Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Misteri Sebuah Rekaman

Polisi tak bisa membuktikan memiliki rekaman percakapan Ade Rahardja dan Ary Muladi. Yang ada hanya data keluar-masuk telepon yang disebut milik kedua orang itu.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERTAS berukuran dua halaman folio itu hanya berisi deretan angka. Di lajur paling kiri tertera daftar nomor telepon seluler panggilan masuk (incoming) dan keluar (outgoing). Sebelah kanannya terdapat dua lajur berisi durasi percakapan dan lokasi menara telekomunikasi atau base transceiver station (BTS) terdekat dari setiap panggilan. Adapun di pojok atas tercantum identitas pemilik nomor.

Dokumen yang diterbitkan salah satu provider telepon seluler nasional itu adalah rekaman hubungan telepon (call data record/CDR) dari dua nomor berbeda pada kurun waktu Agustus 2008 yang ditunjukkan sumber Tempo, seorang pejabat hukum, pekan lalu. Itulah data panggilan masuk dan keluar telepon milik Ade Rahardja, Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ary Muladi, tersangka kasus dugaan percobaan penyuapan pemimpin KPK.

Percakapan Ary dan Ade merupakan ”kunci” penting untuk mengungkap kasus penyuapan ini. Juli lalu, rekaman ini pula yang diminta majelis hakim dihadirkan di persidangan Anggodo. Sebelumnya, polisi memang mengklaim memiliki bukti percakapan Ary-Ade itu. Tapi, hingga dua kali penundaan sidang, rekaman itu tak kunjung muncul. Lantaran tak juga datang, Rabu dua pekan lalu, hakim memutuskan rekaman tak perlu diputar. Sehari kemudian muncullah pernyataan Markas Besar Kepolisian RI: mereka tak memiliki rekaman itu, tapi hanya memiliki data percakapan alias CDR.

Sikap kepolisian tak ayal menuai cibiran sejumlah pihak. Indonesia Corruption Watch, misalnya, menilai tak diserahkannya rekaman atau CDR itu sebagai penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court). ”Kalau rekaman ada dan tidak diserahkan, ada ancaman pidananya,” kata peneliti ICW, Febri Diansyah. ”Apalagi kalau rekaman itu tak pernah ada.” ICW menuding Kepala Kepolisian Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji telah membohongi publik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keberadaan rekaman Ade dan Ary ini memang pernah disinggung Kepala Polri saat rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR pada 5 November 2009. Saat itu, Bambang menyebut rekaman itu bukti kuat untuk menjerat dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah, dalam kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.

Empat hari kemudian, giliran Jaksa Agung Hendarman, juga di depan Komisi Hukum DPR, menyatakan ada 64 kali hubungan telepon antara Ade dan Ary. ”Di dalam rapat tertutup Pak Susno juga pernah mengungkapkan rekaman itu sebagai kartu truf,” kata anggota Komisi Hukum dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo.

Tapi belakangan kasus Bibit-Chandra ini ”berakhir” dengan keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) oleh Kejaksaan Agung. Penghentian itu membuat sekelompok pengacara, yang menamakan diri Komunitas Advokat, berang. Komunitas meminta rekaman itu sebagai bukti untuk mempraperadilankan SKPP. Dalam surat jawabannya pada Desember 2009, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi menyatakan barang bukti rekaman itu bisa diberikan jika ada perintah pengadilan.

Tapi muncul kejanggalan di sini. Juli lalu keberadaan rekaman itu dibantah oleh Komisaris Polisi Farman, penyidik kasus Bibit-Chandra. Farman menyatakan hal itu kala menjadi saksi pada persidangan Anggodo. Namun polisi terkesan tak mau kehilangan muka. Belakangan, Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ketut Untung Yoga Anna menyatakan yang dimaksud polisi soal rekaman itu adalah CDR. Kendati sempat keukeuh menyatakan CDR itu menunjukkan hubungan telepon Ade dan Ary, Jumat pekan lalu, Untung mengaku CDR itu hanya menunjukkan hubungan telepon Ary dengan pihak lain, bukan dengan Ade.

Tempo mengecek data CDR dalam dokumen selebar dua folio itu. Dari nomor Ary Muladi sepanjang Agustus 2008, tidak ada catatan panggilan ke dan dari nomor Ade Rahardja, baik nomor yang disebut Ary di berita acara pemeriksaan maupun yang dipakai Ade sehari-hari. Padahal, kepada polisi, Ary mengaku beberapa kali menghubungi Ade pada Agustus 2008. Pada 4 Agustus, misalnya, ia mengaku datang ke kantor KPK di kawasan Kuningan untuk bertemu dengan Ade. Di gedung KPK, ia juga disebut-sebut sempat menelepon Ade. Tapi, dari CDR itu, dilihat dari posisi BTS terdekat, nomornya tak tercatat di BTS sekitar Kuningan.

Ada juga pengakuan Ary soal pertemuan dengan Ade di Bellagio Residence Mega Kuningan pada 7 Agustus 2008. Dalam pertemuan itu, kata Ary—seperti yang dinyatakan dalam berita acara pemeriksaan—Ade meminta ”atensi” untuk pemimpin KPK sebagai imbalan penghentian kasus Anggoro Widjojo, kakak Anggodo. Dari pengecekan CDR diketahui, pada tanggal itu, nomor telepon Ade seharian terdeteksi di Bandung, Jawa Barat. Saat menjadi saksi di persidangan Anggodo, Ade menyatakan tak mengenal Ary. Ary Muladi sendiri belakangan meralat pengakuannya. Ia bahkan membuat kejutan dengan memunculkan nama Yulianto. Kepada Yulianto itulah, ujarnya, ia telah menyerahkan duit untuk diteruskan ke pemimpin KPK.

Pengamat teknologi Ruby Alamsyah menuturkan CDR tak bisa menunjukkan kedekatan hubungan Ade dan Ary. Data dalam CDR, kata Ruby, hanya menunjukkan telepon yang memang terdaftar atas nama dua orang itu. ”Bisa saja orang itu menggunakan nomor lain.”

l l l

Medio Juli 2009, gelar perkara kasus dugaan suap pemimpin KPK antara kepolisian dan kejaksaan di gedung Kejaksaan Agung mendadak dibatalkan. Kedatangan puluhan wartawan yang mencium acara itu membuat rapat penting yang sedianya digelar sore hari dipindahkan ke kantor Badan Reserse Kriminal Polri. Pada rapat yang dilakukan malam hari itulah, demikian menurut sumber Tempo di kepolisian, untuk pertama kali soal adanya hubungan telepon Ade dan Ary itu dibuka kepada sejumlah petinggi kejaksaan.

Saat itu, kata sumber Tempo, penyidik polisi menyebut ada sekitar sepuluh calon tersangka dalam kasus suap Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo itu. Selain Bibit dan Chandra, mereka antara lain Wakil Ketua KPK M. Jasin, Deputi Penindakan Ade Rahardja, dan lima penyidik Komisi.

Arah angin memang berubah setelah Ary Muladi mencabut semua keterangannya pada pemeriksaan pertama. Tapi adanya rekaman itu sudah telanjur disampaikan ke Kepala Polri dan sampai pula ke Jaksa Agung. Kepala Polri sendiri ”telanjur” juga menyatakan adanya rekaman itu ke DPR.

Menurut bekas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, dia pernah meminta rekaman itu karena keterangan adanya rekaman tersebut tercantum dalam berkas pemeriksaan. Tapi, kata Marwan, tiga kali berkas dikembalikan, rekaman itu tak pernah diberikan penyidik. Jaksa peneliti, kata Marwan, juga pernah meminta data hubungan telepon Ary-Ade sebanyak 64 kali, seperti yang dilaporkan. Sebab, menurut dia, data ataupun rekaman itu merupakan rantai penting dalam kasus Bibit-Chandra. ”Dari keterangan Ary, Ade yang menjadi penghubung,” kata Marwan, yang kini menjabat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.

Sumber Tempo menyebutkan penyidik sebenarnya sudah meminta ahli teknologi dari luar negeri untuk menyalin percakapan Ade dan Ary empat bulan ke belakang. ”Rekaman itu diamankan,” ujar sumber itu. Namun, menurut sumber itu lagi, rekaman itu hanya dikuasai segelintir orang di kepolisian. Keberadaan rekaman tersebut diyakini juga oleh anggota Komisi Hukum DPR, Bambang Soesatyo. Dari keterangan sejumlah pihak, Bambang mendapat informasi rekaman itu sengaja dimusnahkan karena isinya sangat sensitif. ”Karena kalau dibuka akan merugikan kepolisian,” kata Bambang.

Ruby sendiri meyakini sangat sulit polisi bisa memperoleh percakapan Ade dan Ary. ”Karena baru tahu belakangan dan dua nomor itu tak disadap sebelumnya.” Provider pun, kata dia, kecil kemungkinan merekam pembicaraan dua orang itu.

Susno menegaskan dia tak pernah tahu ada rekaman itu. ”Enggak tahu saya,” ujarnya kepada Tempo setelah mengikuti sidang uji materi Undang-Undang Perlindungan Saksi di Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu. Kepala Bareskrim Ito Sumardi mengatakan pihaknya hanya punya CDR, bukan rekaman percakapan.

Perkara adanya rekaman percakapan Ary-Ade yang telanjur ke mana-mana ini tak akan berhenti pada pengakuan Ito, yang menyatakan polisi hanya memiliki CDR. Pekan-pekan ini Komisi Hukum DPR akan meminta Kepala Polri menjelaskan pernyataannya yang sebelumnya dengan gamblang menyebut adanya rekaman itu. ”Kapolri mesti menjelaskan soal misteri rekaman tersebut,” kata Bambang Soesatyo.

Anton Aprianto, Cornyla Desyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus