Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak diluncurkan pada 2019, Dana TERRA menjadi program penyaluran dana pertama di BPDLH yang dilakukan melalui lembaga perantara dengan skema call for proposal.
Selain Dana TERRA, pembiayaan untuk pemasangan PLTS atap sudah bergulir.
Due diligence bersifat administratif yang disusun BPDLH mendapat banyak masukan karena dianggap terlampau rumit dan rigid.
SEJAK diluncurkan pada 2019, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) menjadi jangkar pendanaan untuk bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lingkungan hidup lain. Badan ini menjadi badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan yang akan menampung dan mengelola pelbagai sumber pendanaan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mendukung pengelolaan dan pelindungan lingkungan hidup.
Menurut Kepala Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto, pengelolaan dana-dana tersebut merujuk pada program prioritas pemerintah dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi gas rumah kaca yang dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional yang Ditingkatkan (enhanced NDC). Ia menyebutkan ada empat kerangka kerja yang dimiliki BPDLH, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan iklim dan kebencanaan, dan peningkatan ketahanan masyarakat.
Keempat kerangka kerja tersebut dituangkan lagi ke dalam lima program tematik, yaitu pengelolaan hutan dan lahan serta pengelolaan ekosistem berkelanjutan; peningkatan akses energi; pengelolaan limbah dan sirkular energi; peningkatan kesehatan, perairan, dan ketahanan pangan; serta adaptasi iklim dan manajemen risiko bencana. Meski demikian, dalam situsnya BPDLH menyebutkan adanya pembiayaan usaha kehutanan untuk hutan tanaman industri yang erat kaitannya dengan pembukaan hutan dan lahan serta menjadi pengemisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan.
Menurut Djoko, pembiayaan tersebut ditujukan untuk kegiatan reboisasi yang telah diatur dalam peraturan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan pada 2011. Selain itu, tujuan pembiayaan kepada pemegang izin hutan tanaman industri dan perhutanan sosial adalah mengubah kawasan hutan produksi yang tidak produktif menjadi kawasan hutan produktif. "Setelah Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan digabungkan dengan BPDLH, kami memfokuskan penyaluran kepada debitor mikro atau perorangan agar peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dapat dilakukan secara cepat, khususnya setelah pandemi Covid-19," kata Djoko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama (BPDLH) Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Djoko Hendratto di Jakarta, 29 September 2022. (Tempo/Tony Hartawan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2019, setidaknya ada enam donor internasional yang sudah menitipkan pembiayaan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Keenam donor itu adalah Green Climate Fund sebesar US$ 130 juta, Forest Carbon Partnership Facility (US$ 110 juta), BioCarbon Fund (US$ 70 juta), Debt for Nature Swap (Rp 56 miliar), Ford Foundation (US$ 1 juta), dan Global Environment Facility (Rp 23 miliar). Sementara itu, dana lain untuk rehabilitasi mangrove yang disetor dan dikelola BPDLH sebesar Rp 400 juta dan dana reboisasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebesar Rp 8 triliun.
Untuk meminimalkan risiko pembiayaan, Djoko menjelaskan, BPDLH memiliki kerangka pengamanan yang dijalankan secara internasional. Ia memberi contoh, dalam isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), prinsip pengaman yang diimplementasikan mencakup aspek tata kelola, sosial, lingkungan, dan gender. Ia percaya pengaman akan mencegah timbulnya dampak negatif dari pelaksanaan program. Pengaman ini menjadi salah satu syarat yang harus dilampirkan dalam pengajuan proposal dan tercantum dalam perjanjian kerja sama antara BPDLH dan penerima manfaat, juga dalam laporan program atau kegiatan yang didanai.
Menurut Djoko, program yang sudah berjalan saat ini adalah Program Dana untuk Kesejahteraan dan Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (Dana TERRA) yang dibiayai Ford Foundation. "Program Dana TERRA merupakan penyaluran dana pertama di BPDLH yang dilakukan melalui lembaga perantara dengan skema call for proposal," tuturnya. Ia menyebutkan, sepanjang 29 Maret-31 Juli 2022, terdapat 635 proposal dengan rincian 142 untuk pengabdian masyarakat, 326 untuk penelitian, dan 167 untuk lembaga perantara.
Dari jumlah tersebut, hingga Jumat, 18 November lalu, permohonan pembiayaan yang telah diterima sebanyak 7 untuk lembaga perantara dan 14 untuk kegiatan pengabdian masyarakat serta 13 kandidat permohonan untuk kegiatan penelitian. Permohonan-permohonan dari penerima manfaat ini setara dengan penyaluran dana sebesar Rp 10,73 miliar.
Program Officer Ford Foundation Indonesia Farah Sofa mengatakan keputusan lembaganya memberikan pendanaan melalui BPDLH bukan tanpa pertimbangan. "Kami ingin memberikan kontribusi kepada BPDLH dalam membangun portofolio sekaligus memiliki dampak yang jauh lebih besar karena selaras dengan kegiatan pemerintah dan akan menjangkau mitra yang selama ini tidak bisa kami jangkau karena keterbatasan yang kami miliki," ucapnya. Dari total dana yang dihibahkan, ia menjelaskan, sebanyak 20 persen digunakan untuk membiayai keperluan teknis. Selebihnya barulah digunakan untuk mendanai program.
Kunjungan BPDLH ke lokasi KTH Mekarjaya, Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 2022. (foto: Absolute Indonesia)
Menurut Farah, Ford sebagai lembaga filantropi tidak memiliki banyak tuntutan baik dalam pelaporan pertanggungjawaban maupun penetapan indikator capaian. "Kami ingin melihat rekam jejak dalam menyalurkan pendanaan langsung kepada kelompok masyarakat dan lintas komunitas di berbagai daerah," ujarnya. Sementara itu, dalam syarat penerimaan proposal, Farah menambahkan, Ford sangat menjunjung tinggi keberagaman, kesetaraan, dan prinsip keadilan. "Itu semua kami masukkan ke dokumen perjanjian bersama BPDLH," tuturnya.
Menurut Farah, para filantrop merasa gembira atas capaian BPDLH. "Banyak mitra baru yang belum pernah bekerja sama dengan Ford sebelumnya dan program atau inisiatif yang diajukan sangat beragam," katanya. Hanya, ia memberi masukan kepada BPDLH agar meninjau kembali syarat-syarat yang diajukan kepada kelompok organisasi sipil. Sebab, dengan rigidnya persyaratan dan banyaknya proposal yang masuk, penyaringan yang idealnya selesai dalam 60 hari menjadi molor hingga enam bulan.
Selain Dana TERRA, program pembiayaan yang sudah berjalan adalah untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, yang bergulir pada Maret-Oktober 2022. Program ini diklaim telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 7.963.750.000 kepada lebih dari 300 penerima manfaat. Mulai November ini telah diberlakukan pula pemberian insentif bagi pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang belum memiliki PLTS atap dan berniat melakukan pemasangan dengan target penerima manfaat khususnya di bangunan dengan peruntukan sosial serta bisnis skala kecil dan menengah.
Sampai akhir Desember ini, terdapat 60 calon penerima manfaat yang akan memasang PLTS atap melalui program ini dengan daya terpasang sebesar lebih dari 1.000 kilowatt-peak yang tersebar di 14 provinsi di seluruh Indonesia dengan nilai pembiayaan lebih dari Rp 15 miliar. Merujuk program ini, Direktur Utama BPDLH Djoko Hendratto mengklaim ada potensi penurunan emisi per tahun sebesar lebih dari 54,46 ton setara karbon dioksida dengan nilai efek pengganda lebih dari Rp 60 miliar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo