Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BULULANGKAN bisa menjadi contoh perubahan zaman yang melanda Tana Toraja. Di samping memeluk agama Kristen, demi menghormati leluhur, menjaga silaturahmi dan keutuhan keluarga, masyarakat mencoba mempertahankan tradisi aluk todolo atau adat orang dulu. Dan untuk itu, berbagai penyesuaian—seperti tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat dalam upacara adat—dilakukan.
Contohnya patane, rumah makam keluarga yang berisi tujuh turunan dalam satu rumpun. Dahulu kala, patane berada di gua-gua tebing batu. Kini, patane dibangun di tempat yang tak terlalu sulit, dengan papan atau berupa bangunan beton laiknya rumah-rumah kota.
Menurut Kepala Lembang Bululangkan E Ungke Toding Allo, karena kesulitan itu, warganya sudah jarang menaruh jasad yang baru mati di tebing-tebing batu. Agar mudah diakses, patane lantas dibangun di pinggir jalan. Ukuran lazimnya adalah 2 x 2 meter hingga 4 x 4 meter. Ada juga warga yang mencari batu-batu besar di pinggir jalan, kemudian memahatnya hingga berbentuk ruangan.
Jumlah patane jenis ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2009 ini ada tujuh bangunan patane yang baru kelar. Di Bululangkan sendiri sudah ada sekitar 30 patane, dengan beberapa bentuk penyesuaian, termasuk patane yang berhiaskan salib atau gambar-gambar Bunda Maria.
Salah satunya adalah milik keluarga almarhum Moli Sesa’ dan Nek Banaa, yang pembuatannya menghabiskan dana sekitar Rp 100 juta. Yang membiayai patane berukuran 3 x 4 meter itu adalah cucu pertama mereka, yakni anak Debora Tumba’, Daniel Remi, 40 tahun. Memang ongkos pembangunan patane bisa mencapai ratusan juta rupiah. Adapun untuk jenis patane batu dibutuhkan dana sekitar Rp 35 juta. Pemahatan batu memakan waktu sekitar empat bulan. Selain melibatkan pemahat, pembangunan patane jenis ini melibatkan pandai besi.
Pembungkus jasad-jasad juga mengikuti perkembangan zaman. Dahulu kala, ketika kain masih sulit didapat, jasad biasa dibungkus dengan karung-karung bekas atau bahkan kulit kayu kering—sebelum akhirnya dibungkus kain merah polos atau hitam polos. Tapi belakangan, tatkala kain mudah diperoleh, warga tidak lagi menggunakan karung atau kulit kayu. Mereka menggunakan kain-kain pakaian bekas, sarung, atau seprai. Kain pembungkus jasadnya pun berwarna-warni, sesuai dengan status sosial penggunanya. Warga memilih mengeluarkan uang besar untuk pembangunan patane yang lebih bagus, nyaman, dan aman. Jangan salah, mumi Toraja termasuk benda yang diperjualbelikan di pasar gelap.
Dan puncaknya adalah sinkretisme agama, yang juga terjadi pada banyak kultur masyarakat Nusantara lainnya. Di Bululangkan, kegiatan kebaktian kini menutup prosesi ma’nene, kala jasad sudah kembali terbungkus dan bau kemenyan serta kapur barus disingkirkan. Berlangsung sekitar setengah jam, Pendeta Daud Kaluring berdiri di depan mimbar kayu. Mimbarnya diambil dari Gereja Loko Lemo, satu dari enam gereja di Bululangkan. Pendeta Daud kemudian membacakan sejumlah pesan damai dalam kematian yang diambil dari salah satu surat di Kitab Perjanjian Baru Matthius. Para anggota jemaat pun tenggelam dalam kor lagu-lagu penyembahan kepada Yesus Kristus. Lalu pesta makan pa’piong pun dimulai!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo