Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ford Foundation Indonesia dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup bermitra membiayai program Dana TERRA yang dioperasikan oleh lembaga sipil dan universitas.
Pembiayaan berlangsung selama satu tahun dengan penerima manfaat masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan.
Mempromosikan produksi berkelanjutan dan penggunaan sumber daya yang secara strategis penting untuk konservasi keanekaragaman hayati jangka panjang dan pengurangan emisi karbon.
SETELAH menunggu selama enam bulan sejak memasukkan proposal ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada Mei lalu, Soelthon Gussetya Nanggara dari Forest Watch Indonesia bisa bernapas lega. Pada Oktober lalu, organisasinya dinyatakan terpilih sebagai satu dari tujuh lembaga perantara pelaksana Program Dana untuk Kesejahteraan dan Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal alias Dana TERRA. Kontrak ditandatangani sebulan kemudian.
Sebagai lembaga perantara, Forest Watch Indonesia (FWI) menggandeng Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Absolute Indonesia yang berbasis di Cipeuteuy, Sukabumi, Jawa Barat, untuk melaksanakan programnya di tingkat tapak. "Penerima manfaatnya adalah kelompok tani hutan (KTH) di Desa Cipeuteuy dan Mekarjaya," kata Soelthon, Selasa, 15 November lalu. Program yang akan melibatkan 330 petani ini diberi nama Selaras, yang merupakan akronim Seimbangkan Ekosistem dan Lestarikan Alam, Rakyat Sejahtera.
Salah satu tujuan utama Selaras adalah peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola lahan. Menurut Soelthon, sasaran utama program adalah terlindunginya hak kelola petani di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui skema kemitraan konservasi dengan pengelola Balai TNGHS. "Skema pengusulan kemitraan konservasi ini akan diutamakan untuk KTH di Desa Cipeuteuy yang sampai saat ini belum memiliki perjanjian kerja sama kemitraan konservasi dengan Balai TNGHS," tuturnya.
Warga Cipeuteuy yang telah ratusan tahun tinggal di sekitar kawasan TNGHS menggantungkan hidup pada kegiatan bercocok tanam di area tersebut. Saat itu belum ada penetapan ataupun perluasan area kawasan konservasi yang dikelola Balai TNGHS. Bahkan sebagian besar masyarakat mengikuti program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat bersama Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) yang memungkinkan warga bertani dengan sistem tumpang sari.
Namun, sejak 2003, aktivitas pertanian masyarakat tersebut menjadi ilegal ketika wilayah Perhutani diambil alih Balai TNGHS. Pengambilalihan tersebut berdampak meluasnya kawasan konservasi yang dikelola Balai TNGHS. Akibatnya, wilayah garapan masyarakat yang semula berada di luar menjadi di dalam wilayah konservasi.
Program lain yang diusung FWI adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya untuk KTH Mekarjaya, melalui perluasan pasar. Menurut Ketua Badan Pengurus Absolute Indonesia Muhammad Kosar, melalui Dana TERRA, perluasan pasar untuk komoditas sayur, pala, kopi, gula semut, dan madu akan ditingkatkan lewat kerja sama dengan pengusaha di bidang retail, perhotelan, dan restoran. "Agar harga yang didapatkan petani bisa berada di atas rata-rata harga pasar tradisional dan sekaligus memutus rantai tengkulak yang merugikan petani," ucapnya.
Dana TERRA adalah pembiayaan yang dirancang untuk menguatkan pelindungan dan pelestarian hutan serta ekosistemnya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Biaya program hibah Dana TERRA berasal dari Ford Foundation Indonesia yang dikucurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
Menurut Program Officer Ford Foundation Indonesia Farah Sofa, Dana TERRA memang dirancang untuk menguatkan masyarakat di tingkat tapak. "Pada dasarnya Ford Foundation berfokus mendukung tiga aspek, yaitu ide-ide inovatif, individu, dan institusi. Kami mendukung BPDLH sebagai institusi yang baru terbentuk supaya memiliki portofolio yang baik dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat," ujarnya.
Ada tiga program yang didanai Dana TERRA, yaitu pemberdayaan masyarakat melalui lembaga perantara, hibah penelitian yang ditujukan bagi para akademikus di pelbagai universitas, dan pengabdian masyarakat. "Antusiasmenya luar biasa, ada 700-800 proposal yang diterima BPDLH," kata Farah. Dalam seleksi, Farah melanjutkan, Ford bertindak sebagai penasihat. Di dalam tim terdapat perwakilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Kepala BPDLH Djoko Hendratto, Dana TERRA bertujuan mempromosikan produksi berkelanjutan dan penggunaan sumber daya yang secara strategis penting untuk konservasi keanekaragaman hayati jangka panjang dan pengurangan emisi karbon serta risiko perubahan iklim. "BPDLH akan mencapai tujuan tersebut melalui kerja sama dengan tujuh lembaga perantara," tuturnya dalam jawaban tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 18 November lalu.
Poin penting dalam kerja sama, ia menjabarkan, berupa kegiatan pendampingan dan peningkatan kapasitas masyarakat melalui penguatan kelompok tani hutan, fasilitas pengurusan dan percepatan kemitraan konservasi, rehabilitasi lahan, efisiensi energi melalui pemanfaatan energi terbarukan, serta peningkatan produk hasil hutan bukan kayu. Selain itu, ada perluasan jaringan pasar melalui peningkatan rantai nilai produk dengan sistem ketelusuran dan berkelanjutan serta peningkatan kerja sama dengan pihak swasta.
Djoko menambahkan, kegiatan ini tersebar di tujuh provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat, dengan perkiraan target penerima manfaat 37 KTH dengan estimasi jumlah anggota 4.500 orang. Dana TERRA juga membiayai 12 perguruan tinggi dari berbagai provinsi. "Kerja sama ini untuk mendorong kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan di 14 desa dengan target penerima manfaat sebanyak 500 orang," katanya.
Selain FWI, lembaga perantara dalam program ini adalah Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (Arupa) dengan penerima manfaat gabungan KTH Desa Kedungasri dan KTH Sejati di Desa Kedungasri, Banyuwangi, dan KTH Argo Makmur Lestari di Desa Besole, Tulungagung. Semuanya di Jawa Timur. Menurut Edi Suprapto, Direktur Eksekutif Arupa, program yang diusung lembaganya spesifik menguatkan kapasitas masyarakat yang telah menerima izin pengelolaan kawasan hutan dan lahan melalui skema perhutanan sosial dan reformasi agraria.
Untuk itu, Arupa menempuh jalur penguatan kelembagaan organisasi kemasyarakatan dengan melibatkan organisasi pemerintah daerah. "Kami mendorong adanya peraturan internal mengenai pengelolaan lahan untuk mengantisipasi pelbagai persoalan yang berpotensi muncul ke depan," ucapnya. Arupa akan membekali masyarakat dengan basis data, seperti peta kepemilikan lahan, serta mengoptimalkan pemanfaatan peta untuk pengambilan kebijakan di tingkat tapak.
Program ketiga yang diusung Arupa adalah mendorong tumbuhnya unit usaha dengan pasar yang luas. Ia menceritakan inisiatif nelayan di Banyuwangi yang berhasil membesarkan anakan kepiting bakau yang tertangkap tapi tidak laku dijual di pasar. "Kami mengembangkan satu kepiting satu keramba dan membesarkannya hingga tiga-empat kali lipat ukuran semula dan bisa dipasarkan dalam skala besar, seperti ke restoran atau hotel," tuturnya.
Untuk KTH di Tulungagung, kata Edi, akan dikembangkan jasa ekowisata dengan memaksimalkan keindahan alamnya. Arupa akan memfasilitasi pengadaan bibit pohon untuk ditanam di beberapa area terbuka. Dengan tiga program ini dan adanya sinergi dengan pemerintah daerah, ia berharap kemandirian masyarakat bertumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo