Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“ASLINYA mayat-mayat di sepanjang sungai itu kepalanya kelihatan mengambang.” Tangan sejarawan Universiteit Leiden, Belanda, Simon C. Kemper, menunjuk reproduksi copper plate bergambar suasana huru-hara di Batavia pada 9 Oktober 1740 yang dimuat dalam buku Nusantara in Print: How Indonesian Island, Seas and People Were Depicted on Paper Between the Sixteenth and Twentieth Century. Buku itu baru terbit tahun ini—sekitar sebulan sebelum pandemi corona meledak. Nusantara in Print menghimpun litografi-litografi langka koleksi Kartini Collection, Jakarta, yang diberi konteks sejarahnya oleh Kemper. “Copper plate ini dibuat oleh Adolf van der Lann (1680-1742). Versi pertamanya yang disimpan di Belanda cetakannya masih terang. Kepala-kepala korban jelas sekali terlihat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tahu, pada 9 Oktober 1740 terjadi pembantaian massal atas warga Tionghoa Batavia. Tragedi ini dimulai dari krisis perkebunan gula di Batavia. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Adriaan Valckenier membatasi produksi gula perkebunan warga Tionghoa. Akibatnya, pengangguran warga Cina meningkat. Pada 1740, Valckenier mendeportasi buruh-buruh Cina Batavia ke perkebunan Sri Lanka. Namun, di lautan, kapal mereka tenggelam. Isu yang beredar di kalangan Cina Batavia: teman-teman mereka itu sengaja dibunuh. Kerusuhan terjadi. Penjarahan yang dilakukan geng-geng Cina menjalar di Batavia. Para pendekar dan buruh Cina yang berada di pinggir-pinggir Batavia bersiap masuk untuk melakukan pemberontakan di Batavia. Gubernur Jenderal Valckenier menumpas dengan brutal. Tua-muda, laki-laki dan perempuan disembelih. Dia mengambinghitamkan tiga petinggi perusahaan dagang Belanda, VOC: Gustaaf Willem van Imhoff, Elias de Haeze, dan Isaac van Schinne. Ketiganya ditangkap di Batavia dan dihadapkan ke mahkamah di Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cetakan plat tembaga karya Adolf Van see Laan yang berjudul Afbeelding van dat gedeelte Van Batavia alwaar eigentlijk de schrkkelijke slagting Dee Chinezen geschied is den 9 Oktober 1740./Buku Nusantara In Print
“Melalui print ini, Van Imhoff membela diri. Dia meyakinkan tuan-tuan di Belanda bahwa Gubernur Jenderal Batavia Adriaan Valckenier-lah yang bersalah atas pembantaian itu,” ucap Kemper. Menurut dia, Van Imhoff secara khusus meminta engraver Belanda, Adolf van der Lann, mencetak gambar itu. “Cetakan bisa menjadi alat politik,” ujar Kemper. “Lihat, adegan gambar pembantaian Batavia ini menampilkan momen paling dramatis, yaitu saat gedung rumah Kapitan Cina yang berpenghuni ratusan orang dibakar. Dan, begitu keluar, mereka langsung ditusuk dan mayat-mayatnya mengambang di kanal,” dia menambahkan.
Gambar ternyata bisa menceritakan banyak hal. Bila kita amati selintas atau bahkan ketika kita pelototi, kita pasti tidak tahu bahwa di antara kerumunan orang yang semburat di depan gedung itu ada sosok Kapitan Cina. Hanya mata sejarawan seperti Kemper yang bisa mengidentifikasi. “Lihat, ini Kapitan Cina digambar lari menyamar dengan pakaian perempuan. Coba juga perhatikan di sini ada tiang tinggi yang dibelit ular. Bisa jadi ini lambang dari kejahatan Adriaan Valckenier yang dibuat Van Imhoff,” katanya. Dari sejarah, kita tahu akhirnya Gubernur Jenderal Valckenier-lah yang kemudian dimasukkan ke sel. Ia ditangkap saat berada di Afrika Selatan. Valckenier dibawa balik ke Batavia dan kemudian meninggal di dalam jeruji. Sementara itu, Van Imhoff malah kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-27, yang memerintah pada 1743-1750.
Di balik sebuah litografi ternyata ada banyak hal yang menarik dikupas. Bahkan bila litografi itu menyajikan gambar yang seolah-olah tak ada hubungannya dengan persoalan politik, seperti gambar panorama, gedung kolonial, suasana gereja, pesta dansa, dan figur berbagai sosok etnis Nusantara di pedalaman. Dan itulah yang membuat kaget kolektor Kartini Collection saat Simon C. Kemper mampu menyingkap banyak hal dari koleksi mereka. “Kami memiliki lebih dari 6.000 litografi. Itu diseleksi oleh Simon C. Kemper,” kata Hadi Sunyoto dari Kartini Collection yang juga dikenal sebagai pemilik perusahaan kawat las Nikko Steel.
Sampul buku Nusantara In Print: How Indonesian Island, Seas and People Were Depicted On paper Beetween The Sixteenth and Twentieth Century./Buku Nusantara In Print
“Kami mengumpulkan sejak 2003. Kami dapatkan dari berbagai toko barang antik di Singapura dan Belanda, juga dari lelang-lelang. Saya tidak menyangka itu bisa diulas panjang-lebar oleh Simon C. Kemper,” ujar Hadi. Menurut pria kelahiran Malang, Jawa Timur, itu, mulanya fokusnya adalah mengumpulkan print kuno yang menggambarkan gedung-gedung Batavia. “Awalnya saya tertarik pada gambar gedung-gedung tua. Sebab, saya lihat sekarang banyak gedung warisan Batavia kondisinya mengenaskan atau malah sudah dihancurkan. Saya ingin melihat bagaimana bentuk utuhnya dulu lewat gambar-gambar cetak.”
Penerbitan buku ini sendiri didedikasikan untuk sejarawan Batavia, Adolf Heuken, SJ, yang wafat pada 25 Juli 2019. “Romo Heuken tatkala meneliti sejarah Batavia banyak memanfaatkan koleksi kami. Bahkan Romo Heuken menerjemahkan buku kuno mengenai Batavia yang kami koleksi. Buku itu ditulis seorang opsir Belanda berdarah Jerman bernama J.W. Heydt pada 1744. Judulnya Allerneuster Geograpisch und Topo Grapischer Schau-Platz von Africa und Ost-Indien 1774. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Romo Heuken menjadi Painting and Description of Batavia in Heydt’s Book of 1774,” kata Liong Hauwming, rekan Hadi di Kartini Collection yang juga pemimpin proyek penerbitan—baik buku J.W. Heydt maupun buku litografi.
Buku J.W. Heydt, menurut Liong, sangat sukar lantaran masih menggunakan aksara Jerman lama yang tidak dimengerti lagi oleh orang Jerman kini. Tapi buku ini banyak memberi informasi tentang Batavia, baik melalui gambar maupun tulisan, karena ditulis dan digambar langsung pada 1744. “Romo Heuken juga kesulitan membaca. Apalagi usianya saat itu 83 tahun. Harus pakai kaca pembesar,” ujar Liong.
Menurut Simon C. Kemper, koleksi gambar cetak Kartini Collection cukup lengkap, terdiri atas copper plate, litografi, dan wood cut. Rentang periode koleksinya juga panjang, mulai produk abad ke-17 hingga abad ke-20. Bahkan mereka memiliki koleksi yang diproduksi sebelum VOC berdiri. “Kami, misalnya, punya beberapa gambar cetakan Theodore de Bry (1528-1598). Menurut Kemper, ini litograf dari zaman pra-VOC,” kata Hadi. De Bry bermukim di Frankfurt, Jerman. Dia membuka toko emas. Ia banyak membuat cetakan berdasarkan sketsa, gambar cat air, dan ilustrasi sumber tertulis mengenai Nusantara. De Bry sendiri tak pernah datang ke Nusantara. Dia, misalnya, memproduksi cetakan yang bergambar para pedagang Cina di Banten dan suasana iring-iringan pesta perkawinan orang-orang Eropa di Gresik.
Tapi, menurut Kemper, sebagian besar koleksi Kartini Collection berasal dari “golden age” percetakan-percetakan Belanda abad ke-17. “Saat itu litografi menjadi industri besar di Belanda. Gambar cetakan mengenai negeri-negeri eksotis sangat laku dan dipasarkan ke seluruh Eropa,” ujarnya. Menurut dia, ketika itu tengah terjadi kapitalisme litografi. “Saat itu litografi menjadi tren Eropa. Bayangkan, saat itu pasar litografi seperti pasar K-pop atau film-film Hollywood yang disukai masyarakat lintas negara,” ucap Kemper. Dia mengatakan banyak engraver Prancis, Inggris, Skotlandia, Italia, Belgia, dan Jerman kemudian bekerja di percetakan-percetakan Belanda sebelum mengembangkan di negara masing-masing. Meski begitu, perkembangan litografi di negara lain Eropa tidak sekomersial Belanda.
Amsterdam menjadi pusat percetakan litografi. “Kelas menengah Eropa sangat suka litografi. Bahkan litografi menjadi barang mewah yang dikoleksi bangsawan-bangsawan,” kata Kemper. Menurut dia, sesungguhnya saat itu litografi lebih populer di kalangan menengah daripada lukisan. Lukisan karya pelukis termasyhur seperti Rembrandt hanya dimiliki kalangan terbatas. “Sementara itu, litografi bisa dicetak berulang-ulang dalam jumlah yang banyak dan harganya jauh lebih murah daripada lukisan. Litografi juga bisa disebarluaskan ke mana-mana.”
Di samping itu, litografi bisa menjadi semacam pengetahuan tentang negeri-negeri asing yang saat itu masih “terra incognita” bagi orang Eropa. Gambar tentang pelabuhan-pelabuhan di seluruh dunia laku. Juga gambar mengenai panorama dan masyarakat di negeri-negeri jajahan yang jauh, seperti India, Coromandel, dan Sri Lanka. “Pada titik ini, gambar-gambar eksotis dari Nusantara sangat menarik perhatian. Mereka ingin tahu seperti apa Nusantara, baik orang-orangnya, pemandangannya, maupun flora dan faunanya. Harap diingat, saat itu, pada abad ke-17, belum ada lukisan tentang Jawa. Pelukis seperti Raden Saleh baru muncul pada abad ke-19,” ujar Kemper.
•••
HAMPIR semua gambar mengenai Batavia atau daerah lain di Nusantara pada abad ke-17 dicetak di Belanda. Engraver-nya bukan hanya seniman pencetak Belanda, tapi juga dari berbagai negara, dari Jerman, Inggris, sampai Italia. “Saat itu di Batavia belum ada percetakan,” kata Simon C. Kemper. Alur yang terjadi umumnya demikian: para engraver di Belanda menerima berbagai materi dan draf gambar dari Nusantara yang dibuat para surveyor. “Kita tidak tahu siapa para surveyor ini. Draf gambar asli para surveyor selalu hilang atau tak bisa dilacak. Ini butuh penelitian tersendiri,” ujar Kemper. Dia mengatakan sangat lazim draf yang dibuat para surveyor itu kemudian di Belanda mengalami tambahan atau dipermak sesuai dengan selera pasar yang dituju. “Antara draf gambar dan hasil cetakan yang diperjualbelikan di Belanda bisa berbeda sekali,” tutur Kemper.
Kolektor Hadi Sunyoto di Jakarta, 13 Maret lalu./TEMPO/Muhammad Hidayat
Pada titik ini, menarik untuk mendiskusikan persoalan realitas dalam sebuah karya litograf zaman VOC. Bila dalam sebuah litografi terdapat banyak tambahan yang disesuaikan dengan selera pasar, apakah bisa dikatakan yang tampak bukan merepresentasikan kenyataan 100 persen? “Betul. Karena itu sebenarnya bukan sebuah realitas. Itu realitas yang dikonstruksi,” ujar Kemper. Apalagi, menurut dia, “kodrat” litografi yang bisa dicetak berulang-ulang dan ditiru di mana-mana membuat kemungkinan munculnya gambar yang “sama” tapi dengan berbagai versi. “Antara cetakan satu dan cetakan berikutnya bisa berbeda. Katakanlah bila sebuah gambar dicetak 100 kali, boleh jadi ada 100 versi gambar. Bahkan mungkin ada 100 judul,” ucapnya.
Secara umum, sebagai sebuah produk yang dilempar ke pasar komersial, syarat utama sebuah litografi pastilah harus sesuai dengan kebutuhan imajinasi dan bayangan eksotik orang Eropa tentang Nusantara yang tidak mereka kenal. Tidak peduli apakah gambar yang disodorkan akurat atau tidak. Pada titik inilah citra Nusantara yang romantis sangat disukai para engraver untuk melayani imajinasi Eropa. Gambar-gambar bervisi romantisisme, menurut Kemper, menjadi gejala dunia litografi terutama mulai abad ke-19.
Di tangan Care William Meredith van de Velde (1818-1898), suasana perayaan di istana Ternate, misalnya, bisa sangat beraura Eropa. Van de Velde adalah seorang dokter pengembara. Dia juga terampil melukis dengan cat air. Dengan cat air, Van de Velde sering menggambar panorama Batavia, Serang, Kupang, dan Banda Neira. Lukisan-lukisan cat airnya itu lalu diserahkan kepada engraver terkenal, P. Lauters. Lauters lalu mentransformasikan ke cetak print. Salah satu litografinya berjudul Audience at the Sultan of Ternate (1845) menampilkan tarian Ternate yang disajikan di hall istana kepada tamu-tamu Eropa. “Lihat kostum para penarinya seperti kostum orang-orang Spanyol,” kata Kemper. Jika diperhatikan, mulai abad ke-17 sampai ke-19, banyak litografi yang selalu menampilkan panorama gunung berapi. Citra gunung berapi yang tidak terdapat di Eropa jelas merupakan bagian dari eksotisme. “Lihat cara menggambar gunung yang selalu sama dari masa ke masa. Bagaimana bisa selama ratusan tahun cara menggambarnya demikian stereotipe?” tuturnya.
Menurut Kemper, hanya orang-orang tertentu di abad ke-17 dan ke-18 yang bisa menggambar draf sendiri di Nusantara lalu membawa dan mencetaknya sendiri di Belanda. “Biasanya orang-orang demikian adalah mereka yang punya patron khusus. Ekspedisi mereka dibiayai oleh orang-orang kaya. Misalnya Cornelis de Bruijn (1625-1727), seorang botanis yang dibiayai oleh orang kaya Amsterdam bernama Nicolaes Witsen untuk berkeliling dari Persia sampai Nusantara. Dia menggambar banyak tumbuhan dan satwa langka dengan ketelitian tinggi. Atau Johannes Nieuhofdt, yang memang pernah tinggal di Batavia dan menggambar sendiri semuanya,” kata Kemper.
Johannes Nieuhofdt (1618-1672) banyak mengunjungi pos VOC di berbagai negara, dari Brasil sampai Sri Lanka. Dia menetap di Batavia tiga tahun, pada 1667-1670. Selama di Batavia, Nieuhofdt banyak membuat gambar. Dia hilang di Madagaskar—dan diperkirakan meninggal. Saat itu, ia melakukan perjalanan pulang dari Batavia ke Belanda. Ketika kapal yang ditumpanginya singgah di Madagaskar, dia turun untuk mencari air bersih, tapi ia tak kembali—diduga terbunuh. Semua materi gambarnya yang dibawa di kapal akhirnya dicetak posthumous di Belgia.
Kapitan Jonker di cetakan plat tembaga karya Johannes Nieuhof berjudul Een Amboneese Soldaat, 1682./Buku Nusantara In Print
Gambar Nieuhofdt banyak menampilkan gedung di Batavia dan suasananya. Salah satu yang menarik, dia merekam rumah yatim piatu di Jalan Orpa, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Roa Malaka II. Diperlihatkan banyak anak nakal bermain di depan rumah. Sesungguhnya, menurut Kemper, mereka bukan yatim piatu, tapi anak-anak blasteran (mestizo)—mungkin hasil dari “perselingkuhan” para pegawai Belanda dengan para nyai yang tidak diakui. Betapapun Nieuhofdt tinggal di Batavia dan menggambar langsung, bukan berarti dia tak melebih-lebihkan gambarnya. Salah satunya copper plate mengenai Kapitan Jonker.
Kapitan Jonker adalah pemimpin serdadu Ambon di Batavia. Berjudul Een Amboneese Soldaat (1682), Nieuhofdt melukiskan Kapitan Jonker berdiri dengan kaki telanjang. Tangan kanannya menghunus pedang. Tangan kirinya membawa perisai. Di bawahnya, seorang anak buahnya tengah membekuk sembari tengkurap seorang Tionghoa berkucir yang hendak ditebas lehernya dengan golok. Sang kapten berasal dari Kepulauan Manipa, utara Ambon, yang dikenal penduduknya beragama Islam. Menurut Simon C. Kemper, semua anak buah Kapitan Jonker adalah muslim, bukan Protestan. “Tapi saya melihat kostum Kapitan Jonker dibuat-buat. Gayanya berdiri memegang pedang dan tameng seolah-olah mengingatkan kita pada gaya serdadu Romawi. Tentu ini semua dikarang-karang, ” ujar Kemper.
Salah satu ilustrator yang sangat terkenal pada masa VOC adalah pelukis asal Denmark bernama Johannes Rach (1720-1783). Gambar-gambarnya mengenai gedung-gedung di Batavia menjadi ikon dan imaji populer dari Batavia. Perpustakaan Nasional pada 2003 secara khusus memamerkan 50 karya asli Johannes Rach. Waktu itu pameran dibuka oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika, serta Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin. Rach datang ke Batavia pada 1764 bergabung dengan dinas kemiliteran VOC. Ia membuka bengkel kerja sekaligus toko di bilangan Taman Fatahillah sekarang. Dia menggambar dengan pensil potret kehidupan lapisan kelas atas Batavia sehari-hari. “Gambar-gambar itu dijual sebagai suvenir Batavia. Makanya gambar-gambarnya menjadi sangat populer,” kata Kemper.
Di Eropa kemudian banyak gambar Rach dicetak menjadi litografi. Pada sekitar 1780, misalnya, Holy Roman Emperor, Joseph II, penguasa Ausburg, Jerman, yang dikenal sebagai pencinta seni dan penyokong komponis Mozart, meminta engraver Francois Xavier Habermas (1721-1796) membuatkan litografi tentang Batavia dengan teknik ilusi optik. Pada 1730, zograscope baru ditemukan. Zograscope adalah perangkat optik untuk memperbesar gambar datar dan untuk meningkatkan rasa kedalaman yang ditunjukkan gambar. Habermas mengambil salah satu gambar Johannes Rach untuk memenuhi permintaan Joseph II. Dia membuat litografi dengan ilusi optik sangat mewah untuk ukuran saat itu. Litografi itu menampilkan sebuah jalan atau plaza di Batavia yang sangat lebar membelah bangunan. Di kiri jalan berdiri Gereja Calvinis Belanda (Hollandse Nieuwe Kerk). Di sebelah kanan, ada sebuah mansion megah. Jalan lebar itu mengarah ke Town Hall di kejauhan. Tampak di jalan lebar orang-orang dan kereta kuda lalu-lalang. Dan Kartini Collection memiliki litografi langka ini. “Lihat, seolah-olah ada kedalaman pada jalan yang menuju Town Hall,” ujar Liong Hauwming.
Sejarawan Simon C Kemper di Jakarta, 13 Maret lalu./TEMPO/Muhammad Hidayat
Betapapun demikian, menurut Kemper, gambar yang dibuat Rach dan kemudian dipermewah oleh Habermas itu juga tak sesuai dengan kenyataan. Town Hall yang ditampilkan Rach adalah model gedung lama tahun 1707 sebelum direnovasi pada 1710. Sementara itu, Gereja Calvinis baru dibangun pada 1732. “Jadi antara Town Hall yang lama dan gereja sesungguhnya tidak pernah berdiri bareng satu sama lain. Jadi gambar itu fiksi,” tutur Kemper. Habermas mengambil begitu saja gambar Rach tanpa mengetahui duduk perkara sejarah bangunan di Batavia saat itu.
Meskipun kebanyakan gambar pada litografi, terutama produk abad ke-17 sampai ke-19, sering “direkayasa” dan tidak akurat seratus persen, menurut Kemper, hal itu tetap berguna untuk penelitian sejarah, misalnya sejarah Banten. Melihat litografi karya Care William Meredith van de Velde mengenai reruntuhan istana sultan Banten pada 1845, Kemper—yang tesisnya di Leiden mengenai War-Band on Java: Military Labour Market in VOC Sources—segera mencoba membayangkan bagaimana mobilisasi serdadu-serdadu Banten. “Sangat berguna bagi saya untuk membayangkan pergerakan pasukan Banten keluar dari benteng,” kata Kemper. Menurut dia, dalam sejarah Banten sendiri, Sultan Haji pada 1682 bersekongkol dengan Belanda untuk melengserkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pada waktu itu ia memberi banyak informasi mengenai denah istana Banten kepada Belanda. Dan itu bukan tidak mungkin oleh Belanda dibuat gambar-gambarnya.
•••
TAK hanya mengoleksi litografi, Kartini Collection juga mengoleksi peta zaman Belanda. Peta-peta itu juga didapat dari hasil perburuan mereka terhadap litografi. “Kami pernah mencari dengan mengunjungi salah satu keponakan pelukis Rudolf Bonnet di Belanda untuk mencari litografi-litografi kolonial. Dia malah menawarkan sebuah peta bertahun 1900 yang sangat besar,” ujar Liong Hauwming.
Peta pada masa kolonial milik Kartini Collection./TEMPO/Muhammad Hidayat
Peta itu terdiri atas empat bagian, jadi harus disambung-sambung bila kita ingin melihat keseluruhan. “Mungkin ini peta tentara,” kata Hadi Sunyoto. Dia terkagum-kagum pada tingkat kedetailan peta itu. “Sangat detail. Bayangkan, situ yang ada di wilayah Jabotabek semua diperlihatkan. Situ-situ ini mungkin telah banyak yang hilang sekarang,” Hadi menambahkan.
Siang itu—sebelum pecah pandemi corona—di Jalan Alaydrus, Jakarta, tempat semua koleksi litografi dan peta Kartini Collection disimpan, Simon C. Kemper, Hadi Sunyoto, dan Liong Hauwming berjongkok dan membentangkan peta yang superbesar tersebut di lantai. Mereka bersama-sama mengamati betapa rincinya peta itu. Ketiganya berusaha membaca nama-nama yang ada di peta itu. “Lihat Gunung Gede di sebelah sana. Lihat aliran sungai menuju Jakarta. Lihat betapa banyak situ yang kini hilang,” ujar Hadi sambil menunjuk bagian-bagian superkecil dari peta. Kemper tampak menggeleng-geleng. “Bayangkan, dulu belum ada satelit, tapi mereka bisa membuat sedemikian rinci.”
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo