Bila sebagian saja lolos ikut Pemilihan Umum 2004, ratusan partai politik akan menyulap setiap tiang listrik di kota-kota besar Indonesia menjadi tali jemuran. Seluruh pelosok kota akan sesak dengan panji, spanduk, dan poster sekitar 230 partai yang berlomba. Belum lagi arak-arakan dengan kostum bergambar aneka tanda dan lambang.
Gambar kepala banteng, misalnya, hadir dengan aneka ekspresi di sepuluh partai yang mewarisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada zaman Sukarno. Yang paling mencolok, tentu saja, muncul dalam panji milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menang dalam pemilu lalu: banteng berkepala gemuk, bermulut putih, dan bertanduk melingkar dalam bingkai lingkaran merah.
PDI yang bukan Perjuangan, alias milik Soerjadi pada era Orde Baru, masih memiliki lambang lawas: kepala banteng tegak dalam bingkai segi lima. Tapi sembilan partai lain akan memiliki simbol yang nyaris sama, yakni kepala banteng dalam bingkai segi tiga seperti milik PNI asli. Mereka adalah Partai Nasional Indonesia, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, PNI Progressive, PNI Bersatu, PNI Bung Karno, Partai Nasional Demokrat, PNI Marhaenisme, dan Partai Nasionalis Bung Karno.
Sukses PDI Perjuangan dalam pemilu lalu tampaknya mengilhami perebutan para politisi nasionalis dalam menangguk suara tradisional PNI, yang hampir semuanya berpusat pada sosok Bung Karno.
Di kalangan partai Islam?tempat bulan sabit dan bintang menjadi logo dasar?perebutan juga terjadi. Dua partai mencoba mewarisi Syarikat Islam-nya H.O.S. Cokroaminoto, yang merupakan cikal bakal dari semua gerakan Islam di negeri ini: Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905. Simbol bulan sabit yang dulu menjadi logo Masyumi kini diperebutkan setidaknya empat kelompok: Masyumi Baru, Masyumi, Partai Bulan Bintang, dan Partai Umat Islam.
Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama sempalannya PPP Reformasi sama-sama berlogo Ka'bah. Partai Keadilan dan Partai Keadilan Sejahtera ibarat partai kakak-beradik dengan logo timbangan yang sudah distilisasi sedemikian rupa sehingga mirip dua bulan sabit. Bedanya, yang satu mengapit huruf alif, yang lain bulir padi.
Soal logo ini, jika mengacu ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, bukan soal sepele. Ia bisa menjadi batu sandungan di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, lembaga yang berwewenang menyatakan sah tidaknya satu partai. Logo sebuah partai politik, menurut Pasal 2 ayat 3c pada undang-undang yang baru diteken Presiden Megawati itu, tidak boleh sama "pada pokoknya atau keseluruhannya" dengan partai politik lain.
Siapa yang berhak menggunakan sebuah logo? "Yang pertama mendaftarkannya yang berhak," kata Hamid Awaludin, anggota Komisi Pemilihan Umum yang membidangi hukum dan partai politik. Itu pula yang menjadi acuan Departemen Kehakiman, lembaga yang melakukan verifikasi atas partai politik.
Tak pelak, urusan logo ini bisa mengundang sengketa antarpartai. PNI Progressive dan PNI Marhaenisme, misalnya, sama-sama mengaku memiliki hak paten atas logo kepala banteng dalam bingkai segi tiga. Ketua Umum PNI Progressive, Sadar Sibarani, mengaku memperoleh hak paten atas logo itu sejak 22 Juli 1999, kendati partainya sendiri didaftarkan pada 2001 dan baru disahkan pada Maret 2002.
Elfiyadi, Ketua Umum PNI Marhaenisme, menganggap logo PNI Progressive itu tidak sah. "Mana bisa Anda belum lahir tapi sudah ada akta kelahirannya," katanya. Ia sendiri sudah mendaftarkan partainya pada 2001. Logo kepala banteng itu, kata Elfiyadi, diwarisinya dari PNI Supeni yang tak bisa ikut Pemilu 2004 karena gagal melewati syarat jumlah suara pemilu lalu. Tapi kedua PNI itu lupa, ada sembilan partai lain yang juga berlogo banteng.
Ada pula yang mengabaikan aturan tentang logo partai itu. "Ini kan bukan lembaga dagang," kata Eros Djarot, Ketua Partai Nasionalis Bung Karno. "Yang berhak atas logo banteng, ya Bung Karno." Atas dasar itu, Eros merasa tak perlu memiliki hak paten. Lagipula, menurut dia, logo partai miliknya lain dari yang lain. "Bantengnya kan keluar," katanya.
Sependapat dengan Eros, Ryaas Rasyid, Presiden Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, menganggap aturan tentang logo partai diilhami egoisme partai besar. "Kalau sistemnya itu proporsional terbuka seperti Pemilu 2004, tidak ada urusannya dengan lambang. Yang muncul untuk dicoblos di pemilu kan nama-nama manusia dengan fotonya," kata Ryaas.
Jadi, para banteng tetap bisa berdampingan di tali jemuran, pada aneka kaus di musim kampanye.
Tomi Lebang, Anggoro Gunawan (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini