WARNA kayu lambung leppa (perahu) itu berkerak dan menghitam. Kayu lambung perahu tua ini milik seorang Bajau di Torosiaje di Kepulauan Togian. Torosiaje bisa dicapai setelah menempuh jarak 258 km bermobil dari Gorontalo, disambung jalan tanah 5 km dan berperahu 3 jam ke arah luar Teluk Tomini yang biru bening. Leppa, perahu sepanjang tujuh meter dan lebar satu meter terbuat dari kayu utuh yang dikeruk tengahnya, beratap nipah dan dinding bilah bambu. Di sinilah sebuah keluarga suku laut Bajau dengan dua atau tiga anak tinggal berayun-ayun sepanjang hidup. Beberapa perabotan seperti guci batu, gayung, kuali dan piring tanah, sendok kayu, serta tali-temali pancing dan tumbak ikan, membuat leppa jadi semakin padat. Di kedua sisi lambung perahu, menjulur sirip bambu jemuran teripang dan ikan asin. Biasanya leppa dijual seharga Rp 400 ribu, tapi ada juga yang sampai Rp 1 juta bila dibuat dari kayu terbaik. Leppa tua dari Torosiaje (artinya Tanjung Keluarga) inilah yang berada di ruang pameran multimedia "Ilmu Bajau: Setinggi Langit Sedalam Samudra" di Museum Nasional, Jakarta. Pameran itu berlangsung sebulan penuh dan berakhir 22 Desember lalu. Semalam suntuk menjelang pameran, perahu itu dirakit kembali lengkap dengan aksesorinya. Sebuah bubu ikan dipersiapkan juga untuk pameran itu. "Pinggang saya sampai payah," kata Pak Husein, 57 tahun, tetua nelayan Bajau yang datang mewakili warga Torosiaje ke Jakarta. Dibantu oleh Amin Pakaya, 42 tahun, tokoh masyarakat Torosiaje, Husein merakit kembali leppa itu hingga dapat dipajang di sebuah kolam buatan di halaman tengah gedung Museum Nasional. Hasilnya, suasana gemericik air yang terayun dayung leppa di lingkungan hutan bakau dan tumbuhan api-api di kampung Torosiaje, seperti bisa disentuh dan dirasakan. Memang Yayasan Sejati, pemrakarsa pameran itu, berniat menghadirkan suasana asli Bajau. Lima buah rumah panggung berlantai papan, atap curam dari rumbia, didirikan di atas gulma rawa-rawa buatan di halaman tengah Museum Nasional. Pameran suku Bajau dimulai dengan masuk ke dalam sebuah rumah panggung yang menyuguhkan 25 slide lukisan purbakala bergambar ikan, perahu, maupun sekelompok orang Irian yang sedang mengayuh perahu. Tampaknya, Yayasan Sejati mencoba mengantarkan pengunjung pameran ke dalam sebuah gagasan tentang tradisi kelautan yang sudah melekat dalam kehidupan seluruh bangsa Indonesia di mana pun sejak dahulu kala. Suku Bajau merupakan salah satu bukti keyakinan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Maka, di rumah panggung itu ditampilkan sekitar 50 foto untuk menghadirkan kehidupan sehari-hari orang Bajau. Ada foto seorang ibu yang sedang memasak, anak-anak yang bermain di pantai maupun yang sedang berenang di laut, seorang bapak yang sedang dipijat istrinya di rumah panggung, anak suku Bajau dengan seragam sekolah, serta beberapa foto orang Bajau yang sedang menyelam untuk menombak ikan karang. Sambil menelusuri kehidupan sehari-hari orang Bajau itu terdengar ilustrasi musik lautan yang digarap Dwiki Dharmawan. Musik yang digarap dengan bantuan synthiziser dan dat (digital audiotape) itu merefleksikan suara deru angin, kicauan camar, alun gelombang, serta keheningan pantai dan masa lalu yang menyimpan misteri kekuatan ilmu orang Bajau. Dwiki Dharmawan juga mencoba menghadirkan suku Bajau lewat musik eksperimental yang ia sebut Krakatau on the Sea. Musik itu dipentaskan bersama-sama dengan pantun Torosiaje yang dibacakan Husein. Usai pentas musik dan pantun, acara masih dilanjutkan diskusi lesehan dengan peminat untuk membicarakan tindak lanjut pameran. Sayang, pameran yang didukung LIPI, Museum Nasional, dan sekitar 25 donatur ini -- yang dimaksudkan melengkapi seminar internasional suku Bajau di LIPI akhir November lalu -- tak mudah dimengerti maknanya oleh khalayak awam. "Petunjuk dan narasi ceritanya kurang lengkap," begitu komentar seorang pengunjung. Menurut pengunjung tadi, pameran suku Bajau memang memikat secara visual, tapi ia tak bisa mencari apa dan bagaimana sebenarnya ilmu Bajau yang banyak disebut-sebut dalam iklan pameran. Padahal, Yayasan Sejati tak hanya ingin mengenalkan ilmu Bajau, tapi memecahkan persoalan yang dihadapi suku Bajau. "Tujuan kita memperkenalkan suku Bajau dari Torosiaje. Bila publik sudah tertarik, baru persoalan mereka bisa kita pecahkan bersama," kata Dea Sudarman, dari Yayasan Sejati. Dengan kata lain, pameran ini baru langkah awal saja sehingga pengunjung cukup merasa tertarik dulu, tanpa harus mengenal ilmu Bajau secara mendalam. Sasaran akhirnya, agaknya, adalah pelestarian ilmu Bajau. Kebaharian, kearifan terhadap alam, dan kemampuan masyarakat Bajau menyiasati hidup, rasanya, terlalu sayang jika hilang begitu saja. Memang, tak semua keterampilan orang Bajau bisa bertahan. Dulu, nelayan Bajau bisa melontarkan lempengan besi atau timah yang sebesar roda ban skuter dengan cepat dan tepat di atas penyu yang sedang berenang di bawah leppa. "Sekarang tak ada lagi yang punya keterampilan seperti itu," kata Umar Muchsin, tetua Bajau dari Maluku Utara. Muchsin, yang pernah menjabat ketua DPRD II Maluku Utara itu, ikut hadir dalam diskusi suku Bajau di Museum Nasional. Sebagai pelaut, ilmu mereka yang paling utama adalah ilmu mencari ikan, dan ilmu itulah yang sampai sekarang masih banyak bertahan. Berkat pergulatan mereka dengan laut yang mendalam, orang Bajau bisa memperkirakan jenis ikan yang sedang berkeliaran di suatu gerombolan karang hanya dengan mengamati bekas-bekas pergerakan dan rerumputan laut yang dimakannya. Mereka juga ahli dalam mencari sumber ikan besar, dengan berpegangan pada batu karang yang berada di dasar laut. Biasanya batu karang jadi tempat berkumpul ikan-ikan besar. Singkatnya, orang Bajau bisa menduga isi laut hanya dari permukaan laut. Caranya, mereka celupkan mata dayung ke dalam laut sedang gagang dayung dilekatkan pada kuping. "Kalau suaranya seerr, seerr, seerr, itu tanda dasar laut berupa pasir. Kalau kedengaran tring-tring-tring seperti besi dipukul, itu berarti batu karang," kata Husein. Jika lokasi tumpukan karang sudah ditemukan, posisi sumber ikan ini segera ditandai. Cara menandai lokasi itu adalah dengan berpegang pada sebuah tegakan, baik itu sekadar tegakan kayu maupun pohon di atas gunung yang, di atas pegunungan di depan mata. Lalu dicari tegakan lain yang terletak di tiga mata angin lainnya. Potongan dari tegakan-tegakan itulah yang menjadi lokasi dari batu karang. Di bawah laut, orang Bajau juga tak kalah terampil. Mereka mampu menyelam sampai 50 meter di bawah permukaan laut hanya dengan berbekal celana pendek dan kacamata selam buatan tangan dari bahan kayu. Dengan tombak di tangan, mereka masuk ke tumpukan karang di dasar laut dan dengan tepat menombak ikan yang masih hidup. Tak hanya yang rumit yang dikuasai orang Bajau. Dalam memancing ikan dulung-dulung, ilmu orang Bajau juga boleh diandalkan. Ikan sebesar lengan bayi sepanjang empat jengkal, dengan gigi yang tajam itu, biasanya bermain-main di permukaan laut. Sebagai umpan digunakan ikan teri mati yang diikat langsung tanpa kail dalam sebuah simpul lingkaran. Tali pancing dilengkapi dengan selembar daun pohon kering berukuran sekitar dua telapak tangan. Fungsi daun pohon itu adalah sebagai layang-layang yang akan membuat ikan teri di permukaan laut terayun-ayun. Biasanya ikan dulung-dulung tertarik pada ikan teri yang berayun-ayun dan begitu ia menyambar umpan, simpul lingkaran segera tersangkut di giginya yang tajam. Selayaknya bangsa bahari, suku Bajau juga punya ilmu navigasi dan cuaca dengan membaca awan, angin, bulan, maupun bintang. "Kalau guntur dulu baru kilat, itu tanda tak hujan," kata Husein, sedangkan bintang yang bergerak menjadi penunjuk waktu. Adapun riak awan menunjukkan banyak tidaknya ikan di laut. *** Hidup, bagi orang Bajau, bermula di laut. Dan sampai kini masih banyak wanita Bajau yang melahirkan anaknya di perahu. Jika yang lahir seorang anak laki-laki, upacara pemotongan ari-ari segera diikuti dengan mandi di laut. Jika bayi perempuan, potongan ari-ari diletakkan pada mulut si bayi. Pada umur empat tahun seorang anak Bajau sudah ikut mendayung leppa dan pada usia tujuh tahun sudah memancing. Orang Bajau suka isi binatang bulu babi sebagai makanan penyegar tubuh. Selain berkhasiat memperkuat daya tahan tubuh, isi bulu babi yang mirip telur ini bisa menambah keperkasaan lelaki. Konon, isi bulu babi itulah yang membuat orang Bajau tahan diterjang angin laut yang kuat. Itu juga yang membuat sehari setelah melahirkan, para ibu Bajau sudah melaut kembali seperti biasa. Yang teristimewa, tubuh orang Bajau bisa berkomunikasi dengan alam secara langsung. Paling tidak begitulah pengakuan orang Bajau. Kalau alam tak bisa dibaca lewat bintang, angin, dayung, tumbuhan laut, atau lewat mata, alam dapat juga dibaca lewat yang tersimpan di hati. Orang Bajau yakin bahwa hati manusia juga melambangkan batu karang yang terpendam di dasar samudra. Maksudnya, orang Bajau tak melaut kalau hatinya ragu. "Laut itu berpenghuni, dan di sana ada semua ciptaan Tuhan, sehingga orang Bajau selalu berhati-hati kalau turun ke laut," kata Husein. Dan jika hati berkata tak usah melaut, orang Bajau juga tak melaut. Cara lain membaca laut lewat tubuh adalah dengan membaui hawa angin lebih dahulu dari lubang hidung kirinya. Jika itu dirasa tak cukup menimbulkan keyakinan untuk melaut, ditambah dengan memelintir daun telinga kanannya. Kalau rasanya masih belum enak untuk melaut, lubang hidung kanan ditutup, udara disemprotkan lewat lubang kiri dan udara kosong itu ditangkap oleh tangan kanan sebelum dibuang seolah-olah genggaman tangan kanan itu berisi. Biasanya setelah itu hati akan sedikit lapang, dan itu pertanda sudah layak untuk melaut. Kalau firasat alam itu tak juga ditangkap, orang Bajau bertanya pada nuraninya sendiri. Bagi orang Bajau hati nurani itu sama dengan batu karang di dasar laut. "Kalau missa (belum ada firasat), jangan turun ke laut. Kalau lamu yuknania (ada firasat), turunlah. Bila tak yakin, jangan turun, nanti luka (celaka)," tutur Husein. Leppa kemudian siap berangkat dari rumah panggung, tapi pemiliknya sebaiknya melangkahkan kakinya masuk dari lambung kanan. Maksudnya: keyakinan dan keberuntungan. Orang Bajau juga percaya bahwa ludah dan getah liur di sela gigi atau langit-langit rahang mampu menghilangkan bisa atau racun hewan laut. Luka di badan kerap sembuh dengan diludahi saja. Tahi telinga diyakini dapat memusnahkan racun atau guna- guna. Keyakinan yang kuat pada suku Bajau ini melebihi keyakinan yang ditopang oleh batas pancaindera kita yang biasa. Soalnya, orang Torosiaje ini tak membatasi dengan lima indera (pancaindera) saja. Indera mereka sangat banyak. Sedikitnya ada 27 buah. Yang 22 lagi? Menurut Husein, masih ada lagi dua lubang hidung, dua mata, dua lubang telinga, sepuluh jemari tangan dan sepuluh jemari kaki, zakar berikut dua buah pelirnya, serta lubang anus pelepasan. Selain itu, perubahan benjolan mata kaki, telinga, maupun mata pergelangan tangan menyiratkan tanda-tanda khusus terhadap perubahan alam. Telinga yang menciut karena dingin atau menurunnya suhu sekeliling juga dapat dipakai untuk menaksir jam berapa. Dan tiap penyakit orang dapat diperiksa dari kelenjar kecil di dekat ujung trisepnya. Adakalanya buah zakar sebagai pertanda. Bila malam terlalu gelap dan perahu akan masuk tempat dangkal, buah zakar akan jadi petunjuk keselamatan. Kalau kedua buah zakar turun, berarti ada karang atau gosong yang bisa membuat perahu kandas. Kalau salah satu buah zakar naik ke atas, artinya perahu bisa selamat. Wallahualam. Selain itu, orang Bajau Torosiaje menempatkan unsur api, angin, tanah, dan air mempunyai nilai sakral tinggi. Keempat unsur itu merupakan cerminan empat nama malaikat: Kiraman, Katibin, Ya'malun, dan Matafaalun. Di samping itu, ada lagi empat unsur penting lainnya, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan manusia. Dengan berpegang pada unsur-unsur itu, suku Bajau mengenal kaidah delapan sifat ibu dan ayah, empat sifat sahabat Allah yang bertugas mencabut nyawa. "Itu nilai yang tinggi dan semua berpangkal dari ajaran tasawuf Islam ahlussunah wal jamaah," kata Husein lagi dengan suara perlahan. Bagi orang Torosiaje, Tuhan hadir di batu karang Laut Tomini, di Pegunungan Gorontalo, di nyawa ikan kerapu, maupun dalam setiap gerak orang Torosiaje. Bangun tidur, orang Bajau mengucap syukur pada Tuhan dan mengusap punggung, muka, sampai ke dada dan lengan. Bahkan orang Bajau, konon, juga yakin bisa beroleh anak dengan jenis kelamin yang diinginkan. Bila menginginkan anak perempuan, mereka menghampiri istrinya dari sebelah kiri -- sebagai pertanda rusuk kiri Adam yang menciptakan Hawa. Dan sebelum mencapai ejakulasi, ucapkanlah la illa ha illallah dan diteruskan sebutan yukuttah yang artinya perempuan. Untuk memperoleh anak pria, sebelum berhubungan perlu ada keyakinan yang tinggi bahwa ia memang menghendaki seorang anak lelaki. Sang istri dihampiri dari sebelah kanan, dan sebelum ejakulasi, setelah membaca syahadat itu diteruskan dengan yakuttah atau lelaki. "Benih itu kita yang simpan, dan kita yang pindahkan. Dan tiap apa keyakinan kita akan terwujud." Bahkan menurut Husein, kematian pun dapat dirasakan kedatangannya. Kadang, seorang bapak berpesan secara tersamar, "Jangan ke mana-mana, karena Bapak mau melaut jauh." Pihak keluarga sudah menangkap isyarat ini. Maut juga mengirim kabar lewat mimpi berjumpa bayangan ibu atau ayah. Bila orang tersebut tak melihat pertanda, adakalanya sanak famili yang mendapat firasat serupa. "Kerjakan apa yang kau mau, dan makan yang banyak," begitu biasanya dipesankan untuk orang yang akan meninggal itu. Biasanya, satu hari kemudian orang tersebut meninggal. Menurut Husein, pengetahuan yang mereka miliki itu bukanlah digali oleh orang Bajau Torosiaje, tapi warisan dari nenek moyangnya yang berasal dari Johor, Malaysia, ratusan tahun lalu. Konon, abad ke-17, nenek moyang suku Bajau meninggalkan Johor karena pertikaian politik. Berlayarlah mereka ke Myanmar, Thailand, dan juga menyusuri Kalimantan menuju ke utara ke Sabah, Filipina bagian selatan, sampai akhirnya mendarat di Sulawesi. Di Indonesia, mereka tersebar di Teluk Tomini, Teluk Bone, Maluku Utara, Flores, Riau. Ada ciri khas yang sama: beradat Melayu dan beragama Islam. Di Torosiaje, dahulu terkenal ulama bernama Patamangkauk dan Patalolo. Dan tiap anak Bajau yang lahir, menurut Husein, mewarisi ilmu moyangnya secara langsung. "Ilmu itu sudah ada sejak dia lahir. Tinggal mempelajari setelah besar," tambah Husein. Sayangnya, ilmu Bajau ini tak pernah dituliskan. "Anak diberi tahu bila dia bertanya. Kalau tidak, ya tidak." *** Menurut Amin Pakaya, perhatian pemda setempat terhadap masyarakat Torosiaje sangat minim. Paling tidak, dirasakan tak seimbang dengan kemenangan mutlak Golkar 100% selama empat pemilu serta kepatuhan 100% lunas pajak bumi dan bangunan. Kalaupun ada, misalnya kursus perikanan, yang menjadi peserta bukan orang Bajau, tetapi entah orang dari mana. "Dalam setahun, tak ada sekali petugas perikanan yang datang ke perkampungan kami," kata Amin Pakaya. Sekarang ini pantai Torosiaje mulai rusak. Dua HPH yang beroperasi di daratan menimbulkan erosi, dan lumpurnya yang terbawa hujan menggenangi hutan bakau. Bakau mulai mati. "Di bakau inilah sumber nener dan benih," kata Amin Pakaya sedih. Teripang, yang dulu banyak di pinggir pantai dangkal, sudah pergi ke tengah. Kini, orang harus menyelam kedalaman 50 meter atau lebih -- di luar batas daya selam alami orang Bajau -- untuk memperoleh teripang. Jadi, perlu kompresor yang artinya perlu ongkos. "Yang tersisa di pinggiran cuma teripang hitam yang harganya murah," kata Amin Pakaya. Dahulu seorang penyelam bisa mendapat 10 kg teripang berbagai jenis, kini paling banyak 3 kg, itu pun teripang hitam yang murah, Rp 5.000 per kilo. Yang paling mengenaskan adalah ikan segar. "Bisa kita dapat ikan besar sampai 400 ekor, tetapi harganya jatuh. Mau dijual ke mana? Akhirnya, dibagi-bagi saja untuk orang sekampung, daripada busuk." Ikan yang bernilai tinggi, seperti kakap merah, tenggiri, kakaktua, kerapu tikus -- yang harganya di Singapura bisa mencapai 100 dolar AS per ekor hidup -- hanya jadi ikan asin. Harganya sebagai ikan asin ditentukan tengkulak, tapi hanya berkisar Rp 1.200 sampai Rp 1.500 sekilo. Memang banyak tengkulak pedagang ikan datang ke Torosiaje, tetapi maksudnya sekadar mencari keuntungan dan bukan meningkatkan ekonomi orang Torosiaje. Walhasil, "Kami hidup di bawah garis kemiskinan," kata Amin Pakaya. Situasi ini diperburuk dengan kehadiran pelaut-pelaut dari wilayah lain, yang mengail dan menyelam di perairan Torosiaje. "Hasil laut kami diambil orang lain," katanya lagi. Sebenarnya, hasil laut Torosiaje sekarang ini masih lumayan. Hitung-hitung, setiap bulannya dihasilkan 7 ton ikan asin, 500 kg teripang (ada 30 jenis, tapi sedikit sekali dari jenis mahal seperti teripang pasir, susu, nanas, jako), sirip hiu 25 kg, kerang mutiara 25 kg, kerang (mabe, japing-japing, bialola) sekitar 125 kg. Hitungan ekonomi, rasanya, belum masuk dalam ilmu Bajau yang telah menjaga kehidupan orang Torosiaje ratusan tahun. Kemajuan, persaingan ekonomi, dan kerusakan alam dirasakan tak dapat lagi teratasi dengan kedalaman ilmu mereka. Maka, pameran besar pertama dari Bajau Torosiaje ini menyodorkan satu pertanyaan: Akankah mereka bertahan?Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini