Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air terjun kecil setinggi sekitar lima meter itu berpangkal pada sebuah sungai luas yang dangkal dan mengalir di atas sebuah batu monolit yang luar biasa besar. Batu itu praktis terbentang dari satu sisi ke sisi lain sungai. Luasnya sekitar 11 x 12 meter, terbujur utara-selatan.
Air mengalir dari utara, menggenang di beberapa cerukan batu sebagai kolam-kolam, sebelum jatuh sebagai air terjun dan mengalir ke selatan menuju Sungai Cisadane. Di permukaan batu raksasa di Sungai Ciangsana itulah terdapat cerukan berbentuk sepasang telapak kaki orang dewasa, sehingga warga setempat menyebutnya batu tapak. Di sana terdapat pula batu dengan cerukan-cerukan kecil seperti lubang congklak, yang di dunia arkeologi dikenal sebagai batu dakon. Ada 11 batu dakon di situs ini dengan jumlah lubang yang berbeda-beda, dari 1 hingga 12 lubang.
Situs Ciangsana ini terletak di Kampung Cilur, Desa Sukaresmi, Kecamatan Tamansari, yang bertetangga dengan Desa Sindang Barang. Situs ini tampaknya belum ditetapkan sebagai obyek cagar budaya, karena tak ada papan pengumuman apa pun yang biasanya melengkapi sebuah situs yang dilindungi pemerintah. Akibatnya, tak ada pemeliharaan yang berarti terhadap situs yang diperkirakan sebagai peninggalan masa Pajajaran di akhir abad ke-15 ini. ”Yang membersihkan paling-paling warga sekitar saja,” kata Encem Masta, sesepuh Desa Sindang Barang.
Seperti sebagian besar situs purbakala di Sindang Barang, situs ini dimanfaatkan warga. Beberapa perempuan dan anak-anak tampak mandi dan mencuci pakaian di sisi barat sungai, yang genangan airnya cukup dalam dan luas. Bahkan, saat Tempo melihat situs ini pada pertengahan Februari lalu, ada sebuah batu bertulis yang dipakai sebagai alas untuk membakar sampah daun-daun bambu yang banyak tumbuh di sekitarnya.
Tak jauh dari Kampung Budaya Sindang Barang terdapat sebuah bukit terjal dengan beberapa rumah penduduk di atasnya. Di dekat pintu pagar rumah Armat tergeletak sebuah batu besar berbentuk kursi malas. Panjangnya sekitar 2 meter, membujur barat-timur. Warga setempat menyebutnya batu selonjor. Batu itu kini jadi bagian dari taman di pekarangan rumah tersebut. ”Ada yang menyuruh mengecatnya, tapi saya bilang jangan. Saya suka bentuknya begitu,” kata Elsa, istri Armat.
Elsa lahir dan dibesarkan di daerah itu. Dia mengaku dulu sering melihat batu besar serupa batu selonjor bertebaran, tapi kini batu-batu itu sudah jarang terlihat karena diambil warga untuk berbagai kebutuhan. ”Karena warga tak tahu, batu itu dipecah untuk dipakai membangun rumah,” katanya.
Tak jauh dari rumah Elsa terdapat batu karut, sebuah monolit yang sangat besar dengan tinggi sekitar dua meter. Batu itu berdiri di halaman rumah Adek, yang juga berjualan bensin eceran di sebelah batu itu. Batu yang menutupi sebagian besar pekarangan itu kini jadi tempat menjemur cucian.
Menurut Encem, batu ini adalah batu karut lelaki, karena ada batu karut perempuan yang berada di bukit lain tak jauh dari sana dan berukuran lebih besar. Batu karut kedua ini tingginya sekitar empat meter dan panjang lingkarannya sekitar 13 meter. Di sisi utaranya, pada bagian dasar batu terdapat sebuah cerukan setinggi 160 sentimeter.
Sebuah pohon cincau menjalar di atas batu itu. Batu itu berada di belakang warung dan kandang ayam milik warga setempat. Jaraknya sekitar 10 meter dari jalan kampung, yang bernama Kampung Batu Karut. ”Dulu ini tempat orang bersemadi,” kata Encem.
Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, batu itu berada di teras teratas dari tiga teras punden berundak. Agus memperkirakan, sangat mungkin tempat itu dulu digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji atau fungsi keagamaan lainnya.
Karena ukurannya yang sangat besar, ada kemungkinan batu ini tidak akan diangkut oleh kolektor batu megalitikum, tapi ancaman kerusakan tetap membayanginya. Pasalnya, ”Kawasan persawahan di dekat batu itu sekarang sudah mulai dikapling-kapling untuk perumahan,” kata Agus. Padahal pemerintah belum menetapkannya sebagai benda cagar budaya yang dilindungi.
Kasus pencurian batu bersejarah sebenarnya pernah terjadi. Pada 2008 pemerintah sempat kecolongan ketika batu kuya, sebuah batu raksasa berbentuk kura-kura seberat enam ton, dicuri dari hutan lindung Haur Bentes, Desa Pasirmadang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Batu itu diangkut menggunakan truk kontainer dan akan dijual seharga Rp 4 miliar kepada kolektor dari Korea. Belakangan artefak purbakala itu ditemukan polisi di Cilincing, Jakarta Utara.
Yang juga jadi masalah adalah ketidaktahuan penduduk tentang nilai sejarah dan budaya batu tersebut. ”Sebelum datang para peneliti ini, saya dulu hanya tahu bahwa itu merupakan tempat yang seram-seram saja,” kata Encim, warga Sindang Barang kelahiran 1951 yang sempat menjadi kepala dan sekretaris desa selama 24 tahun di Pasir Eurih.
Kawasan lereng Gunung Salak memang kaya akan batu megalitik. Lebih dari 60 batu purba tersebar di sini. Nasib batu bersejarah ini memang mengenaskan, padahal sebagian besar situs baru dalam tahap penelitian awal di tangan arkeolog.
Faktanya, salah satu situs di sana sudah dirusak tak lama setelah diteliti. Agus dan timnya pernah meneliti batu bolong, sebuah batu berukuran 37 x 17 sentimeter di tepi sebuah sungai kecil di Pasir Eurih. Di salah satu sisi batu itu terdapat sebuah lubang sedalam 55 sentimeter dan berdiameter sekitar 13 sentimeter, sehingga cukup dimasuki tangan. Para peneliti datang pada 18 Juni 2006. ”Tiga hari kemudian batu itu sudah hancur (dirusak orang),” kata Agus.
Agus menyayangkan kurang sigapnya pemerintah daerah melindungi situs purbakala ini, sehingga ancaman kerusakan dan pencurian terhadap benda tersebut sangat tinggi. ”Padahal sekarang pemerintah setingkat kabupaten pun dapat menetapkan sebuah kawasan sebagai cagar budaya,” katanya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo