Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA dua sisi kebijakan energi di negeri ini. Dari sisi pendapatan, ekspor gas dan batu bara menjadi satu di antara andalan pemerintah. Dari sisi pembelanjaan, subsidi bahan bakar minyak dan listrik merupakan pengeluaran terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tahun lalu, misalnya, subsidi listrik lebih dari Rp 60 triliun.
Bangkitnya kembali harga minyak akan membuat subsidi ini terus menanjak. Sayangnya, kenaikan harga batu bara dan gas, yang biasanya mengikuti kecenderungan harga minyak, tak menghasilkan tambahan pendapatan sebanding. Bila pemerintah tak segera memaksimalkan pemanfaatan gas dan batu bara untuk keperluan energi domestik, potensi kerugian akan terus naik.
Karena itu, pemerintah perlu menggegaskan konversi penggunaan BBM ke energi yang lebih murah. Keberhasilan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG harus diteruskan ke konversi BBM lain, seperti minyak bakar dan solar serta ke gas dan batu bara. Tahun ini PLN direncanakan menghemat lebih dari Rp 6 triliun hanya dengan mengganti penggunaan BBM di sebagian pembangkit listriknya dengan gas.
Rencana penghematan seperti ini, sayangnya, terancam terkendala. Ada dua alasan: pemasok gas menganggap harga yang ditawarkan PLN lebih rendah ketimbang harga ekspor, dan prasarana untuk membawa gas dari sumur ke pembangkit PLN belum tentu tersedia tepat waktu.
Contoh mutakhir kondisi ini tecermin pada proyek Donggi-Senoro di Sulawesi, yang merupakan proyek patungan PT Pertamina-Medco. Bila opsi ekspor yang diutamakan, pemerintah akan mendapatkan US$ 6,4 miliar, sedangkan bila untuk penggunaan domestik, ladang gas ini hanya akan mempertebal kantong pemerintah US$ 2,5 miliar. Tapi, bila PLN tak mendapatkan gas, potensi penghematan Rp 6 triliun per tahun bisa tak tergapai.
Dalam menyelesaikan dilema ini, pemerintah memang punya keterbatasan. Menentukan kebijakan gas tak boleh hanya berpatokan pada keuntungan sesaat. Biaya investasi di sektor ini amat besar, berisiko tinggi, dan membutuhkan teknologi canggih, sehingga peran swasta asing masih diperlukan. Solusi yang diambil harus menjawab kebutuhan gas domestik, seraya tetap memberikan peluang keuntungan yang cukup menarik bagi para investor.
Salah satu jawabannya adalah dengan memindahkan sebagian subsidi listrik menjadi subsidi gas. Bila dilakukan dengan bijak, ini bukan pemborosan karena, selain menghemat biaya, konversi BBM ke gas amat mengurangi dampak pencemaran udara, sehingga dapat digunakan menarik dana perubahan iklim dunia.
Subsidi gas itu sebagian dapat digunakan untuk membangun prasarana sistem distribusinya. Ini memang tak murah, karena sumber gas umumnya berada di kawasan timur dan utara Indonesia, sedangkan konsumennya di kawasan barat dan selatan. Bila infrastruktur tersedia, sebagian ladang gas kecil yang banyak terdapat di Pulau Jawa, yang selama ini dianggap tak layak dikembangkan, pun akan menjadi ladang yang menguntungkan.
Keuntungan konversi ini akan melejit bersama naiknya harga minyak. Soalnya, selisih harga dan biaya produksi minyak jauh lebih besar ketimbang gas dan batu bara. Biaya produksi minyak rata-rata di Indonesia sekitar US$ 13 per barel, padahal harga jualnya saat ini di atas US$ 80. Bandingkan dengan biaya produksi gas yang bervariasi antara US$ 1,50 dan US$ 8 per MMBTU, sedangkan harga jualnya bervariasi antara US$ 5 dan US$ 13. Batu bara pun tak seampuh minyak, karena biaya produksinya hampir US$ 30 per ton, sedangkan harga jualnya sekitar US$ 70.
Walhasil, inilah tujuan konversi yang menguntungkan: gunakan gas dan batu bara semaksimal mungkin untuk keperluan dalam negeri, dan utamakan minyak untuk diekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo