Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDAYAT Achyar langsung teringat Haposan Hutagalung begitu makelar kasus menjadi sorotan. Tiga tahun silam, pengacara firma hukum Ihza & Ihza ini berurusan dengan Haposan, yang kini dituduh menjadi pelaku perdagangan perkara. Penghubung keduanya adalah duit US$ 10 juta atau sekitar Rp 90 miliar milik Tommy Soeharto, yang disimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas Cabang London.
Awalnya, buat mencairkan duit simpanannya, Tommy menyewa kantor pengacara Ihza & Ihza pada 2004. Ini firma hukum yang didirikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika itu. Hidayat kemudian ditunjuk menangani klien besar dari Keluarga Cendana ini.
Pada fase akhir urusan dengan duit Tommy pada 2007 inilah Haposan masuk. Ia menghubungi Hidayat, meminta bertemu. ”Pokoknya ketemu Abang dulu,” kata Hidayat kepada Tempo, Jumat pekan lalu, menirukan ajakan Haposan. Pertemuan pun dilakukan di kantor Haposan di lantai 19 gedung Patra Jasa, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Rupanya, ada duit US$ 600 ribu atau sekitar Rp 5,4 miliar yang masuk rekening Hidayat. Sebagian uang Tommy di BNP Paribas yang dapat dicairkan itu masuk ke BNI Cabang Melawai, Jakarta Selatan, lalu ke rekening Hidayat. ”Itu uang Ihza & Ihza. Saya ketitipan saja,” kata Hidayat. ”Jadi, setelah itu saya berikan ke Ihza.”
Aliran dana ini yang menuntun Haposan datang.
Tiga rekening Tommy senilai US$ 60 juta atau Rp 540 miliar dibuka di BNP Paribas pada 1998. Diatasnamakan Garnet Investment of Triden, duit masuk hanya dua bulan setelah Presiden Soeharto, ayah Tommy, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Garnet beralamat di Tortola, British Virgin Island.
Finance Intelligence Service, lembaga yang memantau pergerakan uang di Inggris, mencurigai sejumlah rekening di BNP Paribas. Rekening ini diduga punya kaitan dengan Soeharto sehingga dibekukan. Di antaranya simpanan milik Tommy itu. Tommy, yang waktu itu menjalani hukuman penjara karena terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, berusaha menyelamatkan uangnya. Putra bungsu penguasa Orde Baru ini sempat menyewa pengacara dari Inggris dan Amerika. Tapi lawyer asing ternyata tak sukses. Atas saran seorang sahabatnya, ditunjuklah Hidayat Achyar untuk membantu. Dalam surat kuasa Tommy, Ihza & Ihza diminta mencabut pembekuan rekening atas nama Motorbike Corporation.
Hidayat menggunakan aturan bahwa seseorang atau badan hukum harus dinyatakan beriktikad baik, sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Ia juga berargumen bahwa negara wajib membantu Tommy agar uang itu disimpan di Indonesia karena milik orang Indonesia. Dalil itu diterima Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman.
Singkat kata, rombongan Hidayat bersama antara lain sang Direktur Jenderal pergi ke London. Debat sengit terjadi antara Motorbike dan Paribas. Bank itu ngotot tak mau mencairkan dana nasabahnya. Paribas tetap mengajukan syarat, di antaranya pernyataan resmi dari pemerintah bahwa duit itu tak bermasalah dan surat keterangan bahwa Motorbike bebas utang. Surat inilah yang belakangan dikeluarkan oleh Departemen Hukum. Pada saat itu, Yusril telah digantikan Hamid Awaludin.
Sebagian duit dapat dicairkan. Sebanyak Rp 90 miliar mengalir melalui rekening Departemen Hukum, yang dipinjam khusus buat transaksi ini. Dalam sekejap, duit lenyap mengalir ke mana-mana. Di antaranya ke rekening milik Hidayat Achyar itu. Data ini rupanya telah dipegang Haposan.
Dalam pertemuan di kantor Haposan, tuan rumah langsung menyorongkan laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Haposan memberikan informasi penting bahwa Hidayat menjadi target polisi karena melakukan transaksi mencurigakan. Kepada tamunya, Haposan menyatakan mendapatkan laporan hasil analisis itu dari petinggi polisi. ”Saya beli ini, Bang,” kata Hidayat menirukan pernyataan Haposan.
Menurut Hidayat, setelah itu Haposan langsung menyodorkan kuitansi dan meminta Hidayat mengganti sejumlah uang yang tertulis di situ. Ia juga menawarkan diri menjadi pengacara agar Hidayat bisa selamat dari tudingan. Hidayat menolak, dengan alasan sudah mendapatkan laporan yang sama dari sumber lain. Hidayat juga ogah didampingi Haposan sebagai pengacara. ”Saya kan juga pengacara, bisa melakukan pembelaan hukum sendiri,” ujarnya.
Haposan kini dalam tahanan polisi. Ia disangka menyuap polisi, jaksa, dan hakim untuk mengatur bebasnya Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan IIIa. Gayus sempat bebas dari sangkaan pencucian uang, tapi kini kembali dijerat dengan tuduhan melakukan korupsi dan penggelapan. Ia juga ditahan. Otto Hasibuan, pengacara Haposan, menyatakan belum mendapatkan informasi ihwal tudingan kliennya berusaha memeras Hidayat Achyar. ”Saya belum tahu,” katanya.
Aktivis Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, mengatakan selama ini Haposan dikenal sebagai pengacara yang tidak pernah beracara. Dia selalu berusaha menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Soal ini, Otto mengatakan penyelesaian di pengadilan perlu ongkos besar dan melelahkan. Karena itu, yang dilakukan Haposan tak salah.
HAPOSAN yang memanfaatkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan hanya satu cerita. Sumber Tempo memberikan informasi, seorang notaris yang juga dekat dengan polisi pun berusaha memeras Tommy Soeharto. Senjatanya sama, data transaksi keuangan. Kedekatan hubungan mereka dengan perwira polisi, terutama pada Direktorat II Bidang Ekonomi Badan Reserse, bisa menjadi modal buat mendapatkan data itu.
Direktorat Ekonomi memang diberi tanggung jawab menangani laporan transaksi mencurigakan. Data ini dipasok Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang menyerahkan laporan hasil analisis. Data ini sebenarnya sudah memuat dugaan pelanggaran plus profil pemilik rekening yang dicurigai. Tapi, sejauh ini, hanya sebagian kecil data dari Pusat Pelaporan yang diproses.
Hingga kini, Pusat Pelaporan sudah menyerahkan 1.072 laporan hasil analisis ke polisi dan jaksa. Namun hanya 27 kasus yang diteruskan dan kasusnya disidangkan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sekitar 25 laporan dari ribuan itu dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dari laporan itu, belum jelas juga kelanjutannya.
Alfons Lemau, pensiunan komisaris besar yang pernah membangkang pada zaman Kepala Kepolisian RI Jenderal Bimantoro, menyatakan ruang lingkup Direktorat Ekonomi memang rawan godaan. Direktorat itu menangani kejahatan perbankan, ekspor-impor, pajak, dan segala yang terkait dengan uang gede. ”Yang diperiksa orang-orang berduit. Potensi untuk memeras tinggi sekali,” katanya.
Kepala Badan Reserse Kriminal Ito Sumardi mengatakan punya semua data laporan Pusat Pelaporan. Yang dilaporkan tidak bisa dengan mudah diproses. ”Laporan PPATK itu petunjuk, bukan bukti,” katanya. Jika setelah ditelusuri, ada perbuatan melanggar hukum, barulah jadi alat bukti. Jadi statusnya sama saja dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo