Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghormatan Terakhir di Semaki
Dengan separuh paru-paru, karena yang lain rusak terkena tuberkulosis, Soedirman terus bergerilya. Dirawat di rumah sakit dengan memakai nama samaran.
BERJALAN tertatih-tatih, Letnan Jenderal Soedirman memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya. Soedirman pulang setelah dua pekan meninggalkan istri dan enam anaknya untuk memimpin operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Malam itu, akhir September 1948, di kediamannya yang kini menjadi Museum Sasmitaloka, Soedirman terlihat ringkih. Kepada istrinya, dia mengeluh tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman rupanya begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi di antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia itu nelangsa.
"Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu," ujar Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita dari ibunya. Teguh waktu itu belum lahir. Ia lahir pada pengujung 1949.
Malam itu, kendati kondisi kesehatannya turun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar ia mandi air hangat tak diindahkan. Menurut Teguh, inilah awal petaka bagi ayahnya. "Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur," katanya.
Ketika hari ulang tahun tentara tiba, 5 Oktober 1948, Soedirman, yang masih sakit, mengunjungi Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya. Di sana ia melakukan tabur bunga ke pusara anggota tentara korban pemberontakan PKI Madiun. Sepulang dari tabur bunga, kesehatannya memburuk.
Kendati ia sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa dihilangkan. Sesekali, sembari terbaring, dia mengisap rokok kretek. Istrinya tak berani melarang. "Bapak memang perokok berat," ujar Teguh.
Karena Soedirman tak kunjung pulih, menurut Soekanto S.A. dalam bukunya, Perjalanan Bersahaja Jenderal Soedirman, diutus sejumlah dokter tentara memeriksa kesehatannya. Tim dokter muda itu mendiagnosis ia menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru.
Keluarga Soedirman meminta dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay, melakukan pemeriksaan ulang. Keluarga tak percaya karena Soedirman tak punya riwayat penyakit itu. Tapi hasil pemeriksaan dua dokter tersebut tak jauh beda dengan pendahulunya. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogya.
Soegiri, bekas ajudan Soedirman, menulis bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit Katolik itu. Soedirman, tulis Soegiri (tulisannya ada dalam jurnal yang tersimpan di Museum Sasmitaloka), dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang terdapat di bagian depan.
Soedirman, menurut Soegiri, terkena pulmonary tuberculosis. Penyakit itu diketahui Soegiri dari dokter yang merawat Soedirman. Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai ke Yogya, kata dia, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Jakarta, kala itu, diduduki tentara sekutu.
Karena Soedirman butuh penanganan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk menyelamatkannya dengan cara membuat satu paru-parunya tak berfungsi. Komplikasinya, kata Soegiri, memang sudah sedemikian rupa, sehingga membuat dokter menempuh cara tersebut.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernapasan. Adapun, menurut Teguh, ibunya diberi tahu dokter perihal operasi itu. "Sejak itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-parunya," katanya.
Setelah operasi, Soedirman diminta beristirahat lebih lama. Ia juga dilarang keras merokok. Menurut Soegiri, ketika hari jadi ke-25 rumah sakit itu, Soedirman khusus menulis sajak sebagai kado ulang tahun. Sajak lima alinea itu berjudul "25 Tahun Rumah Nan Bahagia". Isinya, ucapan terima kasih Soedirman karena mendapat perawatan yang baik selama di sana. Tulisan asli sajak itu kini diletakkan di bawah monumen Jenderal Soedirman di area Panti Rapih. Monumen itu tak jauh dari kamar Soedirman dirawat.
Sebulan melakukan pemulihan di rumah sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran. Ketika di rumah, kata Teguh, Soedirman pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin merokok. Perilaku ini, lagi-lagi, justru memperburuk kesehatannya. "Bapak pernah muntah darah," ujar Teguh.
Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur. Sebelumnya, sepulang dari Panti Rapih, ia selalu terbaring di ranjang. Hari itu, kepada istrinya, Soedirman berkata memiliki firasat Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti: Belanda membombardir Yogya, yang saat itu ibu kota Indonesia. Ia pun memilih mengakhiri cutinya.
Dengan diusung tandu, hampir delapan bulan, Soedirman keluar-masuk hutan memimpin gerilya dari luar Yogya. Pernah suatu ketika ia tidak makan selama lima hari. Dengan perut kosong, Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit. Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari Solo.
Lantaran kesehatannya di medan gerilya memburuk, ditandu anak buahnya, pada 10 Juli 1949, Soedirman dibawa masuk Yogya. Dia langsung diboyong ke Panti Rapih. Kala itu Yogya sudah dalam kekuasaan Belanda.
Rika, suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat bersama jenderal besar ini. Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama samaran: Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat sebuah surat kabar yang naskahnya kini tersimpan juga di Museum Sasmitaloka. Soedirman memakai nama samaran supaya keberadaannya tak diketahui Belanda.
Di Panti Rapih, Soedirman masih memimpin rapat kabinet bersama Presiden Sukarno membahas upaya mempertahankan kemerdekaan. Hanya dua pekan ia dirawat di sana. Setelah itu, Soedirman kembali ke rumah.
Setelah Belanda bersedia melakukan gencatan senjata pada Oktober 1949, kesehatan Soedirman kian mencemaskan. Dokter memintanya kembali ke Panti Rapih. Tapi ia memilih beristirahat di wisma tentara di Badakan, Magelang.
Tapi tetirah sejuk dengan pemandangan Gunung Sumbing itu tak bisa membuat kesehatan Soedirman membaik. Tiga bulan di sana, ia kerap muntah darah. Juga di tempat tidur. Dokter Husein dari Rumah Sakit Magelang bolak-balik memeriksa dan menungguinya. "Saat itu, Bapak tinggal tulang dan kulit saja," kata Teguh.
Seolah-olah mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya. Seperti kepada para petinggi tentara, ia juga memberi wejangan kepada istri dan anak-anaknya.
Tak sepenuhnya pertemuan dengan keluarganya diisi wejangan. Soedirman juga sempat bergurau. Kepada keluarganya, misalnya, ia menyatakan sebenarnya ingin seperti Lurah Pakis, kenalannya, yang hidup sampai tua dan bisa menimang cucu.
Pada Senin, 29 Januari 1950, Soedirman kembali dikelilingi istri dan anak-anaknya. Kondisi tubuhnya makin lemah. Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar. Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dikasihinya tersebut menuntunnya membaca kalimat tauhid. "Satu kalimat terucap, Bapak kemudian mangkat," kata Teguh.
Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun. Esok harinya, ribuan orang ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari itu hujan turun lebat mengguyur Kota Yogya. Tembakan salvo satu regu tentara di pemakaman Semaki mengantar jenderal besar itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo