DERU suara mesin traktor seperti mengiris liang telinga. Hari masih pagi, tapi keriuhan sudah menyelubungi wilayah Bukit Dago Pakar di Bandung Utara, Jawa Barat. Berbagai kendaraan berat berseliweran membongkar, mengaduk, dan meratakan tanah. Bukit dipapras, lembah ditimbun, tujuannya satu: meluaskan tegakan resor yang perlahan-lahan memadati kawasan ini.
Dago Pakar sudah berubah. Tak ada lagi bukit-bukit hijau dengan aneka ragam pohon besar yang berdiri tegak di punggungnya. Kini, jalan aspal membelah-belahnya. Kalau malam tiba, sejuta kerlip lampu memandikan wilayah ini dengan cahaya, memanggil para pengunjung menikmati makanan, minuman, atau pemandangan di deretan kafe yang terus tumbuh.
Bandingkan wajahnya lebih dari tujuh tahun lalu saat kehijauan masih memonopoli daerah ini. Ketika sungai-sungai kecil berair jernih bisa dijumpai dengan mudah di wilayah yang membentang dari Bandung Utara dan menghubungkan pusat kota dengan daerah wisata Lembang itu. Hamparan tanah dan pohon di lokasi sejuk ini kini telah berganti dengan aspal dan beton.
Kawasan Dago Pakar hanyalah salah satu sudut Kota Bandung yang berubah. Pembangunan melanda hampir semua wilayah Kota Kembang, dan roda yang mengubah wilayah alami Bandung ini berputar makin cepat dalam setahun belakangan. Wilayah kota, misalnya, kini semakin sesak dengan pembangunan jalan tol, jejeran mal-mal dan pusat perbelanjaan baru. Sebut saja nama proyek jalan tol dalam kota Pasteur-Surapati dan proyek mal terbesar, Bandung Super Mal. Yang terakhir ramai diributkan adalah rencana pengelolaan wilayah paru-paru kota di Babakan Siliwangi oleh beberapa investor. Salah satu calon kuat investor dalam proposalnya menawarkan pembangunan hotel di wilayah yang terdapat mata air abadi ini.
Proyek yang terakhir ini menimbulkan perdebatan keras sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung sampai membentuk Panitia Khusus (Pansus) II Babakan Siliwangi. Rencananya, awal Januari ini tim Pansus akan kembali menggelar kasus ini. Sikap Pansus hingga saat ini, seperti yang diisyaratkan oleh Ketua Pansus, Idris Yusuf Lubis, adalah agar tak sebatang pohon pun ditebang seandainya ada investor yang ditunjuk menjadi pengelola Babakan Siliwangi. Para seniman bahkan mengancam akan merantai dirinya di pohon-pohon Babakan Siliwangi kalau pembangunan hotel jadi dilakukan.
Pembangunan Dago Pakar, pembangunan jalan tol dalam kota, dan pendirian mal serta pusat belanja di Bandung, yang tengah ngageulis untuk menjadi sebuah metropolitan yang cantik, memang tak bisa dihindari. Sayangnya, pembangunan itu tak menghiraukan penataan ruang dan mengabaikan aspek lingkungan. Dari presentasi pengelolaan Babakan Siliwangi oleh para investor, misalnya, terungkap bahwa pihak pemerintah Kota Bandung tidak punya rencana yang jelas mengenai pengelolaan Babakan Siliwangi. Akibatnya, menurut Idris, pihak eksekutif cuma menjadi perpanjangan keinginan para investor. ?Eksekutif hanya menyodorkan proposal yang diajukan investor,? tuturnya.
Carut-marut dan ketiadaan rencana ini tidak dianggap aneh oleh pakar lingkungan Institut Teknologi Bandung, Arwin Sabar. ?Bandung tidak pernah memiliki konsep penataan wilayah dan perencanaan pembangunan secara serius dan konseptual yang mengedepankan persoalan lingkungan,? ujarnya. Ia menunjuk banyaknya rencana pembangunan yang gagal dan tidak efektif serta berdampak serius pada berubahnya fungsi lahan-lahan konservasi. Perubahan fungsi lahan hijau ini, menurut Arwin, sudah memberikan dampak yang nyata, yaitu ikut berubahnya cuaca dan iklim di Kota Bandung. Suhu udara rata-rata kota ini naik hingga menjadi 25 derajat Celsius. Padahal beberapa tahun lalu suhu rata-rata kota berjuluk Parijs van Java ini cuma 12-16 derajat Celsius.
Selain tak ada konsep penataan wilayah, pejabat pun mengabaikan persyaratan yang diminta dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)?sebuah tameng untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pembangunan. Arwin, yang pernah menjadi Kepala Tim Pengkajian Amdal Bandung Utara, mengambil contoh tak diperhatikannya persyaratan dalam amdal pembangunan Dago Pakar, antara lain dalam penggerusan bukit, tebing, dan perataan lahan konservasi air.
Akibatnya, kawasan ini telah kehilangan kemampuan daya resap airnya. Dari syarat ideal kawasan Dago yang merupakan wilayah resapan air hujan, kini hanya tinggal 30-40 persen air yang bisa diserap. Selebihnya, air akan melimpas dan mengalir ke dataran yang lebih rendah, yakni cekungan Bandung. ?Ini indikasi kuat adanya ancaman serius terhadap kondisi lingkungan Bandung,? ujar Arwin. Mulai dari bencana tanah longsor, banjir yang bisa menenggelamkan Kota Bandung, hingga krisis air bersih.
Bagaimana reaksi pengelola Resor Dago Pakar? Mereka ternyata tenang-tenang saja. Menurut Executive Sales Manager Resor Dago Pakar, Nitta Fujitamara, pihaknya berani membangun Bukit Dago Pakar karena sudah mengantongi izin amdal delapan tahun lalu. ?Tidak gampang, lo, mendapatkan izin ini,? ucapnya. Setelah izin di tangan, pihak pengembang baru berani memulai pembangunan resor-resor mewah di punggung Dago Pakar. Menurut Nitta, bangunan dibuat dengan tidak mengubah topografi atau kontur tanah. Selain itu, untuk resor yang berada di ketinggian 800-1.200 meter dari permukaan laut, disediakan ruang terbuka untuk halaman rumput dan tanaman.
Adanya ruang terbuka hijau ini, menurut Kepala Dinas Tata Kota Bandung, Yosep Djunaedi, merupakan syarat agar izin pembangunan bisa turun. ?Izin diberikan kepada mereka yang mau berkomitmen menyisakan 80 persen lahannya untuk wilayah hijau dan resapan air,? katanya. Sejauh mana hal ini dipatuhi di lapangan, Yosep mengaku tidak mengetahuinya. Tak bisa dimungkiri, lahan terbuka hijau memang masih ada di sana. Yang berubah adalah jenisnya. Sementara dulu ia berupa perbukitan dengan vegetasi alam yang beraneka ragam termasuk sungai-sungai kecil, kini berupa hamparan rumput dan tanaman hias belaka, yang kapasitas penyerapan airnya jelas berbeda.
Pesatnya pembangunan di lingkungan Dago Pakar ini menjadi perhatian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Bandung. Menurut Ketua Bapedalda Kota Bandung, Edi Siswadi, di wilayah ini sudah terjadi perubahan fungsi kawasan resapan air. ?Kerusakan lingkungannya secara kasatmata semakin bertambah,? kata Edi. Tanpa banyak publikasi, sebuah kajian amdal terbaru sedang dilaksanakan untuk wilayah Dago Pakar.
Kendati kajiannya masih berlangsung, Edi menyebut bahwa pembangunan resor dan permukiman di kawasan Dago Pakar banyak yang menyimpang dari rencana umum tata ruang dan tata wilayah ataupun rencana detail tata ruang. Penyimpangan ini diperkirakan mencapai lebih dari 30 persen.
Sejak semula, pihak Bapedalda, menurut Edi, menginginkan kawasan perbukitan tersebut ditetapkan secara tegas sebagai lahan konservasi alam. Kalaupun mau dibangun, bisa dijadikan kawasan produksi dan wisata agrobisnis. Sedangkan untuk pembangunan resor dan permukiman yang telanjur dilakukan, sebaiknya disertakan syarat-syarat lingkungan yang ketat. Antara lain, ada klausul komitmen moral untuk menyisakan lahan hijau 80 persen dan membuat bidang resapan air. Desain rumah pun harus disesuaikan dengan fungsi konservasi. Yang paling penting, kata Arwin, semua aturan ini harus dilengkapi aturan hukum yang mengatur sanksi bagi para pelanggarnya.
Semestinya, ucap Arwin, kota yang terus berkembang ini mempunyai sebuah konsep penataan kota berwawasan lingkungan yang mengikutsertakan wilayah-wilayah penyangga di sekeliling Bandung. Jika tidak, Bandung hanya akan menjadi sebuah kota metropolitan yang setiap saat siap berubah menjadi kubangan air cokelat dalam sebuah kolam raksasa.
Agus Hidayat, Bobby Gunawan, Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini