Ilmu yang tersimpan "di dasar laut dan di ketinggian langit" ini boleh jadi makin lama akan musnah bersama putaran zaman. Adanya pencemaran lingkungan, kerusakan alam, dan tuntutan ekonomi menggerogoti sendi-sendi masyarakat Bajau sekarang ini. Namun, orang Torosiaje tetap merasa hidup nyaman di rumahnya di tengah laut, di perkampungan laut Torosiaje, yang masuk hitungan Kecamatan Popoyato, Kabupaten Gorontalo. Sepuluh tahun lalu, 1983, Pemda dan Departemen Sosial mencoba mengajak suku laut Torosiaje ini hidup di daratan. Waktu itu, ada 167 kepala keluarga dari 300 kk di Desa Torosiaje dipindahkan ke Dusun Jati dan Tanjung Lepa Lepao. Di tempat yang baru disediakan 125 rumah. Rumah potongan pondok di desa-desa itu dibuat menginjak tanah, bukan rumah panggung.Ja- raknya sekitar 2 km dari tepi pantai di atas tanah kering. Mereka yang mau pindah mendapat jaminan hidup selama 9 bulan pertama. Setiap bulan dikirim beras 10 kilo per jiwa, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya. Tapi, tak seberapa lama, separuh dari warga ini sudah merasa tak betah. Husein, tetua nelayan Bajau Torosiaje, mengeluhkan tanah barunya. "Kalau musim kering, pecah-pecah," katanya. Yang lain mengaku pegang cangkul saja tak bisa, apalagi bercocok tanam. Hidup terasa kurang jika tanpa leppa di kaki tangga rumah. Husein mengibaratkan suku Bajau laut yang pindah ke darat, bagaikan "Ikan cakalang yang hidup di air tawar. Apa bisa," katanya. Akhirnya, mereka kembali ke perkampungan di lautan Torosiaje lagi. Sampai sekarang ini ada sekitar 325 kk suku Bajau Torosiaje, sekitar 240 kk tinggal di perkampungan laut. Hanya 85 kk yang masih menetap di perumahan bantuan Depsos itu. Mereka semua memiliki leppa. Bahkan 17 kk benar-benar masih berumah di atas leppa, meneruskan tradisi sea nomads (pengelana laut). Ciri-ciri yang sama dengan Torosiaje ini adalah suku Bajau yang hidup di Dusun Tangkasi, Pulau Montahage II -- masih di Kabupaten Gorontalo. Meski resminya didata sebagai warga Desa Nain di Pulau Nain, mereka sesungguhnya orang-orang laut yang tak akan jauh-jauh dari air. Sehari-hari mereka hidup di Dusun Tangkasi -- jaraknya 1 jam berperahu dari Pulau Nain -- yang masuk Kecamatan Wori. Di Desa Nain ada tetua Bajau bernama Anwar Halim, kakek berumur 74 tahun. Orang tua ini selalu teringat dongeng yang diturunkan kakek buyutnya, yang, konon kata Anwar, hidup sampai usia 183 tahun. Menurut ceritanya, leluhurnya berasal dari kerajaan yang dipimpin Raja Bajau di Johor, Malaysia. Alkisah, anak sang raja, Pangeran Papu, suatu kali berlayar bersama para pengiringnya. Rombongan anak raja ini diterjang amukan awan putih "Kuwayang" dan kocar-kacir. Pangeran Papu hilang. Raja Bajau mengeluarkan ultimatum. "Semua orang Bajau harus keluar, menyebar ke semua penjuru mata angin untuk mencari Pangeran Papu. Tak seorang pun boleh kembali sebelum menemukan Pangeran Papu." Itulah, kata Anwar, sebabnya mengapa kini suku Bajau amat tersebar. Padahal, konon, Pangeran Papu terdampar dan akhirnya mendirikan kerajaan di Teluk Bone. Legenda inilah yang menurut Anwar membuat orang Bajau merasa harus tetap hidup di lautan. "Karena taat pada perintah raja, mereka pun rela hidup sampai mati di atas perahu," katanya. Orang Bajau, katanya, pasti menangis kalau disuruh berkebun. Tengok saja yang dilakukan salah satu warga Tangkasi, Arsad Maji. "Bukan tak mau bermasyarakat, tapi sudah menjadi amanat orang tua kami harus hidup di laut, tak boleh di darat," kata pria 42 tahun ini. Arsad, tinggal di daseng, rumah panggung yang dibangun di atas tiang-tiang kayu bakau setinggi kurang lebih empat meter. Laut di sekitar permukiman Arsad memiliki beberapa palung, habitat ikan. Setiap hari Arsad bisa mengais 5 kilo ikan yang laku dijual Rp 500 per kilo. Ikan-ikan yang tak laku dijual segera diasinkan. Hasilnya pun lumayan. Setiap minggu Arsad bisa menjual 40 kg ikan asin langsung ke Manado. Pulangnya ia mengantongi Rp 72 ribu. "Dengan cara ini saya bisa membiayai 8 anak," kata Arsad. Ia bangga satu di antara delapan anaknya sempat mengecap pendidikan SMP. Sisanya hanya sampai sekolah dasar. Arsad juga membuka warung kecil di sudut dasengnya. "Toko" terapung itu menyediakan rokok dan barang kebutuhan sehari- hari. Sekitar permukiman Arsad memang termasuk daerah mati. Kawasan yang hidup di dekat situ adalah Pulau Nain. Daerah itu mesti ditempuh dengan naik perahu selama satu jam. Biasanya ke pulau itu warga Tangkasi mengambil air tawar dan berbelanja. Di Pulau Nain pula mereka datang pada hari pemilihan umum atau ketika ada sensus penduduk. Kini, anak-anak Arsad menjadi "alat produksi" dalam keluarga. Yang lelaki sudah sesigap ayahnya menjinakkan laut. Yang perempuan memanfaatkan waktu luang dengan merangkai kerang. Kerang-kerang ini lazimnya dipakai sebagai barang pajangan yang dijual di sekitar daerah wisata Bunaken. Sehari, rata-rata anak Arsad bisa menghasilkan dua hiasan yang laku Rp 8 ribu sebuah. Maka, seorang murid SD di Nain, Hamdan Manikam, hafal dengan kata-kata bertuah: Pore mandarat kita lingantu, pore malaut kite esshe. Artinya, ke darat kita lapar, ke laut kita kenyang. Tak heran bila di musim panen ikan, sekolahnya kosong. "Murid- murid dipanggul orang tuanya untuk membantu kerja di laut," kata Hamdan. Setelah itu, kata guru SDN Nain Franky Humais, umumnya murid-murid lalu melupakan sekolah. "Kalau pun tamat SD, paling banyak 20 persen yang melanjutkan ke SMP," kata Franky. Laut dan gelombang juga telah menjadi bagian hidup orang Bajau di Bungin. Bungin adalah nama sebuah desa di atas pulau seluas 5 ha pada ketinggian 1,5 m di atas permukaan laut Teluk Alas, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Sampai Desember 1993, tercatat ada 573 kk yang terdiri dari 2.400 jiwa bermukim di Bungin. Inilah pulau yang menurut buletin Pemda Sumbawa, Mengenal Pulau Sumbawa, disebut pulau dengan penduduk terpadat di dunia: 14.555 jiwa per km2. Sebagian besar warga Bungin mendirikan rumah panggung dari kayu. "Persiapan membangun sebuah rumah bisa sampai lima tahun," kata Amiruddin, 47 tahun, Kepala Desa Bungin. Tahap pertama adalah mengumpulkan bahan-bahan bangunan. Kalau sudah genap bahannya, mereka mengumpulkan uang untuk menguruk pantai. Pada zaman modern ini, ada buruh yang siap menimbun batu karang dengan bayaran Rp 200 ribu. Itu sebabnya pengantin baru terpaksa ikut berdesak-desak di rumah mertua menunggu rezeki cukup untuk pindah. Menurut hikayat yang masih diingat oleh para tetua di dusun itu, luas areal Bungin dahulunya hanya 1,5 ha. Tapi dari tahun ke tahun pulau itu bertambah besar. "Setiap orang yang ingin membangun rumah baru harus menguruk pantai dulu dengan batu karang," kata Amiruddin, satu-satunya pemilik rumah batu -- dan warga menjulukinya "rumah paling bagus se-Bungin". Mengapa mereka suka menginjak air laut? "Kalau habis daun di gunung, barulah habis garam di laut," kata Abu Tahir, bekas kepala desa berumur 70 tahun, mengeluarkan falsafah hidupnya. Artinya, kurang lebih, laut menyimpan kekayaan yang tak habis- habisnya. Ia, seperti orang Bajau di Dusun Tangkasi juga, percaya bahwa nenek moyangnya adalah orang Bajau di Semenanjung Johor, Malaysia. Namun, tercerai-berainya warga Bajau, menurut Abu Tahir, bukan lantaran mencari Pangeran Papu, melainkan karena hilangnya putri sang raja ketika bermain ombak. Di antara bala tentara Bajau itu, ada yang mencari sampai ke Labuan Sawak, Sumbawa. Sampai di sini mereka tak berani pulang karena tak menemukan sang putri. Mereka takut dihukum pancung. Tapi kemudian datang ancaman lain, yakni para perompak. "Mereka lalu pindah ke Pulau Bungin di bawah pimpinan Palema Mayo," kata Abu Tahir. Grup pertama orang Bajau ini terdiri dari 12 orang. Kini, dengan jumlah penduduk yang terus membengkak, mereka tetap merasa nyaman hidup di atas air. Tak peduli di malam hari pasang naik sampai ke halaman rumah mereka. Dua kali setahun, bahkan laut pasang cukup tinggi. "Bisa sampai selutut," kata Abu Tahir. Yang paling gembira anak-anak. Mereka bisa bersampan di gang-gang antar-rumah selagi "banjir". Baik Abu Tahir maupun Amiruddin tidak khawatir sewaktu-waktu pulau kecil itu tenggelam, seperti yang terjadi pada Pulau Babi di Flores. Maklumlah, Pulau Bungin hanya 1,5 meter di atas permukaan laut. Alas rumah-rumah di situ hanya dibuat dari terumbu karang yang sudah mati, dan letaknya di pantai terbuka. Tapi dengar keyakinan Abu Tahir. "Pulau Bungin ini pulau keramat. Ombak tak akan bisa menghanyutkan pulau ini," katanya dengan tegas. Itu, kata Tahir, karena orang-orang Bajau menghormati laut. Mereka dengan tertib mengikuti norma-norma Bajau terhadap laut. Umpamanya sebelum berangkat mengail rezeki di laut, mereka melakukan upacara tiba-pisah, yaitu melemparkan sesaji satu sisir pisang, sirih, dua butir telur. Mereka juga tak lupa mengikuti pantangan selama di laut, misalnya, tidak boleh membawa anak luar nikah, tidak boleh menyebut kata gurita. "Kami sudah puluhan tahun hidup di sini. Seperti Anda lihat kami masih sehat," katanya sambil menonjolkan otot tubuhnya yang masih kekar dalam usia baya. Ketika Gubernur NTB masih dipegang Gatot Suherman, ia berkali- kali mengajak masyarakat Bajau yang masih berumah di atas laut untuk pindah ke darat. "Ah, tidak. Kami betah di sini," kata Abu, Amiruddin, dan kawan-kawannya. "Biar berdesak-desak tak apa. Apa, sih, batas bahagia itu? Kan batasnya ada pada perasaan warga kami," kata Amiruddin, kepala desa yang mahir menjahit baju itu. Ia segera mengeluarkan daftar kekayaan Bungin. Ke-573 kepala keluarga di pulau itu memiliki 360 perahu layar, 50 kapal motor, dan 35 sampan. Di Pulau Bungin juga terdapat dua sekolah dasar, masjid, dan puskesmas pembantu. "Kurang apa lagi? Kami bisa makan, salat. Anak-anak bisa sekolah dan bisa ke puskesmas kalau sakit," kata Abu Tahir. Televisi, bahkan video, juga sudah dikenal di daerah itu. Jadi, mereka tak ubahnya warga di kebanyakan desa di negeri ini. Hanya bedanya mereka berumah di atas laut. Lalu kalau Pemerintah (Departemen Sosial) memang mau memakai ukuran kesejahteraan dengan "hidup di darat", mestinya ada modifikasi dalam programnya. Misalnya membuat rumah panggung layak huni yang tetap di pinggir laut. Sumitro Maskun, Kepala Litbang Departemen Dalam Negeri, yang mengungkap perihal suku Bajau sebagai ilustrasi dalam pembahasan pengembangan Kawasan Timur Indonesia di Lokakarya Nasional Riset dan Teknologi V/93, awal Desember lalu, dengan nada bergurau, mengatakan, "Ini memang kesalahan. Biasa di laut, lalu dipindah ke darat. Ya, menteleng (melotot) jadinya." Pada masa depan, kata Sumitro berjanji, pendekatan pengembangan Bajau akan diperbaiki. Amin Pakaya, tokoh masyarakat Bajau Torosiaje, berpendapat seharusnya sebelum program pemukiman kembali, kehendak-kehendak mereka ditampung lebih dahulu. Selama ini, katanya, "Kami tak pernah ditanyai maunya apa." Mungkin ucapan Amin pas. Sayangnya, menurut Sri Rahmadi dari Departemen Sosial dalam diskusi lesehan di pameran Bajau, sejak program resettlement Torosiaje kurang berhasil itu, sampai sekarang belum dirancang lagi program lanjutan bagi Torosiaje, dan Bajau laut lainnya. Di tempat lain, telah terbukti pemukiman kembali yang disesuaikan dengan nilai budaya Bajau berhasil baik. Contohnya, suku laut di Betram, Pulau Batam. Sejauh ini, katanya, orang- orang Bajau di sana tak mengeluh di rumah barunya. Hidup mereka tenteram di rumah panggung di pinggir pantai. Leppanya tertambat di bawah rumah. Dan aroma laut tercium dari fajar ke fajar.Bunga S., Indrawan, Putu Wirata (Sumbawa), dan Phill M. Sulu (Gorontalo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini