Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hampir setahun penyelidikan dugaan korupsi dana investasi Asabri tak ada kemajuan.
Temuan BPKP yang tak terpublikasi mengungkap kerugian Asabri hingga Rp 10,7 triliun.
Nyanyian para pejabat perseroan menyeret nama anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
VONIS kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyudutkan saudaranya sesama perusahaan asuransi milik negara, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias Asabri. Sudah jadi kasak-kusuk, dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana investasi Asabri melibatkan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, dua pengusaha yang dihukum penjara seumur hidup dalam perkara Jiwasraya pada Senin, 26 Oktober lalu. Kejaksaan Agung telah menyita aset keduanya. Lalu apa yang tersisa buat kasus Asabri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyadari adanya potensi perebutan aset dalam penanganan kasus Jiwasraya oleh penyidik kejaksaan dan perkara Asabri di kepolisian. Makanya, beberapa waktu terakhir penyidik kedua lembaga mulai berkoordinasi. Sejumlah opsi dibicarakan, seperti kemungkinan pengalihan penanganan kasus Asabri atau pembentukan tim gabungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan sampai berebut ini asetnya Asabri atau Jiwasraya,” kata Sigit di ruang kerjanya, Jumat, 6 November lalu. “Atau kalau Komisi Pemberantasan Korupsi yang masuk juga enggak ada masalah.”
Bareskrim Polri lewat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mulai menyelidiki kasus Asabri pada Januari lalu, tak lama setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyebutkan ada kerugian negara dalam kasus Asabri lebih dari Rp 10 triliun. Ketika itu, kejaksaan belum lama meningkatkan status pengusutan kasus Jiwasraya ke penyidikan.
Namun nasib penanganan dua kasus ini berbeda. Perkara Jiwasraya yang dikembangkan kejaksaan telah menyeret enam terdakwa ke bui, masing-masing seumur hidup. Kejaksaan juga telah menetapkan 13 perusahaan manajer investasi sebagai tersangka korporasi dalam kasus yang ditengarai merugikan keuangan negara hingga Rp 16,7 triliun ini. Sedangkan penyelidikan kasus Asabri tenggelam. Kepolisian belum menetapkan satu pun tersangka.
Kian hari, dugaan kerugian negara lebih dari Rp 10 triliun di tubuh Asabri yang disebutkan Menteri Mahfud bahkan kian kabur. Satu-satunya laporan yang menyebutkan adanya masalah dalam pengelolaan dana investasi Asabri adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis pada 2017. Namun nilai sejumlah transaksi bermasalah dalam laporan BPK tak sebesar yang disebutkan Mahfud.
Rupanya, angka kerugian hingga Rp 10 triliun itu berasal dari laporan yang berbeda, bukan dari BPK, melainkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Auditor internal pemerintah ini telah merampungkan audit investigatif atas investasi saham dan reksa dana yang dilakoni Asabri dalam kurun 2012-2017. Hasilnya keluar pada Desember 2019 tanpa sedikit pun detailnya mencuat ke publik.
Audit BPKP mengurai secara detail dugaan penyimpangan penempatan dana investasi Asabri di saham dan reksa dana. Nilai kerugiannya jauh lebih besar, mencapai Rp 10,78 triliun untuk investasi saham per 31 Desember 2018. Laporan ini mencatat sejumlah transaksi jual-beli yang menyimpang, di antaranya melibatkan bekas petinggi Asabri, Jiwasraya, Heru Hidayat, dan Benny Tjokrosaputro. Dari keterangan para pejabat Asabri pula auditor mendapati sejumlah informasi yang menyeret nama baru di pusaran kasus ini: Achsanul Qosasi, anggota BPK.
•••
SEBELUM menggelar audit investigatif terhadap investasi saham, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebenarnya telah memeriksa penempatan investasi reksa dana Asabri periode 2012-2017. Digelar atas permintaan Kementerian Badan Usaha Milik Negara era Menteri Rini Soemarno, audit ini rampung pada Desember 2018.
Di sinilah mulai terungkap jejak peran Direktur Utama Asabri periode 2012-2016, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Adam Damiri; Direktur Investasi dan Keuangan 2012-2013, Bachtiar Effendi (2012-2013); serta Kepala Divisi Investasi 2012-2017, Ilham Wardhana Siregar. Ketiganya ditengarai menggeser dana investasi, menjual obligasi korporat yang hasilnya digunakan untuk membeli reksa dana dengan underlying asset berupa saham-saham busuk.
Adam Damiri di Kalimantan Barat, Januari 2016. TEMPO/Subekti
Cerita berawal pada 2012, ketika Asabri memindahkan Rp 3 triliun—dari total Rp 3,8 triliun obligasi korporat—ke reksa dana. Dewan komisaris mengajukan syarat: manajer investasi yang mengelola reksa dana harus melalui beauty contest. Pemindahan juga harus bertujuan mencari imbal hasil lebih optimal. Adam Damiri disebutkan langsung memilih sejumlah manajer investasi yang telah bekerja sama dengan Asabri. Salah satunya PT Insight Investment Management.
Pada Desember tahun yang sama, Asabri menjual Rp 974 miliar obligasi korporat. Hasilnya diinvestasikan ke Reksa Dana Guru lewat Insight Investment Management. Asabri menambah Rp 100 miliar dari debit rekening giro mereka sehingga total dana yang dimasukkan ke Reksa Dana Guru mencapai Rp 1,07 triliun.
Manajemen mulanya beralasan bahwa pengalihan dari obligasi korporat ke reksa dana dimaksudkan untuk mengoptimalkan imbal hasil. Pilihan jatuh ke Reksa Dana Guru. Padahal, sejak 22 Agustus 2011, ketika Asabri pertama kali menempatkan investasi di reksa dana itu, nilai aktiva bersihnya tidak pernah melebihi harga beli.
Rupanya, koleksi saham dalam underlying asset Reksa Dana Guru adalah saham-saham busuk yang nilainya juga terus turun, seperti PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP), PT Sugih Energy Tbk (SUGI), dan PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk (TMPI). Kenaikan imbal hasil yang menjadi dalih tak pernah terjadi. Transaksi itu justru dianggap BPKP merugikan Asabri sebesar Rp 318 miliar dibanding jika tetap dalam obligasi korporat. Selain itu, dana yang sudah ditanam di Reksa Dana Guru sulit keluar lagi menjadi duit segar.
Audit tersebut menyimpulkan bahwa saham-saham yang menjadi underlying asset reksa dana Asabri terafiliasi dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Pada saat bersamaan, BPKP mengaudit pula penempatan saham Jiwasraya, juga atas permintaan Menteri BUMN Rini Soemarno. Kesimpulan audit kedua ini sama: mayoritas investasi mengalir ke saham-saham yang terafiliasi dengan Benny dan Heru. Temuan inilah yang menjadi dasar Rini menyurati Kejaksaan Agung pada 17 Oktober 2019, memberitahukan bahwa ada gelagat korupsi di kedua perusahaan asuransi pelat merah tersebut dengan dugaan keterlibatan dua aktor: Benny dan Heru.
Saat itu, peran Benny dan Heru sebenarnya belum terang di Asabri. Lakon mereka baru menganga dalam Laporan Hasil Audit Investigatif atas Penempatan Investasi Saham PT Asabri (Persero) Tahun 2012-2017 yang terbit pada Desember 2019, dua bulan setelah Rini tidak lagi menjabat Menteri BUMN di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dari audit ini terungkap bahwa Sonny Widjaja, yang menggantikan Adam Damiri sebagai Direktur Utama Asabri pada 2016, merancang jalan keluar mitigasi risiko portofolio saham perusahaan.
Sonny Widjaja, mantan Dirut Asabri. Foto: mediabumn.com
Mitigasi itu dijalankan antara lain dengan membeli saham dari Heru Hidayat. Cara lainnya adalah membeli saham perusahaan badan usaha milik negara yang lagi-lagi dikoleksi Heru. Atau, cara ketiga, membeli saham dari Benny Tjokrosaputro.
Pada 27 November 2018, misalnya, Sonny ditengarai menyuruh Bahana Sekuritas membeli saham PT Prima Cakrawala Abadi (PCAR), yang terafiliasi dengan Heru, senilai Rp 200 miliar. Sebulan kemudian, dana yang digelontorkan bertambah Rp 766 miliar. Penambahan itu terjadi kendati kinerja PCAR per September 2018 tercatat merugi Rp 2,6 triliun. Selain membeli saham langsung, Asabri memiliki saham PCAR lewat tujuh reksa dana senilai Rp 463 miliar. Gara-gara transaksi pembelian saham ini, BPKP menilai Asabri merugi hingga Rp 2 triliun. Saham PCAR tidak likuid.
Sonny Widjaja, Ilham Wardhana Siregar, serta Direktur Keuangan dan Investasi Asabri 2015-2019, Hari Setianto, juga mengeksekusi pembelian saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP). Lawan jual-beli saham alias counterparty dalam transaksi ini adalah perusahaan yang terafiliasi dengan Heru, yaitu PT Dexindo Jasa Multiartha, PT Sriwijaya Megah Makmur, PT Atria Axes Management, dan PT Dexa Indo Pratama. Pembelian ini tetap dieksekusi kendati IIKP merugi sepanjang 2015-2018. Walhasil, BPKP menaksir transaksi tersebut berpotensi merugikan Asabri hingga Rp 2,1 triliun per 31 Desember 2018.
Hingga akhir tahun itu, BPKP menyimpulkan kerugian Asabri akibat semua investasi saham yang terafiliasi dengan Heru mencapai Rp 9,7 triliun. Sedangkan transaksi Asabri dengan Benny yang melibatkan saham tujuh emiten disinyalir merugikan perseroan sebesar Rp 859,38 miliar.
Transaksi saham lain diduga juga bertalian dengan Kepala Divisi Investasi Asabri periode 1 Juli 2012-1 Januari 2017, Ilham Wardhana Siregar. Pada Maret-April 2016, di bawah otoritas Ilham, Asabri membeli saham PT Aneka Tambang (ANTM) senilai Rp 632,9 miliar. Belakangan, Asabri menjual lagi saham tersebut seharga Rp 562,8 miliar. Akibatnya, ada kerugian Rp 70 miliar.
Masalahnya, Asabri membeli saham ANTM lewat PT Tricore Kapital Sarana. BPKP mendapati salah satu pemegang saham Tricore adalah Asri Isnaeni Purba Dini, yang diduga, seperti dituliskan dalam laporan BPKP, punya hubungan keluarga dengan Kepala Divisi Investasi Asabri. Setelah keluar dari Asabri, Ilham menjabat Presiden Komisaris Tricore. Modus transaksi serupa terjadi dalam pembelian saham PT Indofarma Tbk (INAF) senilai Rp 16,9 miliar.
Sonny Widjaja tidak merespons upaya permintaan klarifikasi Tempo lewat panggilan telepon ataupun layanan pesan online. Sampai Sabtu, 7 November lalu, Adam Damiri juga belum membalas permohonan klarifikasi lewat pesan. Adapun Hari Setianto menolak menjawab. “Saya sudah enggak di sana (Asabri). Mohon maklum posisi saya,” kata Hari lewat sambungan telepon, Jumat, 6 November lalu.
Sementara itu, pengacara Heru Hidayat dalam kasus Asabri, Kresna Hutauruk, menyatakan belum bisa menjawab pertanyaan Tempo. “Kami belum ada tanggapan,” tuturnya, 7 November lalu.
•••
HASIL audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengalir sampai jauh. Empat sumber Tempo, di antaranya para auditor, mengungkapkan bahwa pejabat Asabri bernyanyi soal peran anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi.
Auditor tersebut menyebutkan dugaan keterlibatan Achsanul bermula ketika direksi Asabri berkonsultasi mengenai temuan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Penyaluran Pembayaran Pensiun dan Efisiensi Pengelolaan Investasi Tahun Buku 2015-2016 (Semester I) pada PT Asabri (Persero). Laporan ini terbit pada Februari 2017, lima bulan setelah pemeriksaan dimulai pada Oktober 2016. Kala itu Achsanul menjabat Anggota VII BPK, yang membawahkan audit badan usaha milik negara.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi di Jakarta, Februari 2017. Dok.TEMPO/Frannoto
Direktur Utama Asabri kala itu, Sonny Widjaja, kata auditor tadi, menyebutkan Achsanul berjanji membantu Asabri dengan mencarikan orang yang bisa mengurai dana investasi perseroan. Audit BPK memang mendapati sejumlah transaksi Asabri di saham-saham tidak likuid pada 2015-2016. Belakangan, yang datang sebagai “penolong” adalah Heru Hidayat.
Sonny tidak menjawab ketika dimintai diklarifikasi tentang keterangan kepada tim auditor tersebut. Sedangkan Achsanul membantah. Menurut Achsanul, Sonny memang berkonsultasi setelah pemeriksaan BPK pada 2016 rampung. Sonny datang menyikapi temuan BPK atas investasi Asabri yang tidak patut ke perusahaan Benny Tjokrosaputro. “Kalau yang Heru, saya bilang, ‘Terserah Bapak’,” tutur Achsanul dalam dua kali panggilan telepon pada Kamis dan Jumat, 5 dan 6 November lalu.
Achsanul menilai tudingan bahwa dia yang membawa Heru ke Asabri tidak masuk akal. Sebab, dia menjelaskan, Heru sudah bertahun-tahun menjadi penyerap dana investasi Asabri. “Kecuali aku bawa Heru yang belum pernah di Asabri,” ucap Achsanul. “Jangan dibolak-balik.”
Pengembangan pemeriksaan dalam audit investigatif ini juga menemukan adanya aliran dana senilai Rp 3 miliar pada 2017 dari PT Pool Advista Indonesia (POOL), perusahaan yang terafiliasi dengan Heru Hidayat, ke Madura United, klub sepak bola yang dipimpin Achsanul.
Ihwal aliran duit tersebut, Achsanul menegaskan bahwa transaksi itu murni kesepakatan komersial antara Madura United dan POOL. Mulanya, kata Achsanul, Madura United berencana go public, menawarkan saham perdana untuk menjadi anggota bursa. Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia yang juga kawan lama Achsanul, menawarkan POOL sebagai penasihatnya. Merasa aset klubnya belum siap, Achsanul meminta kerja sama keduanya diawali dengan perjanjian sponsor dulu. “Saya juga enggak tahu di belakang POOL itu ada Heru Hidayat,” Achsanul mengklaim.
Selain menemukan sponsor itu, pengembangan pemeriksaan mendapati komunikasi antara Erry dan Heru. Pada 2017 itu, tim pemeriksa mendapati surat elektronik Erry kepada Heru. Isinya mengabarkan bahwa Gondo Radityo Gambiro, legislator Partai Demokrat periode 2014-2019, membutuhkan kursi komisaris. “Bos, ini temannya AQ,” demikian pesan Erry kepada Heru. Pada November 2017, Gondo diangkat menjadi komisaris independen POOL.
Erry membantah kabar bahwa pengangkatan Gondo sebagai komisaris POOL berhubungan dengan Achsanul. “Pak Doeddy (Gondo) teman saya dari SMA dan dia minta tolong dicarikan jabatan komisaris. Tidak ada kaitannya dengan Pak AQ,” tutur Erry lewat pesan WhatsApp, Jumat, 6 November lalu.
Bantahan serupa datang dari Achsanul. “Gondo itu temannya Erry. Aku enggak dekat,” katanya. “Mungkin kalau enggak pakai namaku bisa ditolak permintaannya sama Heru.”
Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djoko Poerwanto menyatakan sudah mendalami berbagai temuan audit investigatif BPKP terhadap investasi Asabri. Kepolisian, dia menerangkan, masih menunggu hasil audit kerugian negara yang telah diajukan kepada BPK berbarengan dengan audit kerugian negara terhadap Jiwasraya. “Sudah ada 94 saksi yang diperiksa dalam kasus Asabri,” ujar Djoko saat mendampingi bosnya, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Masih banyak yang ditunggu untuk kepastian kelanjutan kasus Asabri.
KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo