Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Barisan di Belakang Pak Dirman

Peran strategis Soedirman ditopang oleh kecakapan perwira seperti Nasution dan Simatupang. Sebagian besar eks KNIL.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOBIL tua itu meluncur dari Jalan Merapi, Yogyakarta, membawa Tahi Bonar Simatupang. Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia itu hendak menemui Panglima Besar Soedirman di kediamannya di Bintaran. Pagi itu, 18 Desember 1948, Soedirman masih terbaring sakit di ranjang kamarnya.

Di hadapan Soedirman yang gering, Simatupang melaporkan situasi genting Republik. Kerajaan Belanda terus mendesak posisi Indonesia muda yang baru berusia tiga tahun. Intensitas lobi internasional meningkat. Walau dalam masa gencatan senjata, tersebar kabar santer Belanda hendak melancarkan aksi militer lagi.

Mendengar laporan Simatupang, Soedirman menyatakan siap memegang kembali komando tertinggi militer Indonesia. "Tapi tentu ini tindakan psikologis. Sebab saat itu Pak Dirman masih jauh dari sembuh," demikian Simatupang mengisahkan pertemuan tersebut dalam buku Laporan dari Banaran.

Malamnya, T.B. Simatupang menghadiri sebuah pertemuan informal dengan sejumlah anggota staf Komisi Tiga Negara di Hotel Kali-urang. Mereka mempersiapkan perundingan lanjutan setelah Perjanjian Renville berantakan. Di sela makan malam, siaran radio Jakarta mengabarkan bahwa esok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr L.J.M. Beel akan menyampaikan pidato penting.

Keesokan harinya, 19 Desember 1948, Simatupang tak sempat mendengar pidato Beel. Dia sibuk mengatur pertahanan Yogyakarta. Hari itu Belanda menyerbu. Setelah dibombardir selama tujuh jam, Ibu Kota jatuh. Sukarno-Hatta dan sejumlah pemimpin lainnya ditawan. Soedirman lolos dan ditandu meninggalkan Yogya. Sejak itulah perang gerilya dimulai.

Bersamaan dengan gerak mundur Pak Dirman, semua satuan tentara nasional menyusup ke kantong-kantong gerilya atau wehrkreise. Ini strategi yang sudah disiapkan lama. Simatupang telah menetapkan sejumlah tempat di luar kota sebagai wehrkreise. Misalnya Desa Dekso di barat daya Yogyakarta. Di tempat-tempat itu, pasukan induk akan berkumpul untuk menggelar serangan balasan.

* * *

SIMATUPANG adalah bagian penting dari kisah kepahlawanan Soedirman. Ketika ditemui pada September lalu, pengamat militer Salim Said menjelaskan bahwa kebesaran Soedirman, sebagai panglima militer Indonesia pada masa-masa genting Republik muda, sedikit banyak ditopang oleh kecakapan orang-orang di belakangnya.

Selain Simatupang, di jajaran senior ada Oerip Soemohardjo. Di level menengah ada M.T. Haryono dan Gatot Soebroto. Mereka didukung oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Abdul Haris Nasution. "Soal-soal teknis militer itu pekerjaan Nasution. Dia adalah pemikir utama tentara kita," kata Salim.

Bukan kebetulan kalau Simatupang dan Nasution berangkat dari pendidikan militer yang sama, Koninklijke Militaire Academie. Ini sekolah calon perwira cadangan tentara Belanda KNIL di Bandung.

Ketika diwawancarai Tempo pada awal November 1989, Simatupang mengatakan bahwa pelajaran di akademi itu sama persis dengan akademi serupa di Negeri Belanda. Buku-buku tentang pokok-pokok ilmu perang, strategi, dan taktiknya disajikan dalam bahasa Belanda. "Saya termasuk taruna yang terbaik di antara orang-orang Indonesia dan Belanda," katanya.

Di luar kelas, dua pemuda itu kerap membuat diskusi kecil. Temanya bukan sekadar mengenai kemiliteran. Kedekatan mereka dengan sejumlah tokoh pergerakan membuat mereka paham terhadap gambaran peta politik saat itu. "Sementara yang lain-lain bicara tentang ketentaraan saja, saya dan Simatupang sudah bicara tentang perjuangan bangsa," kata Nasution kepada Tempo, ketika diwawancarai pada akhir Maret 1989.

Ketika Jepang menyerang pada Maret 1942, mereka diberhentikan dari sekolah dan menjadi bagian dari pasukan Belanda. Nasution ditempatkan di Jawa Timur, sementara Simatupang menjadi anggota staf Resimen Pertama di Jakarta.

Pada masa itu, Simatupang sempat berkeliling Jawa untuk melihat situasi. Agar tak dicurigai, dia menyamar menjadi penjual buku pelajaran Jepang. Di ujung perjalanan, dia menyimpulkan: Belanda sudah habis dan Jepang tak dicintai rakyat.

Kesimpulan ini dia didiskusikan dengan banyak tokoh pergerakan. Di Jakarta, Simatupang banyak berbicara dengan Sutan Sjahrir, yang saat itu sedang menggerakkan organisasi bawah tanah menentang Jepang. Semua itu membentuk cara berpikir Simatupang tentang peran militer dan negara demokrasi. "Percakapan dengan Sjahrir mengubah hidup saya, membuka pandangan tentang perjuangan antara demokrasi dan fasisme," kata Simatupang.

* * *

Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat bersorak-sorai. Para perwira eks KNIL pun bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat, cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada hari-hari itu, Nasution dan Simatupang merintis karier sebagai perwira militer Republik yang kelak akan amat berperan membantu Panglima Soedirman.

Setelah Proklamasi, Simatupang ditarik oleh Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Oerip Soemohardjo untuk membantunya di Yogyakarta. Di sana posisinya terus menanjak. Kecakapan Simatupang membuat dia dijuluki "kamus kemiliteran".

Ketika dia ditunjuk menjadi Kepala Bagian Organisasi Markas Tertinggi dan anggota Dewan Pertahanan Negara, Simatupang sudah dalam posisi strategis di barisan elite militer.

Sedangkan A.H. Nasution ditempatkan di Komandemen Jawa Barat di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Kepemimpinannya diuji ketika sebagai Kepala Divisi III Nasution harus berada di garda terdepan menghadapi pasukan Sekutu yang merangsek ke Bandung, pertengahan Maret 1946.

Ketika itu Nasution mengambil keputusan untuk bertahan sambil mundur. Kepada semua tentara di Bandung, dia mengumumkan sebuah maklumat. Isinya, semua pegawai dan rakyat harus keluar dari kota sebelum pukul 24.00 hari itu. Tentara Indonesia akan membakar semua bangunan. Bumi hangus. Malam itu Parijs van Java jadi kota lautan api.

Banyak perwira militer dan tokoh pergerakan kala itu terkejut dengan strategi Nasution ini. Tak sedikit yang mempertanyakan sikapnya yang tidak berusaha mempertahankan Bandung sampai titik darah terakhir.

Pada Mei 1946, dua bulan setelah peristiwa pembakaran Bandung itu, pembelaan datang dari Oerip Soemohardjo. Dia memuji keputusan Nasution sebagai langkah terbaik. "Pak Oerip dapat menerima rencana saya untuk meningkatkan pertempuran di luar kota," tulis Nasution dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.

Walhasil, tatkala divisi militer di Jawa Barat dilebur jadi satu, Nasution dipercaya menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Pada Juli 1947, dia kembali berada dalam situasi pelik, ketika harus memimpin pasukan Indonesia menghadapi agresi militer Belanda pertama.

Berbekal pengalaman Bandung Lautan Api setahun sebelumnya, kali ini Nasution mengambil strategi serupa, tapi dalam skala lebih masif. Dia menggerakkan rakyat untuk jadi pejuang di garis depan, membuat kantong-kantong gerilya seraya menerapkan taktik bumi hangus. Sebuah taktik perang rakyat semesta.

Pengalaman militer Nasution dalam kecamuk pertempuran inilah yang menjadi embrio strategi perang gerilya yang dilancarkan Soedirman di Yogyakarta, setahun kemudian.

Menurut Simatupang, Nasution punya catatan detail atas apa yang terjadi selama agresi militer pertama itu. Dia merangkumnya dalam buku Pokok-pokok Gerilya, yang kelak menjadi pegangan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

Analisis ini juga yang menjadi dasar persiapan tentara menghadapi agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948. Ketika itu Belanda memang berhasil merebut Yogyakarta. Tapi Soedirman dan para perwiranya sudah siap menyerang balik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus