BANGGA sekaligus sedih. Itulah kesan Aktris Christine Hakim, 37 tahun, terhadap nasib film Indonesia, setelah beberapa hari ia berada di Jepang. Kehadiran Christine di Negeri Sakura itu atas undangan Japan Foundation. Lembaga ini sedang punya hajat, mengadakan Festival Film Indonesia di Pusat Kebudayaan ASEAN di Tokyo. Acara festival berlangsung empat bulan, mulai November 1993 hingga Februari 1994. Film yang diputar adalah karya-karya sutradara ternama seperti Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjumandjaja, Chaerul Umam, Garin Nugroho, dan Gotot Prakosa. Dan salah satu mata acara yang digelar, di sela-sela festival, adalah Pekan Film Christine Hakim. Nama Christine di Tokyo memang cukup populer. Mereka amat terkesan dengan penampilan Christine lewat film Tjut Nya' Dhien, yang sebelumnya pernah diputar selama dua bulan di bioskop komersial di seluruh Jepang. Kabarnya, tanggapan penonton lumayan bagus. Mungkin karena itulah kehadiran Christine ditunggu banyak pencintanya. Ia tak cuma diajak diskusi. Televisi NHK Jepang pun mewawancarainya secara khusus. Sambutan masyarakat terhadap film Indonesia, kata Christine, juga menggembirakan. "Melihat film-film kita di luar negeri begitu dihargai, sementara di Indonesia sendiri tak diperhatikan, perasaan saya campur aduk antara bangga dan sedih," katanya kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Kalau keadaan perfilman Indonesia sekarat terbukti tahun ini tak ada Festival Film Indonesia kenapa tak terjun ke sinetron? Christine, yang Mei depan ke Paris atas undangan UNESCO untuk menjadi anggota kehormatan Perayaan Satu Abad Perfilman Dunia, ternyata menolak ikut-ikutan latah main sinetron. "Saya khawatir orang akan semakin melupakan keadaan perfilman Indonesia yang sudah memprihatinkan," alasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini