Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah warga mengalami kelumpuhan dan meninggal setelah mendapat suntikan vaksin corona.
Pemerintah lamban menyelidiki penyebab munculnya efek samping vaksin.
Belum ada aturan kompensasi bagi peserta vaksin yang meninggal setelah menjalani vaksinasi.
BERJALAN kaki kini menjadi aktivitas yang melelahkan bagi Susan Antela. Sejak April lalu, beberapa hari setelah disuntik vaksin Covid-19, Susan beraktivitas memakai kursi roda. Baru dua pekan belakangan perempuan 32 tahun itu berani berjalan tanpa alat bantu, dengan bertopang pada tembok dan meja. “Kaki rasanya lemas dan kebas kalau berjalan kaki agak lama,” ujarnya pada Kamis, 23 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susan lumpuh setelah menerima suntikan dosis kedua vaksin Sinovac pada 31 Maret lalu. Tubuhnya roboh selang 20 menit setelah vaksin Covid-19 masuk ke tubuhnya di Sekolah Menengah Kejuruan Samudra, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Ia merasa lemas, pusing, dan matanya berkunang-kunang. Padahal petugas vaksin menyatakan guru honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cisolok tersebut sedang fit dan layak mengikuti vaksinasi hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas membawa Susan ke Rumah Sakit Umum Daerah Palabuhanratu, Sukabumi. Dalam kondisi setengah sadar, ia tak bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki. Telinganya berdenging dan penglihatannya berkabut. Susan sempat menjalani CT scan di RSUD Palabuhanratu, tapi dokter merujuknya ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin di Bandung karena ia menjadi pasien pertama yang mengalami efek samping vaksin Covid-19.
Susan Antela saat dijenguk Kapolres Sukabumi AKBP Lukman. Mei 2021. ANTARA/Aditya Rohman
Susan dirawat selama lebih dari tiga pekan oleh sejumlah dokter spesialis. Ia mengikuti dua tes diagnosis melalui pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan uji sumsum tulang belakang. Hasilnya menyatakan Susan tak memiliki riwayat penyakit apa pun. “Dokter hanya menyatakan bahwa kemungkinan pemicunya adalah vaksin,” ucap Susan.
Susan masih lumpuh meski sudah menjalani opname. Dokter meminta dia mengikuti fisioterapi dan menenggak enam macam panasea. Salah satunya obat saraf mecobalamin. Kondisi Susan berangsur pulih tiga bulan kemudian. Biaya pengobatan Susan ditanggung seluruhnya oleh asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Walau begitu, kata dia, tak kurang dari Rp 50 juta sudah habis untuk ongkos kontrol rutin dan biaya menebus obat yang tak ditanggung BPJS.
Menurut Susan, tak ada petugas dinas kesehatan dari kabupaten ataupun kota atau provinsi yang datang menyelidiki efek samping vaksin di tubuhnya. Anggota Komisi Daerah dan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) pun tak pernah menyambanginya, baik saat opname maupun rawat jalan di rumah. Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Cisolok pernah sekali bertamu ke rumahnya, tapi tak membahas soal investigasi kejadian setelah vaksinasi.
Bukan tim kesehatan yang datang ke rumah Susan, melainkan Kepala Kepolisian Sektor Cisolok. Ia membujuk Susan membuat pernyataan bahwa penyakitnya bukan dampak vaksinasi Covid-19. Susan menolak. Permintaan polisi kemudian berubah dengan memohon kepada Susan agar mau mengimbau masyarakat supaya tak takut disuntik vaksin. “Bapak Kapolsek yang langsung merekam video pernyataan dari saya,” dia berujar.
Efek samping vaksin Covid-19 menjadi polemik setelah komedian Riyanto alias Tukul Arwana mengalami perdarahan di otak pada Rabu, 22 September lalu. Beberapa hari sebelumnya, laki-laki 57 tahun itu menjalani vaksinasi Covid-19. Kejadian yang menimpa Tukul lantas dikait-kaitkan dengan dampak pemberian vaksin. Tukul saat ini dirawat di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Jakarta Timur.
Direktur Utama RS Pusat Otak Nasional Mursyid Bustami menjelaskan, perdarahan di otak Tukul tak berhubungan dengan injeksi vaksin Covid-19. Perdarahan, kata Mursyid, terjadi karena pembuluh darah tidak kuat menahan tekanan darah tinggi. “Tidak ada korelasinya antara stroke dan vaksinasi Covid-19, apalagi disebut akibat kejadian pasca-imunisasi,” ucap Mursyid.
Trio Fauqi Virdaus. Facebook.com/Trio Fauqi Firdaus
Di Yogyakarta, Taufik Nugraha mendadak mengalami sesak napas setelah mendapat suntikan vaksin Sinovac di Universitas Islam Indonesia (UII) pada Senin, 9 Agustus lalu. Badan Taufik juga menggigil, separuh badan mati rasa, dan bibir sebelah kiri mencong. Gejala itu timbul setelah ia bangun tidur sepulang vaksinasi. “Saya takut mati waktu itu,” tutur Taufik.
Istri Taufik, Febrianti Nurul, yang panik lalu menelepon panitia vaksinasi untuk meminta pertolongan. Panitia menyarankan Nurul membawa suaminya ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Dibantu dua temannya, Taufik diantar ke empat puskesmas di Kabupaten Sleman, tapi semuanya tutup.
Di puskesmas, mereka melihat selebaran prosedur penanganan kejadian pasca-imunisasi yang dibagikan di UII. Dalam brosur itu tercetak logo Rumah Sakit Jogjakarta International Hospital. Taufik pun mereka boyong ke sana.
Kepada dokter yang menanganinya, Taufik menjelaskan tak punya riwayat sakit yang serius sebelum divaksin. Untuk membuktikannya, ia menjalani serangkaian tes laboratorium. Dokter lalu meresepkan sejumlah obat saraf serta menganjurkan Taufik beristirahat di rumah, tak perlu menjalani opname di rumah sakit.
Dokter mendiagnosis laki-laki 29 tahun itu mengalami efek samping vaksinasi berdasarkan hasil tes medis yang dirilis pada Sabtu, 21 Agustus lalu. “Tak ada petugas kesehatan dari dinas atau Satgas Covid-19 yang mendampingi saya untuk meneliti dampak penyuntikan vaksin ini,” katanya.
Ketua Komisi Daerah KIPI Daerah Istimewa Yogyakarta Joko Murdiyanto menyatakan lembaganya belum menerima laporan dari penyelenggara vaksinasi di UII mengenai kasus yang dialami Taufik. Ia mengimbau panitia vaksinasi aktif melaporkan pasien yang mengalami kejadian pasca-penyuntikan. Komisi Daerah KIPI DIY menghimpun lebih dari 6.000 laporan efek samping vaksin corona dan sebagian besar tergolong ringan.
Keluarga almarhum Trio Fauqi Virdaus saat datang berziarah ke makam almarhum di kawasan Buaran, Jakarta Timur, 10 Mei 2021. Istimewa
Kejadian ikutan pasca-imunisasi yang paling menghebohkan adalah kematian Trio Fauqi Virdaus, warga Jakarta Timur. Ia meninggal pada Kamis, 6 Mei lalu, sesaat tiba di Rumah Sakit Ibu dan Anak Asta Nugraha, Duren Sawit, Jakarta Timur. Sehari sebelumnya, ia mendapat suntikan vaksin AstraZeneca di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Kakak Trio, Sabbihis Fathun Vickih, mengungkapkan, pada hari kematian adiknya, anggota keluarga sempat mengontak nomor aduan efek samping vaksinasi. Namun tak ada jawaban di ujung telepon. Beberapa saat kemudian, seorang dokter yang mengaku dari layanan KIPI menelepon dan menanyakan data serta informasi penyuntikan. Penelepon berjanji segera menyelidiki kasus kematian Trio.
Sepekan berikutnya atau 13 Mei lalu, petugas puskesmas Duren Sawit bertamu ke rumah orang tua Trio. Sejak itu, beberapa kali pertemuan digelar hingga autopsi jenazah Trio. Namun keluarga baru diberi tahu hasil forensik pada 27 Juli lalu—82 hari sejak Trio berpulang.
Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 mengatur durasi maksimal penanganan dan pelaporan efek vaksin. Regulasi itu mengatur bahwa laporan mengenai KIPI berjenjang dari dinas kesehatan daerah ke Kementerian Kesehatan dan Komnas KIPI harus diterima maksimal tujuh hari.
Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah akan bertanggung jawab jika ada penerima vaksin Covid-19 yang mengalami efek samping. Pemerintah, tutur dia, juga berusaha menindaklanjuti laporan kejadian pasca-vaksinasi yang serius.
Menurut Nadia, Komnas KIPI sedang mengonfirmasi sejumlah kasus efek vaksinasi. Salah satunya yang menimpa Susan Antela di Sukabumi. “Sejauh ini laporan KIPI yang masuk ke kami sifat efek yang ringan,” ucap Nadia melalui jawaban tertulis pada Sabtu, 25 September lalu.
Dalam kasus Trio, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Hinky Hindra Irawan Satari menyebutkan tim tak mendapatkan data yang komprehensif. “Itu yang memperlambat,” tutur dokter spesialis anak tersebut. Namun Sabbihis Fathun Vickih menganggap tim penyelidik gagal memperoleh data efek samping vaksin dari jasad adiknya karena selisih waktu antara peristiwa kematian dan investigasi terlampau lama.
Komnas KIPI telah melaporkan hasil penyelidikan kematian Trio kepada Menteri Budi Gunadi Sadikin. Hindra bercerita, timnya dan anggota Departemen Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menggelar telekonferensi dengan Menteri Kesehatan pada 28 Juli, sehari setelah pengumuman hasil autopsi kepada keluarga Trio. Ade Firmansyah Sugiharto yang memimpin tim Departemen Forensik RSCM.
Menurut Hindra, Ade menjelaskan sejumlah temuan dalam autopsi. Salah satunya kelainan pada paru, tapi itu tidak cukup kuat sebagai alas menetapkan penyebab kematian Trio karena jasad sudah membusuk. Menyimak paparan tim investigasi, Menteri Budi sempat mempertanyakan kemungkinan suntikan vaksin yang membuat Trio meninggal. “Saya menjelaskan bahwa pandangan awam bisa jadi seperti dugaan Pak Menteri, tapi sebagai dokter harus mencari benang merah yang meyakinkan,” ujar Hindra.
Forum tersebut kemudian menyimpulkan bahwa tak ada cukup bukti yang bisa mengaitkan suntikan vaksin Covid-19 dengan kematian Trio. Hindra juga mengusulkan Kementerian agar mengklarifikasi efek samping vaksinasi supaya masyarakat tak ragu disuntik akibat mendengar dan membaca berita mengenai kejadian yang menimpa Trio.
Keluarga Welly Rantauwan di Sukoharjo, Jawa Tengah, juga ditengarai mengalami efek samping vaksin Covid-19. Ibunya, Nafisah Titik Haryanti, meninggal pada Sabtu, 17 Juli lalu, setelah menerima suntikan vaksin Sinovac. Nafisah mengikuti program vaksinasi massal di kantor Desa Manang, Sukoharjo, pada 5 Juli lalu. Sehari berikutnya, Nafisah mengalami demam dan menggigil.
Tukul Arwana. TEMPO/STR/Nurdiansah
Kerabat Nafisah menghubungi nomor telepon darurat yang tertera di kartu vaksinasi. Petugas menyarankan keluarga membawa Nafisah ke rumah sakit karena suhu tubuhnya panas selama sepekan. Welly akhirnya mengantar ibundanya ke Rumah Sakit Dr Oen, Solo. Menjalani tes usap antigen, Nafisah dinyatakan positif Covid-19. Walau begitu, petugas rumah sakit menolak merawat perempuan 64 tahun itu karena bangsal isolasi penuh.
Berpindah rumah sakit, Nafisah diterima di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi, Solo, pada 13 Juli. Welly meminta petugas jaga menghubungi dokter yang menangani kejadian pasca-vaksinasi. Petugas menyatakan tak ada dokter KIPI yang sedang bersiaga. Welly akhirnya pasrah ibunya cuma dirawat di tenda isolasi tanpa observasi dari dokter dan tim yang khusus menangani efek samping vaksin.
Dua hari menjalani isolasi di RSUD Dr Moewardi, Nafisah meminta pulang karena ia mengalami trauma melihat pasien corona di ruangannya berguguran. Dirawat dua hari di rumah, Nafisah akhirnya berpulang. Kerabat Welly melaporkan kepada lurah yang melayat bahwa Nafisah sakit dan meninggal setelah menerima suntikan vaksin Covid-19. “Tak ada petugas yang menindaklanjuti kasus efek samping vaksin yang diderita ibu saya sampai hari ini,” tutur Welly.
Ketua Komnas KIPI Hinky Hindra Irawan Satari mengungkapkan pihaknya telah menerima lebih dari 10 ribu laporan efek samping vaksinasi Covid-19. Sebagian besar berkategori ringan, seperti demam, flu, dan lemas. Di antara itu, ada ratusan gejala yang serius dan lebih dari sepuluh orang meninggal. Meski demikian, Hindra menyebutkan belum ada bukti sahih yang mengaitkan kematian pasien dengan suntikan vaksin corona.
Hindra mengimbau masyarakat yang merasa mengalami dampak suntikan vaksin Covid-19 segera mengontak puskesmas dan nomor telepon darurat yang tertera di kartu vaksinasi. Pemerintah akan menanggung biaya pengobatan pasien KIPI melalui BPJS Kesehatan ataupun anggaran pemerintah daerah. “Puskesmas menjadi level terdepan menangani kejadian pasca-imunisasi ini,” kata Hindra.
RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo