Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bak Sampahpun Diprotes, Banjir

Banjir di Bandung disebabkan karena beberapa hal seperti pendangkalan sungai, Riul yang tersumbat, penimbunan sampah dan cara kerja tata kota yang tidak sinkron. (kt)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR di Kota Bandung disebut banjir cileuncang Bahasa Sunda ini berarti genangan air yang biasa terjadi manakala hujan berakhir. Menurut drs Sopandi dari bagian Hurhas Kantor Gubernur Jawa Barat misalnya, dua tiga jam banjir itu sudah tidak tampak lagi. Tapi mengapa rutin, nyaris setiap kali hujan turun? Di samping riul yang tersumbat, Prof. Dr. Otto Soemarwoto dari Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran menyebut alasan banjir itu karena taman sudah banyak yang berubah menjadi beton, artinya bangunan. (TEMPO, 9 Desember 1978. Hampir sama dengan Otto, Kepala .Humas Pemda Kotamadya Oekasah Suhandi menuding lebih jauh lagi: produksi sampah berlebihan. Produksi sampah di Kota Bandung tiap hari 3000 meter kubik. Sarana angkutannya hanya mampu menggusur separonya saja. Bisa dibayangkan 1500 meter kubik sisanya tiap hari tertimbun. Itu dulu. Belakangan ada bantuan tambahan 16 truk dari Gubernur Aang Kunaefi. Tapi menurut Oekasah tambahan truk ini hanya menambah daya ankut 10% saja. Jadi timbunan sampah akan terus berlangsung. Itu setelah ditampung 225 bak sampah berikut 53 truk (termasuk tambahan 16 buah tadi), dengan tenaa seluruhnya 1.634 orang. Otto benar, Oekasah pun tidak salah. Tapi ir. Masduki dari Departemen Teknik Penyehatan Institut Teknologi Bandung melihat hal yang lebih gawat lagi. "Seluruh riul yang ada di Kota Bandung hanya cukup untuk 50 ribu orang saja," Masduki berkata. Inipun peninggalan zaman Belanda. Menurut ir. Djoko Soejarto, juga dari ITB, tidak berarti setiap peninggalan penjajah jelek. Sebab "yang penting bagaimana pemeliharaannya," katanya. Pemeliharaan pun hendaknya dikaitkan dengan soal apakah riul itu harus menjadi tumpahan sampah atau tidak. Belum Mantap Dalam pada itu Djoko melihat Bandung dari segi tata kota dan cara kerja pengelolanya. Perencanaan dan kordinasi kerja menurut sarjana ITB ini "belum mantap betul." Maksudnya, "pelaksanaannya tidak sinkron." Sebagai contoh ditunjuknya cara kerja orang kotamadya dalam memperbaiki Jalan Suci. Peningkatan atau perbaikan jalan ini "tidak diikuti pembuatan sistem saluran air yang baik karenanya cuma menambah penyebab banjir saja." Tapi tentang banjir itu sendiri Djoko berpendapat karena pertumbuhan Kota Bandung yang memang sulit dikendalikan. Sementara jumlah penduduk bertambah dengan pesat, luas kota tidak berubah (8.096 hektar) sejak 1949. Juga "data tentang riul sampai sekarang belum ada yang pasti," katanya. Penelitian data riul pernah dilakukan tim Bandung Urban Development and Sanitation -- suatu kerjasama Pemda dengan satu konsultan Australia. "Tapi hanya mengambil satu kasus saja, padahal sistem riul sama dengan sistem jaringan jalan yang satu sama lain saling berhubungan," kata Djoko. Meyakinkan atau tidak hasil penelitian iu, Oekasah tidak begitu menggubrisnya. Bahkan ia langsung kaget melihat hasilnya. Misalnya untuk memperbaiki sistem riul di Kota Bandung tim tadi memperkirakan biayanya sekarang bisa mencapai lebih dari Rp 16 milyar. Padahal anggaran Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Bandung tahun 1978-1979 ini misalnya hanya Rp 600 juta. Tak heran Oekasah lantas menyebut masalah banjir di kotanya sebagai satu masalah yang betul-betul pelik. Warga kota menurut dia sebenarnya sudah sadar akan bahaya pembuangan sampah ke kali. Tapi pemerintah kota sendiri tak sanggup menyediakan bak-bak sampah karena tempatnya tidak ada. "Pembuatan bak sampah di tengah pemukiman mengundang protes," Oekasah menjelaskan. Barangkali itulah sebabnya banyak warga kota tetap mencuri-curi membuang sampah ke kali. Dan sungai-sungai pun dangkal. Kecuali dangkal juga semakin sempit karena banyak bangunan liar di kiri-kanannya. Masuk akal ir. Djoko mengusulkan agar 10 meter kiri kanan kali itu dibebaskan dari segala macam bangunan. Dan itu sedikit demi sedikit memang sudah dilaksanakan oleh pemerintah kotamadya. Itulah sebabnya cileuncang di berbagai sudut kota belakangan ini tetap saja sering muncul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus