Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah legalisasi ganja, berbagai perkebunan di Thailand intens menanam kanabis.
Pengusaha skala kecil dan besar memanfaatkan potensi keuntungan dari legalisasi ganja.
Ada upaya menetapkan satu kawasan sebagai pusat legalisasi ganja.
RIBUAN tanaman ganja dalam polybag berjajar di area perkebunan Orchid Garden di kawasan perbukitan Distrik San Sai, Provinsi Chiang Mai, Thailand, Selasa, 5 Juli lalu. Sebagian dari tanaman ganja bertinggi 150 sentimeter itu ditopang oleh bilah bambu. Dimiliki oleh Maejo University, area itu diklaim sebagai perkebunan ganja medis berskala industri pertama di Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul memimpin penanaman ribuan bibit kanabis di Orchid Garden, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Bandar Udara Internasional Chiang Mai. Adapun Chiang Mai berjarak tempuh 1 jam 15 menit penerbangan dari Bangkok atau sekitar 8 jam perjalanan darat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada 3.000-3.500 pohon di sini,” kata Saree Siruruensakun, manajer pengelola kebun ganja itu, kepada penerjemah yang mendampingi Tempo. Saree mengatakan pohon-pohon ganja itu kini berumur tiga bulan. Di fase ini, dia menjelaskan, gender tanaman-tanaman itu sudah bisa dibedakan, yakni jantan, betina, atau hermafrodit alias berkelamin ganda. Menurut Saree, butuh dua-tiga bulan lagi hingga tanaman itu bisa dipanen.
Di perkebunan organik itu mereka mengupayakan agar jumlah tanaman ganja jantan tak lebih dari 40 persen dari setiap masa tanam. Sebaliknya, bibit-bibit itu diharapkan lebih banyak menjadi ganja betina, yang lebih menguntungkan lantaran memproduksi bunga yang mengandung delta-9-tetrahydrocannabinol atau THC.
Saree enggan menjelaskan ketika Tempo menanyakan bagaimana cara mengatur gender tanaman-tanaman itu. Dia kemudian terkekeh saat ditanyai apakah mengurus tanaman ganja bisa membuatnya giting. “Kalau saat masa pengeringan, bau bunganya bisa bikin mabuk,” ujarnya.
Dari perkebunan ini, dan berbagai sentra tanaman ganja, bunga-bunga kanabis dikirim ke pusat-pusat layanan kesehatan. Sedangkan bagian lain dari tanaman ganja bisa dijual untuk keperluan komersial.
Jantrachanok Weesangri alias Anna menunjukkan daun ganja kering di tempat pengolahan produk ganja miliknya di Provinsi Chiang Mai, Thailand, 5 Juli 2022. TEMPO/Budiarti Utami Putri
Kanabis memang menjadi garapan serius sejumlah kalangan di Thailand sejak pemerintah Negeri Gajah Putih melegalkannya. Pada 2019, pemerintah melegalkan ganja medis. Tahun ini pemerintah Thailand mengeluarkan ganja dan tanaman rami dari daftar narkotik kategori 5.
Ganja dan rami sebenarnya berasal dari genus yang sama, yakni Cannabis. Bedanya, ganja memiliki kadar THC—senyawa yang bisa memabukkan—lebih tinggi. Hanya ekstrak ganja dengan THC lebih dari 0,2 persen yang masih tergolong narkotik.
Kebijakan legalisasi ganja membuka peluang bisnis bagi sebagian orang. Warga Distrik San Pa Tong, Provinsi Chiang Mai, Jantrachanok Weesangsri, misalnya, mempelajari cara membuat minyak hemp dari Internet. Ia dan keluarganya tertarik menekuni bisnis ini karena dinilai bisa menghasilkan banyak uang. “Kami memulai bisnis ini karena tahu bunga Cannabis itu mahal,” kata Anna—sapaan Jantrachanok.
Perempuan 49 tahun itu hanya memanfaatkan 400 meter persegi tanah di kebun miliknya untuk menanam hemp. Bunga ganja dengan kadar cannabidiol (CBD), zat yang dianggap mampu mengobati berbagai masalah kesehatan, sebesar 1 persen bisa dijual ke perusahaan dengan harga 700 baht atau sekitar Rp 311 ribu per kilogram. Jika kadar CBD-nya 20 persen, harganya melonjak jadi 14 ribu baht atau sekitar Rp 6,2 juta tiap kilogram.
Beberapa bulan terakhir, Anna juga mulai mengolah ganja menjadi sejumlah produk turunan seperti teh. Ia sempat menunjukkan ruang tempat pengolahan produk ganja di bagian belakang rumahnya. Hari itu beberapa alat, termasuk distilasi ganja yang ia beli dari Cina, baru tiba. Untuk investasi sejumlah alat itu, dia merogoh kocek hingga 200 ribu baht atau sekitar Rp 89 juta.
Berbeda dengan Anna, perusahaan besar yang mengembangkan ganja, Golden Triangle Group, sudah bersiap mengekspor ekstrak cannabinoid. Pendiri dan Direktur Golden Triangle, Kris Thirakaosal, mengklaim perusahaannya bakal segera mendapat sertifikasi yang memungkinkan mereka mengekspor ke luar negeri. “Kami akan jadi eksportir pertama di Asia,” tutur Kris pada Selasa, 12 Juli lalu.
Pengusaha yang juga memberikan masukan kepada pemerintah soal legalisasi ganja ini mengatakan Golden Triangle Group mengembangkan ganja dengan sangat saintifik. Mereka menanam ganja di dalam ruangan dan bukan dari benih, melainkan dari tanaman induknya. Tujuannya memastikan penampakan fisik dan kandungan setiap tanaman sama dengan induknya.
Menurut Kris, ada banyak potensi ekonomi dari legalisasi ganja di Thailand. Merujuk pada data Prohibition Partners, lembaga riset tentang mariyuana, Kris mengatakan industri ganja di Thailand diproyeksikan tumbuh hingga US$ 661 juta atau sekitar Rp 9 triliun pada 2024.
Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul memperkirakan potensi ekonomi ganja mencapai lebih dari US$ 3 miliar atau sekitar Rp 45 triliun hingga lima tahun mendatang. “Berdasarkan studi, ganja bisa bermanfaat untuk negara dan masyarakat jika kita bisa menggunakannya dengan benar,” kata Anutin dalam wawancara dengan Tempo pada Rabu, 13 Juli lalu.
Legalisasi ganja juga diyakini turut meningkatkan pariwisata Thailand. Menurut Kris Thirakaosal, sebanyak 95 persen pengguna ganja rekreasional di negaranya ialah para pelancong mancanegara. “Ini cuma puncak gunung es yang terlihat,” ucapnya.
Menyambangi toko ganja Humbrid Cannabis di Jalan Ram Buttri pada Senin, 11 Juli lalu, Tempo menyaksikan sejumlah turis asing bergantian keluar-masuk. Di Humbrid, ganja dibanderol dengan harga 150-650 baht atau Rp 67-292 ribu.
Kanny, salah satu budtender—sebutan bagi pegawai di toko ganja—sesekali menanyakan asal negara para pembelinya. Dua perempuan asal India menanyakan di mana mereka bisa membeli brownies ganja kepada Kanny setelah membayar belanjaan mereka. Kanny menyarankan mereka pergi ke Jalan Khao San, yang berjarak satu blok dari tokonya. “Saya tidak tahu, tapi mungkin di Khao San Road ada,” kata perempuan 28 tahun itu kepada pelanggannya.
Turis-turis yang antre juga terlihat di Highland Cafe, Bangkok, saat Tempo ke sana pada Kamis, 7 Juli lalu. Setidaknya lima pria berwajah Kaukasoid terlihat sudah menunggu di area kafe di Jalan Lat Phrao itu sebelum pintu Highland dibuka.
Pemilik Highland Cafe, Rattapon Sanrak, mengatakan wisatawan yang datang ke kafenya berasal dari negara-negara Eropa, India, Cina, hingga Singapura. Di Highland, bunga-bunga ganja dijual dengan ukuran 1 gram, 3,5 gram, hingga 14 gram. Harga paling murah 1 gram di Highland sebesar 250 baht atau sekitar Rp 112 ribu.
Namun pembeli baru setidaknya perlu mengalokasikan 400 baht lagi untuk membeli alat penghalus bunga ganja atau grinder dan kertas lintingan. Rattapon tertawa saat Tempo menanyakan berapa pendapatannya sejak legalisasi ganja berlaku mulai 9 Juni lalu. “Saya tidak bisa bilang, tapi ini bisnis yang besar banget,” ujarnya.
Paket ganja di Highland Cafe berupa lintingan, grinder, dan bunga ganja (plastik hitam), di Bangkok, Thailand, 4 Juli 2022. TEMPO/Budiarti Utami Putri
Potensi pundi-pundi bisnis ini juga membuat Sanga Ruangwattanakul mengusulkan Jalan Khao San dijadikan pusat wisata ganja. Presiden Asosiasi Bisnis Jalan Khao San ini beralasan ganja bisa menarik minat turis-turis asing untuk datang ke Thailand. Menurut Sanga, sebelum pandemi Covid-19 merebak, setiap hari ada 20 ribu turis yang datang ke kawasan tersebut. Sebanyak 80 persen dari mereka adalah wisatawan dari Eropa. “Mereka familiar dengan ganja,” ucap Sanga.
Dengan dijadikan marijuana hub, kata Sanga, Khao San akan menjadi kawasan wisata ganja yang terkontrol. Supplier, penjual, hingga pembeli ganja akan terdata sehingga mudah dilacak jika terjadi masalah. Sanga mengaku tak nyaman dengan banyaknya penjual ganja di pinggir Jalan Khao San yang muncul setelah pemerintah melegalkan ganja.
Ia mempertanyakan asal-muasal ganja yang dijual di pinggir jalan. Begitu pula kualitasnya belum teruji. “Ini belum tentu aman untuk turis dan untuk pembeli,” ujarnya.
Gagasan menjadikan Jalan Khao San pusat wisata ganja terinspirasi dari Planet 13 di Las Vegas, Amerika Serikat. Kawasan itu menjadi pusat penjualan mariyuana untuk rekreasi yang bergengsi dan disebut sebagai yang terbesar di dunia.
Menurut Sanga, usul itu sudah ia sampaikan kepada Presiden Komisi Cannabis di parlemen, Supachai Jaisamut. Ia mengklaim bahwa legislator Bhumjaithai—partai politik yang sama dengan Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul—itu menyatakan bakal mempertimbangkan ide tersebut.
Menteri Anutin mengatakan legalisasi ganja bisa sampai sejauh ini lantaran ia mempromosikan tujuan kesehatan dan medisnya. Ia berujar, pemakaian tanaman ganja untuk senang-senang di luar tujuan mereka. “Saya tidak ingin Thailand atau Khao San Road, misalnya, diiklankan sebagai tempat turis bisa nyimeng sebebasnya,” kata Anutin. “Itu tak boleh terjadi sampai kami menemukan aturan pas untuk mengontrol legalisasi ganja.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo