Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman Hamid
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
SEKELOMPOK aktivis dan wartawan suatu hari pada Juni 2008 datang menemui Bambang Hendarso Danuri (BHD), yang ketika itu Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. Mereka menanyakan nasib investigasi kasus Munir—aktivis hak asasi manusia yang tewas diracun dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam pada 2004.
Tersangka pembunuh sudah ada, tapi tak tersentuh. Polisi kabarnya sempat akan menyerah. Mereka ditekan dari kiri-kanan. Bambang dan beberapa perwira bawahannya mendapat teror serius. Entah oleh siapa. Kita semua tahu: BHD hendak menangkap Muchdi Pr., petinggi Badan Intelijen Negara yang ditengarai terlibat kasus Munir.
Kepada para aktivis, BHD berjanji akan mengambil risiko berat. Dia membuktikannya. Suatu petang, Muchdi ditangkap saat keluar dari lobi sebuah hotel. Wajah para anggota tim polisi yang membekuknya tegang. Konon, BHD ada di sana dengan wajah berkeringat dan senjata siap menyalak. Muchdi tak melawan. Dibekap polisi, ia digelandang menuju markas Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Kita tahu ada klimaks dari cerita itu: BHD diangkat menjadi Kepala Kepolisian RI. Adapun kisah Muchdi antiklimaks: ia dibebaskan pengadilan pada akhir 2008.
Di bawah kepemimpinan BHD, terutama atas keberhasilannya mengungkap kasus Munir, kepercayaan masyarakat kepada kepolisian sempat naik. BHD bukan sosok yang tanpa visi. Di awal kepemimpinannya, ada usaha keras membenahi mindset perwira tinggi, memperbaiki kinerja reserse dan petugas pelayanan masyarakat. Penggunaan senjata api lebih terkontrol kecuali dalam kasus perburuan teroris. BHD mengesahkan seperangkat kebijakan maju, misalnya Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi hak asasi manusia yang memaksa petugas menghormati HAM, termasuk tidak melakukan penyiksaan dalam pemeriksaan.
Ada juga Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2008 yang meminta publik menjadi subyek aktif membantu polisi mengatasi persoalan hukum di masyarakat. Paradigma peraturan ini adalah menjunjung tinggi prinsip demokrasi, kemajemukan, dan hak asasi manusia. Akuntabilitas juga mendapat perhatian penting.
Namun sekarang kepercayaan itu menurun tajam dan jatuh pada titik terendah. Setahun terakhir, mata publik terus menyoroti sepak terjang kepolisian. Lebih spesifik lagi, sosok BHD yang tengah menunggu masa pensiun.
Lihat saja misalnya penanganan kasus penahanan dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit-Chandra, yang berlarut-larut. Kita juga ingat kasus pencopotan Komisaris Jenderal Susno Duadji dari jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal dan kehadiran Susno sebagai saksi dalam sidang kasus pembunuhan pengusaha Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Ketua KPK Antasari Azhar dan perwira polisi Wiliardi Wizar. Juga rekayasa kasus Aan dan dugaan rekening gendut milik perwira tinggi yang berakhir antiklimaks. Belum lagi kasus Bank Century, Masaro, Bank Indover, dan mafia pajak. Ada pula kasus rekomendasi kerja Tim 8 untuk mereposisi sejumlah pejabat kepolisian, juga kejaksaan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang diakibatkan kasus Anggodo. Semua bernasib sama: menggantung. Inilah kemunduran terbesar dari reformasi kepolisian.
SETIAP kali ada kesempatan bertemu dengan pegiat masyarakat sipil, BHD selalu menekankan apresiasinya atas dorongan LSM agar polisi mereformasi diri. Tak lupa pula ia menegaskan kehendaknya mewujudkan harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang adil. Tentu saja niat itu positif meski penekanan kebijaksanaan mestinya bukan semata kehendak hati, melainkan perlu sikap nyata.
Ketika berniat menangkap pelaku serangan terhadap aktivis antikorupsi Tama Langkun dan pelaku pelemparan bom molotov di kantor majalah Tempo, seharusnya BHD mengambil tindakan nyata. Tapi yang terjadi, alih-alih menangkap pelaku pelemparan bom molotov, polisi kini menuding kasus itu berkaitan dengan konflik internal Tempo. Jika BHD memang berkomitmen mengusut dugaan kepemilikan rekening gendut, seharusnya ada perwira yang dibawa ke pengadilan. Mengutip Franz Magnis-Suseno, etika kebijaksanaan mementingkan tindakan yang bijaksana, bukan sekadar sikap batin.
Genderang perang yang telah lama ditabuh kini redup. Perang melawan penyerang aktivis tak terdengar. Perang memberantas teroris memproduksi teroris baru. Perang melawan judi dan penyelundup kehabisan logistik dan bahan bakar. Perang melawan koruptor dan mafia peradilan, ibarat pedang makan tuan, menghasilkan perlawanan balik dan memukul mundur pasukan yang awalnya menyerang. Tak lagi jelas mana kawan, mana lawan.
Alih-alih merangkul kawan dari elemen masyarakat sipil, polisi kini malah memusuhi mereka. Dokumen ”Program Kerja 2010 tertanggal 11 Juni 2010” dan ”Rencana Strategis 2010-2014” yang diterbitkan pada Januari tahun lalu bahkan menyebutkan nama beberapa LSM yang dianggap merusak citra kepolisian. Semangat dua dokumen itu bertolak belakang dengan grand strategy Polri 2005-2025 yang disusun Jenderal Sutanto, Kepala Polri sebelum BHD. Jika program itu dijalankan, tahun ini mestinya Polri masuk fase membangun kepercayaan (trust building).
Dua dokumen ”rahasia” tersebut merupakan potret yang bisa berbicara tentang mengapa dan dari mana sumber kekacauan kepolisian. Siapa yang menyusun dokumen ini? Barangkali ada perwira-perwira yang memiliki niat hitam. Saya berharap dua dokumen itu bukan merupakan sikap resmi Polri. Sebab, jika ya, arah kebijakan kepolisian ke depan bukan membaik, melainkan makin memburuk. Kepercayaan publik kian menurun dan hubungan kepolisian dan masyarakat sipil menjadi kian diametral.
Polisi mestinya segera berbenah. Sistem pembinaan karier seharusnya dilaksanakan agar promosi perwira—misalnya untuk jabatan kepala kepolisian daerah—sepenuhnya didasari kinerja, bukan karena faktor ”kedekatan” dengan pimpinan. Cara yang terakhir ini dipercaya telah membuat sejumlah perwira senior kecewa sehingga melakukan perlawanan diam-diam, termasuk dengan membangun lobi politik di luar markas polisi. Cara ini dipercaya juga dilakukan untuk mencari celah agar mereka terpilih menggantikan BHD, yang akan pensiun Oktober tahun ini.
Di pihak lain, masyarakat sipil harus memastikan bahwa soal anggaran kepolisian segera diatasi. Selama polisi dibiarkan bekerja dengan anggaran yang cekak, praktek mencari dana untuk kebutuhan kerja polisi—sesuatu yang tak lain adalah korupsi—akan terus merajalela.
Perubahan yang utama adalah menghapuskan off budget. Sehingga tak ada lagi jalur ”A” alias Asiong dan Aliong ataupun ”parman” alias partisipasi teman, yang merujuk pada praktek permintaan dana dari pengusaha untuk memenuhi anggaran kepolisian. Dalam hal ini, negara harus memiliki batas waktu yang jelas kapan kepolisian dapat memperoleh 100 persen anggaran belanja bagi kebutuhan kerjanya.
Pemimpin politik formal harus aktif memantau dan mencarikan jalan reformasi polisi. Gugus kerja seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan tak boleh pasif. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang membawahkan bidang kepolisian, tak boleh dibiarkan lapuk digerogoti kepentingan jangka pendek. Lebih jauh, Presiden harus mengambil bagian agar Kepala Kepolisian tak merasa seperti ”komandan yang kehilangan komando”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo