Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai gugatan diprediksi bermunculan menyusul penyitaan masif aset obligor BLBI.
Satgas BLBI harus melengkapi berbagai dokumen guna menghadapi sidang gugatan.
Proses gugatan harus dikawal ketat oleh publik.
JAKARTA – Sejumlah obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menggugat ke pengadilan karena berang asetnya disita negara. Berbagai gugatan dari para obligor diprediksi terus bermunculan menyusul penyitaan masif aset BLBI selama dua tahun terakhir.
Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, mengatakan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI atau Satgas BLBI harus melengkapi berbagai dokumen guna menghadapi sidang gugatan tersebut. Prosedur dan mekanisme penyitaan serta pengambilalihan aset harus dicek ulang. “Agar tidak ada kekurangan yuridis dalam pengambilan keputusan,” kata Dian kepada Tempo, kemarin.
Salah satu gugatan terbaru yang mampir ke meja Satgas BLBI adalah dari obligor Kaharudin Ongko. Kaharudin adalah pemilik Bank Umum Nasional dan Bank Arya Panduarta. Ia punya kewajiban obligasi dari dua bank itu senilai sekitar Rp 8,2 triliun kepada negara.
Awal pekan ini, anak Kaharudin Ongko, Irjanto Ongko, menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ia menggugat karena negara menyita asetnya pada Maret lalu. Aset itu adalah dua bidang tanah dan satu bangunan di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Satgas BLBI pernah mengungkapkan bahwa aset itu disita karena berdasarkan perjanjian yang diteken pada Desember 1998, Kaharudin menjadikan seluruh properti dan aset yang dimiliki anak, orang tua, pemegang saham, dan pasangan-pasangannya menjadi jaminan piutang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obligor BLBI, Kaharudin Ongko, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 November 2001. Dok. TEMPO/Arif Ariadi
Gugatan tersebut masuk pada 7 Juni lalu. Setidaknya ada delapan petitum atau permintaan yang diajukan Irjanto dalam gugatan. Di antaranya, Irjanto meminta hakim membatalkan penyitaan dan Satgas BLBI membayar kerugian yang ia alami selama penyitaan.
Ini bukan pertama kalinya Satgas BLBI dituntut karena menyita aset obligor yang kabur. Pada awal Februari lalu, taipan pemilik bekas Bank Lautan Berlian, Ulung Bursa, juga menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani ke PTUN Jakarta. Ia berkeberatan atas penyitaan aset tanah dan rumah mewahnya di Menteng. Ada pula sebidang tanah di Matraman, Jakarta Pusat. Menurut catatan BLBI, Ulung punya utang Rp 467 miliar yang belum dibayar. Prakiraan harga aset di kawasan elite Menteng itu, kata BLBI, adalah sekitar Rp 70 miliar.
Belakangan, Ulung dan kuasa hukumnya mencabut gugatan itu. Kuasa hukumnya menyatakan sudah ada dialog dengan Satgas BLBI dan Kementerian Keuangan. Walhasil, kliennya dibolehkan mencicil utang yang belum dibayar.
Nailul Huda dari lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance mengatakan Satgas BLBI serta Kementerian Keuangan harus gigih menghadapi gugatan-gugatan tersebut. Apalagi tim Satgas sudah dibantu kejaksaan hingga kepolisian. “Jadi, tidak ada kamus kalah melawan obligor,” kata Nailul.
Satgas BLBI menyita aset anak obligor BLBI Kaharudin Ongko, Irjanto Ongko, di Kuningan Timur, Jakarta, 22 Maret 2022. Dok. Satgas BLBI
Nailul juga memperkirakan masih ada gugatan lain yang muncul menjelang penyitaan aset obligor kasus BLBI. Ia juga mengingatkan proses gugatan harus dikawal ketat oleh publik. “Agar tidak ada kesepakatan tertentu yang bisa membuat aset obligor balik lagi ke mereka,” kata peneliti lulusan Universitas Indonesia ini.
Satgas BLBI mencatat, hingga 31 Maret 2022, pihaknya telah berhasil menyita aset senilai Rp 12,258 triliun dari para obligor. Aset ini berupa tanah seluas sekitar 19 juta meter persegi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Aset-aset ini berasal dari tujuh pengemplang utang BLBI.
Gugatan terkait dengan BLBI lainnya pernah diajukan pula oleh dua obligor Bank Asia Pacific, Setiawan Harjono dan Hendrawan Haryono, ke Pengadilan Jakarta Pusat. Mereka menganggap bukan sebagai penanggung piutang sebesar Rp 3,57 triliun. Gugatan itu kalah dan keduanya mengajukan banding.
Hingga kemarin, Tempo belum berhasil menghubungi kuasa hukum Irjanto Ongko, Mohamad Ali Imran Ganie. Adapun Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban, menanggapi santai berbagai gugatan yang muncul akibat penyitaan aset BLBI. "Setiap orang berhak menggunakan upaya-upaya yang dia miliki," kata Rionald. "Tapi orang-orang ini sudah enggak bayar lebih dari 20 tahun. Berarti niat bayarnya enggak ada."
INDRI MAULIDAR | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo