Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWARAN itu datang ketika dia sedang galau. Kasmito Tina tengah bingung memutuskan apakah berhenti atau meneruskan usaha berjualan komputer yang tidak optimal selama bertahun-tahun. Panggilan telepon dari Asosiasi Kopi Indonesia pada 2008 ia anggap sebagai peluang bisnis baru. "Tiba-tiba ada yang menghubungi saya, menawarkan seminar dan pertemuan dengan petani serta pedagang kopi," kata pria 50 tahun itu kepada Tempo, Senin dua pekan lalu. Kini, ia dikukuhkan sebagai salah satu Q grader kopi pertama di Indonesia, bersama 17 murid lulusan lain seminar itu.
Tak banyak yang berprofesi sebagai Q grader. Hanya sekitar 5.000 penduduk bumi yang menyandang titel itu. Sebanyak 112 di antaranya orang Indonesia. Q grader adalah pencicip kopi yang kemudian memberikan rating (nilai) kualitas kopi tersebut. Penilaian itu kemudian menentukan kopi yang mereka cicipi layak dikategorikan kopi spesialti atau bukan. "Sederhananya, Q grader itu menilai cita rasa kopi," ujar Kasmito.
Kopi dinilai dari aroma, busa, keasaman, keseimbangan rasa, dan sisa rasa di lidah. Namun seorang Q grader tak cuma mengandalkan indranya. Heri Setiadi, teman seangkatan Kusmito di seminar itu, mengatakan seorang Q grader juga harus menilai kualitas biji kopi. Jika ditemukan biji yang hangus atau kerikil di kumpulan biji yang akan dites, kopi tersebut akan menerima rating jelek. "Seorang Q grader juga melihat apakah ada cacat pada kopi," ujar pemilik kedai kopi La Tazza itu.
Kopi harus memiliki skor di atas 80 untuk mendapat rating spesialti. Jika nilainya di bawah itu, kopi tersebut akan masuk ke kelas consumer grade alias biasa-biasa saja. Karena Q grader adalah pihak yang paling berhak memberikan rating, banyak petani atau pengusaha pertanian kopi menyewa jasa mereka untuk menguji hasil panen. Para Q grader biasanya didatangkan langsung ke lokasi perkebunan, bukan biji kopi yang dikirimkan ke Q grader. "Nanti kopinya pun kami seduh sendiri, bukan dibuatkan. Dan penilaian dilakukan bersama-sama, tidak bisa sendirian," ujar Heri.
Ted Lingle adalah instruktur kopi asal California yang pertama kali membawa ilmu Q grader ke Indonesia. Dalam seminar yang digelar pada 2008 itu, Lingle mengajari 18 peserta seni menikmati kopi. Ia, misalnya, sampai menghabiskan satu hari penuh hanya untuk mengajarkan mencicipi (cupping) kopi. "Kami sendiri saat itu bingung kenapa sampai satu hari penuh hanya untuk belajar cupping," ucap Mira Yudhawati, teman seangkatan Heri dan Kasmito.
Saat itu belum banyak yang mengenal teknik dan manfaat cupping. Di kemudian hari, mereka akhirnya paham. Menilai cita rasa kopi tak bisa hanya disesap satu atau dua kali saja. Cupping adalah teknik dasar dan yang paling utama untuk menjadi Q grader. Selain itu, latihan cupping memakan waktu lama agar calon Q grader bisa menghafal rasa kopi yang jelek dan yang bagus.
Kini, jika ingin menjadi seorang Q grader, seseorang harus merogoh koceknya minimal Rp 17 juta untuk biaya pelatihan. Padahal, saat seminar pada 2008 itu, Heri dan kawan-kawan hanya membayar Rp 5 juta. Mereka yang sudah mengikuti kursus akan memegang sertifikat dari Specialty Coffee Association. Seorang Q grader wajib memiliki sertifikat ini. Dampaknya sangat dirasakan oleh Heri, Kasmito, dan teman seangkatannya yang lain. Posisi mereka lebih "terhormat" karena diakui sebagai jagoan pencicip kopi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo