Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Naskah akademik RUU IKN menuai kritik dari para ahli.
Naskah akademik RUU IKN bak dikejar target.
Bappenas memastikan rancangan naskah akademik sudah melibatkan pihak yang kompeten.
JAKARTA -- Sejumlah ahli dan aktivis mengkritik naskah akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara atau RUU IKN yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Naskah yang tersedia di laman situs Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu ramai diperbincangkan warganet sejak Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulfikar Amir, ahli sosio-teknologi dari Nanyang Technological University, Singapura, menilai naskah akademik RUU IKN itu merupakan cerminan dari sikap pemerintah yang tidak hati-hati dan terburu-buru untuk memindahkan ibu kota. “Proyek pemindahan ibu kota terlihat ambisius, tapi rentan gagal secara finansial, ekonomi, dan infrastruktur karena landasan akademisnya rapuh,” kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Associate professor bidang sosiologi bencana ini menyebut naskah akademik yang disodorkan pemerintah tidak mencerminkan kemampuan berpikir intelektual secara matang, yang seharusnya menjadi dasar pemindahan ibu kota. Menurut Sulfikar, landasan sosiologis dalam naskah akademik tidak menjelaskan secara rinci faktor-faktor yang menjadi dasar pemindahan ibu kota negara.
Dia menilai naskah tersebut tidak menjelaskan faktor sosial, dampak sosial secara keseluruhan, hingga strategi fundamental agar pemindahan berjalan lancar dan berdampak positif secara jangka panjang. “Landasan sosiologisnya cuma lima paragraf yang sangat dangkal dan ditulis tidak dengan kompetensi yang matang,” ujarnya.
Sulfikar menjelaskan, landasan sosiologis seharusnya mencakup aspek struktur sosial, dampak serta cara menghasilkan masyarakat adil dan sejahtera. Kemudian, struktur kekuasaan dengan dampak pemindahan yang akan menghasilkan proses transformasi politik yang jauh lebih demokratis dan egaliter. Selain itu, kata dia, naskah tersebut belum menjelaskan dampak lingkungan terhadap perilaku masyarakat dan perubahan yang terjadi setelah pindah ke ibu kota baru.
Suasana Kota Jakarta dengan latar belakang Gunung Salak terlihat di Jakarta, 20 Januari 2022 ANTARA/Rivan Awal Lingga
Dia menyoroti lima strategi dalam naskah akademik. Kelima strategi itu, pertama, mempertahankan aset yang memiliki nilai-nilai budaya yang signifikan dan dapat diakses oleh masyarakat setempat. Kedua, merancang desain yang mendukung antara masyarakat setempat dan masyarakat baru serta memungkinkan perubahan “rasa” dari suatu tempat. Ketiga, membentuk simpul yang kuat antara ruang publik, tingkat lokal, regional, dan nasional yang inklusif.
Strategi keempat adalah menyediakan kesetaraan akses ke infrastruktur utama dan tipologi perumahan yang beragam. Dan kelima, membangun masyarakat yang tangguh terhadap perubahan iklim. “Strategi ini muncul begitu saja, tapi tidak nyambung dengan formulasi masalah yang diangkat,” kata Sulfikar.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menangkap kesan serupa. Ia menyebut naskah akademik RUU IKN bak dikejar target. Hal ini terlihat dari isi naskah yang tidak menjelaskan alasan pemerintah membentuk badan otorita, dan konsekuensinya terhadap pemerintahan daerah di ibu kota. Padahal badan otorita ini menjadi poin penting dari UU IKN, yang semestinya dijelaskan secara detail dalam naskah akademik.
Feri juga menilai naskah akademik belum menjelaskan hal yang akan dilakukan pemerintah terhadap ibu kota lama setelah pemindahan. “Mestinya strategi-strategi seperti itu tergambarkan dalam naskah akademik,” ujarnya.
Daftar pustaka dalam naskah akademik tak lepas dari kritik. Sejarawan JJ Rizal mempersoalkan ketiadaan produk akademikus Indonesia sebagai referensi dalam menyusun naskah tersebut. Menurut dia, hal itu membuktikan adanya masalah dalam revolusi mental yang memperlihatkan masih membudayanya rasa minder, rendah diri, merasa tidak berkelas, dan tidak percaya diri.
Referensi dalam naskah akademik juga dianggap menjadi bukti pemerintah tidak mendukung amanah pembukaan UUD 1945. Salah satu tugas pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. “Referensi naskah itu sebaliknya mencerminkan seakan-akan orang Indonesia bodoh, sehingga tak ada yang patut dirujuk keilmuannya,” ujar dia.
Manajer Kampanye Infrastruktur Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, menyoroti landasan filosofis naskah akademik RUU IKN. Dalam paragraf terakhir disebutkan bahwa keberadaan RUU IKN yang mengatur tata kelola pemerintahan dapat melindungi warga dari ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan di wilayah timur Indonesia. Menurut Sawung, hal tersebut tidak logis karena bencana ekologis juga banyak terjadi di Kalimantan.
Beberapa negara yang dijadikan rujukan pemerintah untuk memindahkan ibu kota, kata Sawung, juga tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Negara-negara yang dijadikan contoh, seperti Malaysia, Pakistan, dan Kazakhstan, memindahkan ibu kota masih dalam satu daratan. Sedangkan di Indonesia pindah pulau, sehingga tantangan yang dihadapi juga berbeda.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa saat mengikuti rapat kerja terkait RUU Ibu Kota Negara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 17 Januari 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menanggapi hal itu, Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pembahasan RUU IKN membutuhkan waktu dua tahun. Bappenas mempertimbangkan dari sisi kematangan naskah akademik, materi, hingga ahli sejarah. Ia memastikan rancangannya sudah melibatkan kalangan yang relevan dan memiliki otoritas.
Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Negara, Sidik Pramono, mengatakan ide pemindahan ibu kota diajukan sejak era Presiden RI pertama, Sukarno. Adapun kajian teknisnya oleh Bappenas mulai dilakukan sejak 2017.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Irfan Pulungan, menyatakan naskah akademik RUU IKN hanyalah pendukung sebuah undang-undang. Naskah tersebut, kata dia, disusun berdasarkan pandangan ilmiah para akademikus dan profesional. “Jadi, naskah akademik itu tidak harus sempurna,” ujar Irfan.
FRISKI RIANA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo