Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA petikan gitar lute mengalun perlahan-lahan. Kemudian menyusul bunyi tiupan flute, gesekan violin dan viola gamba, serta tuts-tuts clavichord. Di antara itu, bernyanyilah seorang perempuan dengan nada suara soprano dan seorang pria dengan suara tenor. Kolaborasi semuanya menghasilkan musik barok yang syahdu. Seakan-akan ingin membawa kita ke zaman barok sekitar empat abad lalu, sebuah masa setelah zaman renaisans dan sebelum zaman klasik di Eropa.
Selama tujuh menit, grup ensambel asal Prancis, La Baroque Nomade, membawakan komposisi berjudul Mazmur Jang Pertama/Psaume 1 sekaligus mengawali penampilan mereka dalam konser bertajuk "World Premiere Tour: Batavian Baroque Nomade" di Usmar Ismail Hall, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Ini merupakan bagian dari rangkaian tur La Baroque Nomade selama enam hari di Indonesia. Sebelum di Jakarta, grup ensambel yang berfokus pada musik barok itu sudah tampil di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dalam konser satu setengah jam itu, La Baroque Nomade menggandeng Indonesian National Orchestra (INO) Ensemble, grup ensambel Indonesia pimpinan komponis Franki Raden. Pada paruh pertama konser, La Baroque Nomade membawakan 10 komposisi barok. Beberapa di antaranya cukup legendaris, antara lain Nasce la Pena mia karya komponis Jerman, Johann Schop (1590-1667); Nigra Sum karangan komponis Italia, Tarquinio Merula (1595-1665); dan Fantasia per Basso solo gubahan komponis Spanyol, Bartolome de Selma y Salaverde (1580-1640).
Bukan karya-karya komponis kenamaan itu yang menjadi primadona dalam konser tersebut. Adalah lagu pembuka, Mazmur Jang Pertama/Psaume 1, serta dua lagu lainMazmur Jang Ka CXXXVII/Psaume 137 dan Mazmur Jang Ka CL/Psaume 150yang mencuri perhatian. Sebab, tiga komposisi itu belum pernah dimainkan di mana pun. Melalui rangkaian konser di Indonesia, La Baroque Nomade membawakannya untuk pertama kali di depan publik. "Yang kami tampilkan adalah musik barok kuno dari Batavia," kata pentolan grup itu, Jean-Christophe Frisch. "Kami memainkan musik yang tercipta pada 300 atau 400 tahun lalu."
Tiga komposisi barok itu berasal dari sebuah manuskrip kuno yang ditemukan beberapa tahun lalu oleh David Irving, seorang violis sekaligus pengajar musikologi di University of Melbourne, Australia. Irving juga dikenal sebagai pakar musik barok Asia Tenggara dan pemerhati warisan sejarah Jawa. Manuskrip tersebut memuat sejumlah komposisi barok tanpa nama pengarang. Lagu-lagunya diambil dari Kitab Mazmur Daud (Psaumes de David) dengan musik dan lirik berbahasa Melayu. "Melodinya ditampilkan dalam bahasa Melayu," ujar Frisch.
Manuskrip kuno itu dicetak di Bataviasekarang Jakartadan diduga ditulis pada 1703-1735. Frisch menyebutkan keberadaan komposisi Psaumes de David tersebut tak lepas dari peran orang-orang Belanda dan Portugis yang mengembangkan musik barok di Hindia Belanda. Merekalah yang mengajarkan musik asal Eropa itu kepada penduduk pribumi. Walhasil, banyak orang Jawa yang memainkan musik barok. "Orang-orang Jawa dikenal sangat berbakat memainkan musik-musik Barat," ucapnya.
La Baroque Nomade bisa membawakan komposisi Psaumes de David setelah Frisch berdiskusi dengan Irving dan konduktor Batavia Madrigal Singers, Avip Priatna, pada awal 2017. Hasil diskusi kemudian mengantarkan La Baroque Nomade menampilkan komposisi barok dari Batavia itu dalam sebuah konser tur di Indonesia. La Baroque Nomade memainkannya dengan lirik berbahasa Melayu, Portugis, dan Prancis. "Semua instrumen musik kami sama dengan yang dipakai musikus di Indonesia pada masa itu," ucap Frisch.
Adapun paruh kedua konser La Baroque Nomade di Usmar Ismail Hall lebih didominasi penampilan INO Ensemble. Mula-mula, grup itu memainkan lagu ciptaan Franki Raden, Voice of Diversity. Selama 15 menit, bunyi dari berbagai alat musik tradisional Nusantaraantara lain kendang, rebana, dan gongbersahutan menciptakan sebuah harmoni. Semuanya berpadu dalam tempo sedang pada bagian awal, kemudian berubah menjadi semakin tinggi pada bagian akhir.
Setelah itu, Franki dkk tampil bersama La Baroque Nomade. Mereka memainkan Questa Dolce Sirena. Kolaborasi keduanya boleh dibilang berhasil membawakan komposisi karya komponis Italia, Giovanni Giacomo Gastoldi (1550-1622), itu. Selama enam menit, bunyi flute, violin, viola gamba, gitar renaisans, dan clavichordserta vokal soprano dan tenorterasa begitu menyatu dengan bunyi instrumen pukul seperti kendang dan rebana. Suaranya menyuguhkan musik barok Eropa dalam nuansa baru: khas Melayu.
Tapi keberhasilan itu agaknya gagal diulangi dalam kolaborasi kedua, ketika mereka membawakan lagu karangan Franki, Homage to the Ancestors. Pada beberapa bagian, kedua grup itu tampak tidak padu sehingga bunyi dari tiap musik terdengar berdiri sendiri-sendiri. Instrumen barok juga kerap menunggu untuk masuk supaya bisa klop dengan irama perkusi. Sebaliknya, instrumen perkusi beberapa kali berupaya memberi peluang supaya musik barok bisa berpadu dalam irama. Puncaknya terjadi pada bagian akhir ketika pukulan rebana terdengar ketinggalan menuntaskan lagu.
Franki mengatakan kolaborasi itu tidak mudah lantaran dua musik tersebut memiliki banyak perbedaan. Salah satunya soal karakter alat musik. Menurut dia, musik barok lebih banyak menggunakan instrumen melodi, sedangkan musik tradisional Nusantara lebih banyak mengandalkan instrumen pukul atau perkusi. Karena itu, menciptakan keseimbangan di antara semua instrumen musik tersebut menjadi persoalan tersendiri. "Keseluruhan balance-nya kan harus bagus. Itu tantangan banget," tutur Franki.
Kendati begitu, Franki mengungkapkan, kolaborasi La Baroque Nomade dengan INO Ensemble sesungguhnya telah membuktikan bahwa dua musik dengan karakter dan nature berbeda bisa dipadukan dalam satu pertunjukan. Franki menyebutkan satu yang bisa menerobos batas perbedaan tersebut adalah bunyi atau suara. "Musik itu hanya soal sound. Dan sound bisa disatukan di seluruh alam semesta," ucapnya. "Sound is universal language."
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo