DINGIN udara masih mengapung di Jammu-Kashmir. Ada kabut tipis di antara rumah -rumah perahu di danau bunga teratai yang tenang. Dan salju di kejauhan puncak Himalaya terasa menonjokkan sepi. Kota macam Srinagar, yang biasanya memancarkan keramaian, kini senyap. Cuma polisi dan tentara yang boleh gentayangan. Penduduk atau turis lenyap. Jam malam memaksa mereka meringkuk di rumah masing-masing, hampir tanpa aktivitas. Berteman sekadar makanan dan obat persediaan, lengkap dengan kecemasan dan -- pada sejumlah orang -- kemarahan. Jammu-Kashmir memang telah "panas". Pada Selasa, 10 April, tubuh industriwan Srinagar L.M. Khera kaku disobek peluru. Wakil Rektor Universitas Kashmir Mushir Ul-Haq tergolek kelu dekat bandar udara. Sekretaris pribadi Mushir, Abdul Ghani, bernasib serupa. Sebelumnya, bom bertebaran di negara bagian lain. Di Punjab, Poona, di tiga kantor polisi New Delhi, juga di kereta api di Bombay. Tak seorang pun mengaku siapa yang menaburnya. Tapi aparat keamanan India percaya bahwa yang bertanggung jawab adalah para Kashmir militan. Darah sudah tumpah di bumi Kashmir. Ribuan penduduk Hindu mengalir meninggalkan Jammu-Kashmir, sementara ribuan lainnya yang muslim menyeberang ke Pakistan. Mereka menegaskan bahwa kawasan tercantik di India itu sedang dililit ketegangan. Titik api telah kembali marak. Tak seorang tahu kapan anak benua India itu, daerah yang selalu diidentikkan dengan kedamaian, akan sungguh-sungguh damai. Bagi India, ketegangan di Jammu-Kashmir bukan barang baru. Pada separuh terakhir abad ini, Jammu-Kashmir bagaikan bara yang kadang menggelegak, kadang mendingin. Persisnya sejak 1947, saat kaum muslim India memisahkan diri dari saudara sebangsanya yang beragama Hindu, untuk membangun negara Pakistan. Pada saat itu Kashmir terbelah. Sebagian di antaranya, seluas 1.680 kilometer persegi, terbawa oleh Pakistan menjadi daerah yang -- oleh pihak Pakistan dan orang-orang Kashmir -- disebut Azad Kashmir. Kashmir Merdeka. Sementara itu, India selalu menjuluki kawasan itu sebagai "Kashmir yang diduduki Pakistan". Apa pun sebutan India, Azad Kashmir tak pernah menjadi masalah. Sebaliknya, Jammu-Kashmir yang tersisa di India justru selalu menumpahkan darah. Ironisnya, sebagian besar wilayah Kashmir tercakup di sini. Yakni lebih dari 100 ribu kilometer persegi, yang dihuni hampir tujuh juta jiwa. Sebagian besar penduduk di sana beragama Islam. Perbedaan agama dengan mayoritas penduduk India inilah yang menjadikan Jammu-Kashmir selalu rawan. Jammu-Kashmir terus-menerus bergolak. Kebanyakan penduduk muslim di sana merasa bahwa mereka tak pantas menjadi bagian India. Mereka makan daging sapi, sementara orang Hindu India menyembah hewan itu. Pakistan pun tak pernah dapat menahan diri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan saudara seagama mereka di seberang perbatasan. Sedangkan India tetap berkeras bahwa Kashmir adalah wilayahnya. Kepentingan masing-masing bertabrakan. Sejarah mencatat, Kashmir telah dua kali menyebabkan pecah perang India-Pakistan. Yakni pada 1965 dan 1971. Kini Kashmir berpeluang perang untuk ketiga kalinya. Kepundan Kashmir mulai menggelegak. Gejalanya muncul pada 1987, sewaktu diselenggarakan pemilu. Banyak yang menilai ada kecurangan dalam pemilu itu. Mereka menganggap, pemerintah pusat memang hendak memberi keuntungan pada Partai Hindu. Kalangan muslim kecewa dan marah. Lalu mulailah kaum muda mereka menjadi ekstrem. Sikap anti-India berkobar lagi. Demonstrasi lantas bangkit di jalanan. Namun, yang paling menjadikan Pemerintah India berang adalah beraksinya gerilyawan kota. Mereka tak lagi berbasa-basi untuk menghabisi siapa saja yang dianggap mata-mata India. Brigadir Jenderal Jeremiah Enright, komandan pasukan pengawas PBB di Kashmir, menyebut bahwa suasana Srinagar memanas sejak enam bulan lalu. "Ketegangannya mulai memuncak bulan Desember-Januari." India menghadapi kerusuhan Kashmir dengan cara keras pula. Tentara -- terpaksa atau tidak -- menggunakan peluru menghadapi massa. Cara ini hanya menyulut aksi lebih dahsyat. Sayap militan dari kelompok Jammu-Kashmir Liberation Front (JKLF) dan Jamiat-Islami semakin aktif beraksi. Sedikitnya ada 30 kelompok militan yang bergabung di sana. Korban pun berjatuhan baik di lingkungan Islam maupun Hindu oleh peluru kedua pihak. Penguasa juga menggunakan cara lain untuk meredam kerusuhan. Mereka mulai memberlakukan larangan keluar rumah. Mula-mula masih longgar dengan hanya larangan keluar rumah 12 jam. Namun, dua pekan lalu, larangan berkembang sampai 24 jam. Alasannya, serangan bom dan tembakan dari para kelompok militan yang menyaru sebagai penduduk terus berkelanjutan. Larangan itu tak menghentikan kegiatan para gerilyawan. Di pinggiran Srinagar, mereka menggranat polisi yang sedang berpatroli. Sebuah klub terapung di danau luar kota Srinagar juga diledakkan. Sedang seruan untuk membakar pemberontakan terus dikumandangkan lewat pengeras suara di masjid-masjid. Mereka meneriakkan kata-kata azadi yang berarti merdeka. Yang menderita akibat tindakan pemerintah justru penduduk. Mereka telah menjadi korban peluru ngawur dari tentara. Kini mereka harus menanggung akibat pelarangan keluar rumah. Toko-toko tutup. Alat transportasi total berhenti. Akibat yang lebih lanjut bukan cuma penduduk kekurangan makanan. Banyak pasien -- kebanyakan wanita dan anak-anak -- yang meninggal karena kurang perawatan dan obat-obatan. Maka, ribuan dokter pun berang. Mereka menuntut agar Gubernur Jammu-Kashmir Jagmohan segera mencabut larangan itu. Bila tidak, mereka, kelompok dokter yang menyebut dirinya Komite Aksi Bersatu, mengancam akan mogok kerja. Kalau itu sempat terjadi, tak pelak lagi posisi Pemerintah India bakal semakin menjepit. Selain menggunakan cara-cara tak populer, India juga berupaya melakukan cara yang "lebih baik-baik". Di antaranya dengan membubarkan parlemen Jammu-Kashmir hasil pemilu yang selama ini menimbulkan ketidakpuasan muslim Kashmir. Selain itu, New Delhi juga mengirim tim pencari fakta, yang antara lain melibatkan bekas Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Mereka telah diterbangkan ke Srinagar. Namun, praktis tak menghasilkan apa-apa selain cuma terkurung dalam hotel. Bersamaan dengan memanasnya situasi Jammu-Kashmir, pecah pula perang kata-kata antara India dan Pakistan. Perdana Menteri India Vishwanat Pratap Singh menuduh Pakistan sebagai otak kerusuhan di Kashmir. Islamabad, kata Singh, berada di belakang pengeboman pada upacara keagamaan Hindu. Juga pada peristiwa pemotongan kepala sapi. Tindakan yang dimaksudkan sebagai penghinaan pada masyarakat Hindu. Sedikit banyak, Pakistan memang terlibat dalam pergolakan Kashmir. Namun, sulit dipercaya apakah Pakistan ikut campur sampai serinci itu. Di Pakistan memang pecah demonstrasi yang mendukung gerakan Kashmir. Di Karachi, patung Pratap Singh dibakar. Arak-arakan massa, buruh, dan pelajar, bergerak. Stiker bertuliskan "Time to win Kashmir" bertebaran. Perdana Menteri Benazir Bhutto -- hanya dua minggu setelah melahirkan -- segera mengadakan pertemuan dengan parlemen untuk membahas Kashmir. Benazir menyebut kerusuhan Kashmir sebagai "banjir darah di lembah permai". Lalu ia bertanya, "Dapatkah umat Islam dan Pakistan berdiam diri?" Insiden perbatasan pun sulit terhindarkan walaupun kedua pihak sama-sama tak berniat berperang. Misalnya dalam peristiwa Chakothi pada 11 Februari lalu, sekitar 100 orang menyeberang dari Azad Kashmir menuju Jammu-Kashmir. Tentara India segera menghujani mereka dengan peluru. Mereka menghambur balik. Beberapa waktu kemudian mereka mencoba menyusup lagi dalam jumlah yang lebih besar. Tentara kembali menembaki mereka. Menurut sumber Pakistan, sejumlah orang tewas. Insiden itu memang tidak terlalu serius. Tapi suasana jadi semakin genting. Pratap Singh menyebut Pakistan telah melatih para Kashmir militan dan mempersenjatainya. Hal yang memang sangat mudah dilakukan. Antara kedua Kashmir terentang 800 km perbatasan. Lebih-lebih mereka hingga saat ini masih dipertemukan oleh: bukan saja ikatan etnis dan agama, tapi juga kekerabatan dan pernikahan. Ketegangan perbatasan semakin terasakan walaupun Menteri Pertahanan Pakistan Ghulam Sarwar Cheema mengatakan bahwa pihaknya, "tak bermaksud bentrok dengan India." Namun mereka mengaku siap menghadapi apa pun yang terjadi. Kedua negara lalu saling gertak. Singh mengancam, "Kalau Pakistan tak berhenti memanasi Kashmir, mereka akan membayar dengan harga sangat mahal. India cukup punya kemampuan untuk membikin Pakistan rugi besar." Sekitar 300 ribu tentara India kini berada di dekat perbatasan. Pakistan tak kurang siaganya. Bahkan, keduanya sempat terlibat bentrokan kecil di Poona, yang menewaskan lima tentara Pakistan dan seorang tentara India. Pratap Singh bahkan mengatakan bahwa India bakal meninjau kembali kebijaksanaan nuklirnya, kalau Pakistan menyiapkan senjata serupa. Suasana tak menentu masih membalut lembah-lembah Kashmir yang merupakan salah satu lumbung padi paling penting di India. Ribuan tentara dan polisi terus menggeledah rumah demi rumah, mencari tokoh Kashmir militan. Sekitar 25 kota di Jammu-Kashmir disisir tentara tanpa kecuali. Sekurang-kurangnya 500 orang ditahan, didakwa sebagai penyulut kerusuhan. Di antara mereka terdapat 21 orang yang paling dicari. Sejumlah pegawai negeri yang dianggap mendukung gerakan militan dipecat. Korban sudah mencapai 300-an orang. Tapi belum ada tanda-tanda serangan gerilya dan kehadiran tentara di jalanan bakal terhenti. Sementara itu, para politikus Kashmir terus juga berjuang dengan caranya sendiri. Sebagian di antaranya menghendaki agar Jammu-Kashmir bergabung dengan Pakistan -- sesuatu yang memang diinginkan Pakistan. Sedikit yang ingin tetap menjadi bagian India. Kebanyakan mereka justru ingin agar Kashmir merdeka sendiri -- bebas dari India maupun Pakistan. Amanullah Khan, pimpinan JKLF yang berusia 55 tahun, menegaskan, pada mulanya "saya sendirian" menginginkan kemerdekaan Kashmir. Tapi kini, "tujuh puluh persen kalangan muda bersama saya." Sewaktu pertama mengemukakan gagasannya, Amanullah bahkan diadili Pakistan. Ia didakwa sebagai agen India, dan dihukum 15 bulan pada tahun 1971. Ironisnya, oleh India ia berulang kali diadili secara in absentia di pengadilan Srinagar. Dalam gagasan Amanullah, Kashmir akan menjadi sebuah negara seperti Swiss. "Kami akan bersahabat baik dengan India maupun Pakistan." Kaum Hindu pun akan diberi tempat yang baik di sana. Masalahnya, kapan keinginan itu bakal terpenuhi. Itu bukan hanya masalah antara masyarakat Kashmir dan pemerintah pusat India. Juga bukan cuma persoalan antara India dan Pakistan. Melainkan juga bagian dari politik dalam negeri India, dan politik dalam negeri Pakistan. Kata Aminullah, "Setiap orang menggunakan Kashmir." Misalnya di Pakistan. Menurut Amanullah, simpati sesungguhnya yang diberikan politikus Nawaz Sharief terhadap masyarakat Kashmir cuma sepuluh persen. "Sembilan puluh persen digunakan untuk melawan PPP (partai berkuasa)." Benazir pun menggunakan soal Kashmir untuk menekan pengaruh Sharief. Sedang di India, kata Amanullah, "Rajiv Gandhi, BJP, dan komunis juga menggunakan Kashmir untuk melawan V.P. Singh." Maka, muncul pendapat bahwa ancaman Singh terhadap Pakistan dalam soal Kashmir sesungguhnya lebih ditujukan untuk membungkam oposisi dalam negeri ketimbang sungguh-sungguh mengancam Pakistan. Masih adakah harapan damai di negeri permai itu? ZU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini