BANJIR di Kota Bandung disebut banjir cileuncang Bahasa Sunda
ini berarti genangan air yang biasa terjadi manakala hujan
berakhir. Menurut drs Sopandi dari bagian Hurhas Kantor Gubernur
Jawa Barat misalnya, dua tiga jam banjir itu sudah tidak tampak
lagi. Tapi mengapa rutin, nyaris setiap kali hujan turun?
Di samping riul yang tersumbat, Prof. Dr. Otto Soemarwoto dari
Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran menyebut alasan banjir itu
karena taman sudah banyak yang berubah menjadi beton, artinya
bangunan. (TEMPO, 9 Desember 1978. Hampir sama dengan Otto,
Kepala .Humas Pemda Kotamadya Oekasah Suhandi menuding lebih
jauh lagi: produksi sampah berlebihan.
Produksi sampah di Kota Bandung tiap hari 3000 meter kubik.
Sarana angkutannya hanya mampu menggusur separonya saja. Bisa
dibayangkan 1500 meter kubik sisanya tiap hari tertimbun. Itu
dulu.
Belakangan ada bantuan tambahan 16 truk dari Gubernur Aang
Kunaefi. Tapi menurut Oekasah tambahan truk ini hanya menambah
daya ankut 10% saja. Jadi timbunan sampah akan terus
berlangsung. Itu setelah ditampung 225 bak sampah berikut 53
truk (termasuk tambahan 16 buah tadi), dengan tenaa seluruhnya
1.634 orang.
Otto benar, Oekasah pun tidak salah. Tapi ir. Masduki dari
Departemen Teknik Penyehatan Institut Teknologi Bandung melihat
hal yang lebih gawat lagi.
"Seluruh riul yang ada di Kota Bandung hanya cukup untuk 50 ribu
orang saja," Masduki berkata. Inipun peninggalan zaman Belanda.
Menurut ir. Djoko Soejarto, juga dari ITB, tidak berarti setiap
peninggalan penjajah jelek. Sebab "yang penting bagaimana
pemeliharaannya," katanya. Pemeliharaan pun hendaknya dikaitkan
dengan soal apakah riul itu harus menjadi tumpahan sampah atau
tidak.
Belum Mantap
Dalam pada itu Djoko melihat Bandung dari segi tata kota dan
cara kerja pengelolanya. Perencanaan dan kordinasi kerja menurut
sarjana ITB ini "belum mantap betul." Maksudnya, "pelaksanaannya
tidak sinkron." Sebagai contoh ditunjuknya cara kerja orang
kotamadya dalam memperbaiki Jalan Suci. Peningkatan atau
perbaikan jalan ini "tidak diikuti pembuatan sistem saluran air
yang baik karenanya cuma menambah penyebab banjir saja."
Tapi tentang banjir itu sendiri Djoko berpendapat karena
pertumbuhan Kota Bandung yang memang sulit dikendalikan.
Sementara jumlah penduduk bertambah dengan pesat, luas kota
tidak berubah (8.096 hektar) sejak 1949. Juga "data tentang riul
sampai sekarang belum ada yang pasti," katanya.
Penelitian data riul pernah dilakukan tim Bandung Urban
Development and Sanitation -- suatu kerjasama Pemda dengan satu
konsultan Australia.
"Tapi hanya mengambil satu kasus saja, padahal sistem riul sama
dengan sistem jaringan jalan yang satu sama lain saling
berhubungan," kata Djoko.
Meyakinkan atau tidak hasil penelitian iu, Oekasah tidak begitu
menggubrisnya. Bahkan ia langsung kaget melihat hasilnya.
Misalnya untuk memperbaiki sistem riul di Kota Bandung tim tadi
memperkirakan biayanya sekarang bisa mencapai lebih dari Rp 16
milyar. Padahal anggaran Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota
Bandung tahun 1978-1979 ini misalnya hanya Rp 600 juta.
Tak heran Oekasah lantas menyebut masalah banjir di kotanya
sebagai satu masalah yang betul-betul pelik. Warga kota menurut
dia sebenarnya sudah sadar akan bahaya pembuangan sampah ke
kali. Tapi pemerintah kota sendiri tak sanggup menyediakan
bak-bak sampah karena tempatnya tidak ada. "Pembuatan bak sampah
di tengah pemukiman mengundang protes," Oekasah menjelaskan.
Barangkali itulah sebabnya banyak warga kota tetap mencuri-curi
membuang sampah ke kali.
Dan sungai-sungai pun dangkal. Kecuali dangkal juga semakin
sempit karena banyak bangunan liar di kiri-kanannya. Masuk akal
ir. Djoko mengusulkan agar 10 meter kiri kanan kali itu
dibebaskan dari segala macam bangunan. Dan itu sedikit demi
sedikit memang sudah dilaksanakan oleh pemerintah kotamadya.
Itulah sebabnya cileuncang di berbagai sudut kota belakangan ini
tetap saja sering muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini