TAMAN Ismail Marzuki, Jakarta, pekan pertama Desember 1993. Seorang lelaki dengan rambut tebal dan mulai beruban sibuk mencoret-coret dinding ruang pameran yang porak-poranda atapnya boyak di sana-sini. Ia seperti seorang pemuda iseng mencoret-coret tembok kota. Halaman secuil di tengah ruang digali. Bukan untuk menanam pohon, tentunya, melihat liang membujur itu yang lebih mirip persiapan untuk kuburan. Gambar- gambar di dinding mulai jelas bentuknya. Dua kaki besar bersepatu lars menginjak kertas-kertas, yang antara lain bertuliskan "idup okrasi" mudah ditebak, lengkapnya mestinya "hidup demokrasi". Ada pula gambar nampan besar. Di atasnya, duduk lelaki gemuk merangkul gedung-gedung. Di bawahnya, tiga lelaki menyangga nampan itu. Juga gambar jeruji, yang di baliknya ada sejumlah lelaki berdiri. Inilah bagian persiapan untuk sebuah pameran besar di TIM, yang dibuka 21 Desember lalu. Menjelang tanggal itu, di sejumlah ruangan di TIM sampai ruang pameran Institut Kesenian Jakarta yang letaknya jauh di belakang diukur dari gerbang TIM di Cikini Raya 76 itu, memang tampak beberapa orang sibuk memasang-masang, mengecat, dan menyekat-nyekat. Ternyata kemudian, itulah persiapan untuk sekitar 50 karya instalasi hasil kerja 39 orang perupa dari, antara lain, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Karya-karya seni rupa yang dianggap mewakili sebagian kecenderungan mutakhir seni rupa Indonesia itu memang mesti di-"instalasi"-kan di tempat karya itu akan dipamerkan. Itulah Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, yang merupakan kelanjutan tradisi pameran dua tahunan oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak 1974. Yang istimewa kali ini, pameran tak diniatkan untuk mencerminkan dunia seni rupa kita seluruhnya, tapi terbatas. Seperti diterangkan Jim Supangkat, salah seorang dari enam kurator Bienniale kali ini, dasar pertimbangan kurasi dari pameran ini: menampilkan kecenderungan baru seni rupa kita pada tahun 1980-an. Yakni, karya dari angkatan yang tumbuh bersamaan dengan teori postmodernisme, dan yang mempunyai kaitan sejarah yang jelas dengan seni rupa Indonesia menjelang dasawarsa 1970 yang berupaya mempertanyakan kembali prinsip seni rupa modern. Apa pun teorinya, kenyataannya: inilah pameran besar, menelan biaya sekitar Rp 150 juta (lihat Pendorong di Belakang Jaring Laba-Laba). Pameran yang mengetengahkan karya-karya seni rupa yang medianya dari cat sampai pasir, dari kayu sampai televisi, dari pohon pisang sampai tubuh. Dan dalam menampilkan karyanya, rata-rata perupa (demikian mereka kini disebut, untuk menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pelukis, pematung, pegrafis) memasukkan unsur ruang. Ada karya yang menerobos batas-batas yang memisahkan penonton dengan karya itu sendiri. Kemudian terasa, oleh penonton itu sendiri atau penonton yang lain, bahwa dirinya atau dia menjadi bagian dari karya itu. Ini bisa terjadi bila Anda menonton karya Erwin Utoyo, Supermarket. Inilah karya berupa duplikasi pasar swalayan secara fisik. Di sini, tampaknya, masalah keharuan, empati, lalu tawaran petualangan imajiner seperti lazimnya diberikan oleh karya seni rupa bukan lagi menjadi yang muncul dari dialog antara penonton dan karya. Setidaknya, kalau toh hal itu muncul, tak terjadi dalam suasana seperti seseorang berhadapan dengan lukisan Affandi. Cara "menonton" Supermarket pun bisa lain: penonton bisa berjalan-jalan di tengah "karya" itu dan menjadi bagian dari karya. Tentu, kejutan pun ada karena itu disebut kesenian. Coba lihat kue-kue yang dipajang di rak-rak itu, sebelum Anda membelinya dan mencicipinya. Erwin, 32 tahun, lulusan Jurusan Patung Institut Kesenian Jakarta, mengisi Supermarket-nya dengan kue-kue dari kayu. Penonton bisa menjadi bagian dari karya itu pulalah peluang yang diberikan oleh Tonny Haryanto dalam Keluarga Berisik. Ia memajang lima pesawat televisi, dan semua menayangkan siaran, berbeda-beda. Di depan televisi itu sebuah sofa. Demikian juga pada karya Semsar Siahaan, yang memanfaatkan Ruang Pameran TIM yang sedang rusak berat itu seperti sudah disinggung di awal tulisan. Kira-kira, Semsar bermaksud membawa penonton melihat rekaman pengalaman sosialnya. Dengan semboyan "esensi kesenian adalah kemerdekaan, esensi kemerdekaan adalah hak asasi manusia, esensi seniman adalah hak asasi untuk kemerdekaan", di dinding yang muram itulah Semsar merekam suara kaum tertindas. Melihat tempatnya yang bobrok, melihat goresannya yang "naif" dan hitam putih, kesan itu tak dicari-cari, agaknya. Semacam karya protes sosial, begitulah kurang lebih. Karya seni rupa instalasi yang lain, yakni karya Rahmayani, Setyoko, Andarmanik, Anta, Anusapati, Mella Jaarsman, dan Nyoman Erawan, adalah karya yang terkesan menggarap problem-problem visual, dan secara tak langsung tersirat juga komentar sosial: entah tentang lingkungan hidup (Mella), entah tentang perlawanan terhadap teknologi tinggi (Anusapati). Juga karya Nyoman Erawan, Yang Tertusuk Menusuk, sebuah karya instalasi yang menggunakan kain panjang putih yang direntang di antara barisan tombak yang diberdirikan berjajar berjarak membentuk sebuah ruang. Sebuah komentar tentang upacara, mungkin. Unsur-unsur visual seperti itulah yang digarap oleh Rahmayani dalam Empat Wajah. Di dinding ia pasang empat lukisan wajah, dua di atas, dua di bawah. Ini biasa saja. Tapi lulusan Seni Rupa ITB itu kemudian membuat "ladang" persegi di lantai di bawah dinding, dengan tanah betulan. Ladang itu ia taburi gabah, dan benar, sedang tumbuh. Di sampingnya, "ladang" yang berbentuk salib, ditaburi kacang merah sedang bertunas. Lalu, sebuah "ladang" dari pasir putih, kosong. Di sinilah, di malam pembukaan dan, rencananya, di malam-malam berikutnya, Rahmayani, yang pernah menari untuk pertunjukan musik Abdul Syukur, melakukan seni rupa pertunjukan. Ia menari, sebuah payung hitam tergeletak di pasir, dan bunyi "ting" dari genta kecil yang dipukul mengiringinya. Sewaktu masih mahasiswa di Bandung, cewek ini sering melakukan happening art. Umpamanya, nonton bioskop berpakaian kertas koran, membuat tanda-tanda di jalan. Tidak semua, memang, karya yang diikutsertakan dalam pameran Bienniale ini menunjukkan gejala baru. Seperti misalnya membangun ruang imajiner, yang dibentuk oleh karya yang merambat ke sana kemari, atau memasukkan penonton sebagai bagian dari karya. Beberapa karya yang dipamerkan di Galeri Cipta menunjukkan gaya konvensional, seperti karya seni lukis lazimnya. Di sini, berbagai lukisan digantungkan secara konvensional, misalnya karya lukis Agus Kamal, Ia dan Rembulan, Berdoa, yang bergaya semisurealistis. Atau karya Sutjipto Adhi, Introspeksi, yang menggabungkan figur dan latar belakang yang mengesankan dunia teknologi. Kemudian realismenya Melodia, pelukis asal Jakarta yang tinggal di Yogyakarta dan gemar menggambar sepeda dalam bermacam lingkungan. Yang baru dalam realisme Melodia, ia menggoyangkan kenyataan sebagaimana Dede Eri Supria hingga kenyataan di bidang gambarnya terasa lain. Bedanya, sementara Dede menggoyangkan kenyataan dengan jalan memadukan dua kenyataan yang mustahil berpadu di dunia sebenarnya, Melodia membersihkan lingkungan dalam pengertian yang luas. Bukan saja hanya objek yang ia inginkan yang dilukisnya, tapi juga objek itu mengesankan tak bernoda setitik pun: keranjang itu, slebor sepeda itu, tampak bersih dan berkilat. Dan sebenarnya, secara keseluruhan, Bienniale Seni Rupa Jakarta IX tidak menyuguhkan karya-karya yang tidak berlandaskan atau tidak bertolak sama sekali dari yang pernah ada di Indonesia. Bahkan karya instalasi, mungkin, hanya istilahnyalah yang "baru" kita pakai. Karya seperti ini, yang meruntuhkan batas pemisah lukisan, patung, grafis, keramik, gambar, dan lain-lain, secara fisik pernah tersaji di beberapa pameran, misalnya Pameran Seni Rupa Baru (tahun 1974). Kelompok perupa yang terlibat beberapa lama kemudian menggelar Pameran Konsep. Disusul kemudian, Pameran Pasar Raya. Dan perlu pula dicatat, Danarto, pelukis yang kemudian lebih memfokuskan kegiatannya pada menulis cerita pendek dan novel, sebelum lahir Seni Rupa Baru sudah menyuguhkan instalasi: susunan bidang dan bentuk putih, ada yang ditumpuk, ada yang digantung. Juga, jangan dilupakan, Pameran Puisi Kongkret. Kalau toh ada hal baru dari Bienniale IX ini, adalah disajikannya seni rupa pertunjukkan (performance art) dan karya-karya yang memakai medium elektronik. Inipun bukan sama sekali baru kali ini diadakan. Seperti sudah disebutkan, Rahmayani sudah melakukannya di Bandung. Juga beberapa perupa muda di Yogyakarta, misalnya pada Pameran Binal (merupakan parodi dari Pameran Bienniale Yogyakarta tahun lalu). Jadi, apa makna Bienniale IX ini? Ketika suasana dalam dunia seni rupa kita lebih didominasi oleh pasar, karena terjadi boom lukisan sejak pertengahan 1980-an, terasakan macetnya kreativitas. Sanento Juliman (almarhum) lalu berbicara tentang pemiskinan kreativitas. Tak berarti kreativitas sebenarnya mandek. Sanggar-sanggar sejumlah perupa, pameran-pameran perupa kita di beberapa negara, sebetulnya menyuguhkan kesegaran juga. Tapi kegiatan itu tenggelam oleh gemuruhnya komersialiasi seni rupa yang didukung oleh galeri-galeri yang bermunculan sejak pertengahan 1980-an itu. Dalam hal ini, pameran bersama yang mengumpulkan semangat kreativitas yang tersebar itu bisa menyuguhkan gaung jauh dan luas, melawan kesumpekan tadi. Pameran itu lalu seperti menghubungkan kegiatan-kegiatan kecil yang kreatif itu, dan bagaikan benang laba-laba imajiner lalu membentuk jaringan kreativitas yang imajiner pula. Bienniale Seni Rupa Jakarta IX ini pada hakikatnya adalah benang laba-laba imajiner itu.S. Malela Mahargasarie dan Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini