Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA kampus di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man's House, tepat di jantung Amsterdam, Belanda, pada sore dua pekan lalu itu begitu tenang. Para mahasiswa, yang baru selesai mengikuti kuliah, bergerombol di depan pintu masuk gedung yang berarsitektur klasik itu.
Menempati sebuah gedung bersejarah yang berdiri sejak 1602, Fakultas Hukum Universitas Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini merupakan impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin mempelajari ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan pengajar terbanyak dibanding fakultas lain.
Fakultas ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan buku. Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas terdapat beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu jelas amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.
Suasana asri kampus semacam ini, 80 tahun silam, tetap tak bisa membuat seorang pemuda berkulit cokelat, Sjahrir, betah berdiam di situ. Sejak kedatangannya ke Negeri Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus. Dunia luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik perhatiannya ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.
Pada usia yang baru menginjak 20 tahun, Sjahrir memang sudah mengecap kehidupan yang relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun Amsterdam, kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung. Pergaulan antarmanusia di sana juga egaliter ketimbang di Hindia Belanda.
Amsterdam memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, ketimbang mengikuti kuliah dan mengunjungi perpustakaan kampus, Sjahrir lebih sering ngelencer mendatangi pusat budaya atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia kunjungi adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein.
Gedung bioskop ini dibangun dengan gaya campur aduk antara Art Deco, Art Nouveau, dan aliran arsitektur Amsterdam yang sedang jadi tren pada awal 1900-an. Sampai kini gedung itu masih berfungsi sebagai bioskop komersial dan sering menjadi lokasi utama festival film, misalnya International Documentary Film Amsterdam.
Selain menyukai film, Sjahrir muda menggemari teater. Dan hanya satu blok dari Cinema Tuschinski terdapat gedung teater tua yang terkenal: Stadsschouwburg. Gedung teater ini terletak di daerah ramai Leidseplein, salah satu pusat kehidupan malam di Amsterdam. Di tempat ini Sjahrir sering menonton pertunjukan, baik sendiri maupun bersama teman.
Dari Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Stadsschouwburg bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Bila naik sepeda, hanya makan waktu 10 menit. Kini di depan teater itu setiap dua menit lewat trem.
Gedung Stadsschouwburg sejatinya sudah berkali-kali runtuh dan berulang kali pula dibangun kembali sejak akhir abad ke-15. Bangunan yang kini berdiri terakhir kali "ditegakkan" pada 1894. Arsiteknya saat itu, Jan L. Springer, memilih membangun kembali dengan gaya ala Baroque Revival.
Sampai saat ini, Stadsschouwburg masih mementaskan sejumlah pertunjukan teater, pameran foto, pameran lukisan, dan beragam kegiatan budaya lainnya. Seiring perkembangan zaman, sarana transportasi untuk mengunjungi gedung teater itu semakin mudah.
Sejak pertama kali dibangun, teater ini menjadi tempat favorit masyarakat umum dan pelajar untuk kongko-kongko. Ini lantaran program budaya yang mereka tawarkan selalu memikat. Apalagi di sekitar gedung tersebut juga banyak tempat menarik.
Di bagian kiri gedung, misalnya, terdapat Jalan Marnixstraat, yang di seberangnya ada Hotel American, yang terkenal dengan bar dan kafenya. Di bar itulah Sjahrir dan teman-temannya biasa berkumpul. Cafe Americain, yang dibangun pada 1900 dengan gaya Art Deco, merupakan tempat berkumpul mahasiswa dari kalangan borjuis dan berduit. Kafe ini bukan kedai murah.
Masih di kawasan Leidseplein, terdapat jalan-jalan kecil yang juga dipenuhi kafe. Di salah satu jalan kecil, Lange Leidse Dwaarstraat, dulu terdapat Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan yang pernah diketuai sahabat Sjahrir, Salomon Tas, itu kini sudah tak ada. Namun suasana di sekitar tempat itu sampai kini masih terasa dinamis. Banyak anak muda menghabiskan waktu di antara kafe-kafe di sepanjang jalan tersebut.
Saat pertama kali datang, Sjahrir menumpang di flat yang disewa keluarga kakaknya, Siti Sjahrizad alias Nuning Djoehana, di kawasan Amsterdam Selatan. Daerah itu dulu dihuni masyarakat kelas menengah yang makmur. Kini tempat itu sudah berubah, banyak berdiri gedung pencakar langit. Setelah keluarga Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah kecil milik keluarga Salomon Tas, masih di kawasan yang sama.
Mengikuti teman-temannya, Sjahrir kemudian pindah kuliah ke Leiden, satu jam perjalanan kereta dari Amsterdam. Leiden merupakan kota ilmu yang terpandang. Sjahrir mendaftar ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Ch. Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu, mengajar.
Pergaulan luas Sjahrir dengan kalangan cendekiawan dan aktivis politik di Leiden meninggalkan bekas sampai sekarang. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan-kendati jalan kecil: Sjahrirstraat. Jalan ini melengkapi jalan-jalan lain untuk mengenang sejumlah tokoh dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan Camilo Torresplein.
Sjahrirstraat, yang terletak di pinggiran Kota Leiden, merupakan area pembangunan permukiman baru untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah. Sayang, ketika Tempo bertandang ke kawasan itu dua pekan lalu, tak ada seorang pun yang mengenali bekas Perdana Menteri Indonesia ini. "Tapi saya tahu dia pasti orang terkenal juga, karena nama-nama di jalan ini adalah nama-nama orang terkenal," kata seorang warga yang kebetulan lewat.
Sarmadji, warga Belanda asal Indonesia yang sudah lama menetap di Leiden, punya penilaian terhadap Sjahrir. "Dia hanya bergaul dengan kalangan intelektual kelas atas. Jadi dia agak berjarak dengan kalangan bawah, walaupun dia berusaha untuk mengatasi itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo