam atau menggeser patahan Sumatera,” ujarnya. Akibatnya, pusat gempa di Sumatera bisa berada di laut barat dan daratan sepanjang patahan Semangko, yang membujur dari utara Andalas hingga berujung di lautan dekat Ujung Kulon.
Gempa dahsyat pada 2004, kata Sri, telah menggugah para ahli untuk melihat pola pergerakan gempa. Setelah Aceh dihajar lindu 9,2 skala Richter disertai tsunami, lalu setahun kemudian singgah di Pulau Nias dan Simeulue dengan kekuatan 8,6 skala Richter, gempa makin jelas bergerak dari utara ke selatan. Artinya, daerah di bawahnya, dari Sumatera Barat hingga Lampung, tinggal menunggu waktu. Dugaan itu terbukti dengan gempa di Bengkulu pada 2007. Lindu 7,9 skala Richter itu meloncati Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai. ”Itu juga membuktikan bahwa bumi itu heterogen dan kompleks,” katanya.
Meski demikian, alam masih merahasiakan waktu dan kekuatan gempanya. Para ahli, kata Sri, hanya bisa membuat ancar-ancar ilmiah waktu gempa ulangan dengan periodisasi 100 tahun dengan plus-minus 20 tahun. Dia membantah kabar bahwa ilmu dan teknologi gempa yang ada sekarang belum sampai mendeteksi gempa. ”Ilmu dan teknologinya sekarang sudah cukup, tapi data gempanya itu yang masih kurang,” katanya. Idealnya, data gempa itu tercatat sebelum Masehi, sehingga periodisasi gempa bisa dihitung lebih akurat.
Potensi gempa selanjutnya, kata Sri, ada di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Panjang segmen lempengnya sama seperti segmen Nias-Simeulue sejauh 200-300 kilometer, sehingga potensi gempanya diperkirakan sama seperti Nias. Kekuatan lindu berpotensi merusak jika lebih dari 6 magnitudo, tapi juga bergantung pada jarak kedalaman titik gempa dan hunian di atasnya.
Dari hasil simulasi Sri, kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di sana adalah lindu di atas 8 magnitudo di Mentawai yang bisa mengantar tsunami setinggi 15 meter dan sampai di pantai dalam 10 menit. Sumatera Barat dan Jambi bisa tersapu habis. Tapi, kata Sri, karena datanya masih kurang, jangkauan air laut ke daratan itu belum bisa diukur jauhnya.
Kini, walaupun sebagian energi di segmen Mentawai telah terlepas dari gempa 5,1 skala Richter pada 1 September lalu, potensi gempa besar di sana masih mengintai. Gempa Mentawai, kata Sri, kemungkinan terpicu gempa Padang, tapi bisa juga tidak, karena itu hasil proses alam. ”Karena itulah gempa Mentawai harus terus diwaspadai. Ini bukan untuk menakuti-nakuti masyarakat, tapi untuk kewaspadaan semua pihak,” katanya.
Semua analisis itu bisa dilakukan Sri dengan bantuan teknologi tomografi seismik, yang dibuatnya untuk meraih gelar doktor di Australian National University pada 1997. Teknologi itu untuk pertama kalinya berhasil membuktikan tunjaman lempeng hingga kedalaman 3.000 kilometer pada pemetaan di Amerika Tengah. Sebelumnya, potensi gempa diketahui sampai kedalaman 700 kilometer. Kajiannya ini kemudian dipublikasikan dengan judul ”The Evidence for Deep Mantle Circulation from Global Tomography” di jurnal sains bergengsi Nature pada tahun yang sama.
Selama ini tomografi lebih dikenal di dunia kedokteran, misalnya melalui pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan), ultrasonografi (USG), dan pencitraan resonansi magnetis (MRI). Prinsipnya adalah membuat citra tiga dimensi dari gelombang energi, seperti sinar atau suara. Adapun tomografi seismik dirintis oleh Profesor Kei Aki dari Jepang pada 1976.
Sri mempelajari teknik ini dari pembimbingnya, Profesor Rob van der Hilst, yang kini mengajar di Massachusetts Institute of Technology. Peralatan yang dipakai adalah perangkat lunak pengolah data dan gambar tiga dimensi. ”Data utamanya dari rekaman seismik di seluruh dunia, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika,” kata Sri, yang kini sedang merintis pencitraan empat dimensi yang bisa menampilkan gambar isi bumi sebelum dan sesudah gempa.
Dengan tomografi seismik, Sri dapat membuat citra tiga dimensi isi kerak, lempeng, dan perut bumi di bawah Sumatera dan melihat penunjaman lempeng Indo-Australia ke Eurasia yang cukup landai. Artinya, merangseknya dua kerak bumi itu tidak sampai jauh ke dalam dan berpotensi sering menimbulkan gempa di Sumatera dengan kedalaman dangkal. ”Sumatera kebanyakan gempa dangkal, tidak ada yang di kedalaman 600 kilometer, tapi antara permukaan laut sampai 300 kilometer,” ujarnya.
Kondisi ini berbeda dengan tunjaman kedua lempeng tersebut di laut selatan Jawa. Usia lempeng Indo-Australia di Samudra Indonesia lebih tua, sehingga tumbukannya masuk jauh ke bumi. Di sana, kata dia, tunjaman lebih menyusup ke dalam. Artinya, pusat gempanya jauh di dasar laut, sehingga potensi gempa yang tak terasa sampai ke daratan lebih besar. ”Di wilayah Pulau Jawa ke timur, gempanya terjadi dari permukaan sampai kedalaman 700 kilometer,” katanya.
Teknik tomografi seismik ini akan sangat membantu kajian kegempaan di Indonesia. Sri dan para ilmuwan dari ITB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kini sedang menyiapkan peta zonasi seismik, yang akan menjadi perangkat mitigasi bencana alam. Peta itu kini baru mencakup peta utuh Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara. ”Kami berkonsentrasi di wilayah barat karena kantor pemerintahan dan penduduk padat ada di sini,” katanya.
I Wayan Sengara, peneliti ITB yang terlibat dalam pembuatan peta zona bencana itu, mengatakan bahwa peta itu menyajikan distribusi kecepatan sebaran gempa secara spasial. Dasarnya adalah keberadaan lempeng di laut dan patahan di darat. Peta zona itu perlu diidentifikasi secara terperinci, sehingga memerlukan masukan dari geologi, sejarah kegempaan dari seismologi, dan metodologi pemetaan. ”Kami pakai istilah metode probabilistik, karena didasarkan pada kenyataan bahwa gempa itu tidak pasti kapan terjadinya,” kata Kepala Pusat Mitigasi Bencana ITB itu.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono, mengatakan peta itu masih memiliki kekurangan, karena data sejarah gempa yang tidak banyak. Agar kualitas peta membaik, kata dia, pihaknya berkonsentrasi pada penghitungan amplifikasi gempa di satu wilayah.
”Sejumlah bencana akibat gempa menunjukkan bahwa daerah yang memiliki faktor amplifikasi tinggi juga memiliki tingkat kerusakan besar, misalnya gempa di Cirebon pada 2007 yang tidak mengakibatkan kerusakan di wilayah yang berdekatan dengan pusat gempanya, tapi malah merusak Tasikmalaya.”
Kurniawan, Anwar Siswadi, Ahmad Fikri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo