Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tisna dan Sampah Cigondewah

Perupa Tisna Sanjaya ”mengotori” Museum Universitas Nasional Singapura. Ia menyodorkan problem ekologis kita kepada Singapura.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga ton sampah saya bawa ke Singapura. Kapan lagi bisa mengotori Singapura, ha-ha…,” kata Tisna Sanjaya. Hup! Ia lalu meloncat ke timbunan sampah yang diboyongnya.

Minggu-minggu ini sampai 24 April nanti, Anda bisa melihat betapa ruang pameran di University Cultural Center, National University of Si­nga­pore, yang tadinya licin bersih, kini penuh sampah plastik. Plastik apa saja. Dari bekas bungkus keripik kentang sampai bungkus es krim. Aneka macam kurungan burung juga digantung-gantungkan dengan tinggi-rendah yang berbeda-beda.

Masuk lebih dalam lagi, kita disodori­ foto-foto sungai, corat-moret rencana penghijauan, video yang berisi wawancara dengan camat atau buruh-buruh, poster-poster protes, sampai plakat seng milik pemerintah daerah Bandung bertulisan ”Selamat datang di kawasan wisata Cigondewah, Bandung”.

Ini adalah bagian dari Cigondewah: An Art Project, sebuah proyek seni dari Tisna Sanjaya yang berbasis lingkungan dan penguatan komunitas. Cigondewah adalah sebuah kawasan di Bandung, tempat masa kecil Tisna, 53 tahun. Dulu Cigondewah me­rupakan kawasan yang asri, tempat Sungai Cisadane mengalir jernih. ”Saat kanak-kanak, saya berwudu dan berenang di sungai. Sekarang tak bisa lagi, karena demikian banyak sampah,” katanya. Tisna juga ingat dulu di Cigondewah banyak pancuran, tempat warga melakukan ritual pada saat bulan purnama. ”Sekarang ritual di pancuran dianggap bidah, dilarang oleh pemuka agama setempat,” ujarnya.

Di Universitas Nasional Singapura itu, ia memperlihatkan betapa tercemarnya Sungai Cigondewah kini. Ia menampilkan foto besar sungai yang permukaannya tertutup oleh apungan sampah. ”Lihat, ini ada masjid kuno di pinggir sungai,” katanya seraya menuding foto.

Tingkat ketercemaran Sungai Cigondewah diperparah karena se­bagian mata pencarian penduduk adalah memulung sampah. Di situ ada pabrik daur ulang. Buruh-buruh mengumpulkan berkarung-karung sampah dan di pabrik itu membakarnya menjadi gumpalan-gumpalan arang padat. Tempat pembakaran biasanya adalah wajan-wajan yang dulu digunakan warga membuat dodol. Arang-arang padat itu nantinya diimpor ke mancanegara. ”Arang itu dikirim ke Korea dan Jepang, menjadi bahan baku pembuatan kemasan komputer atau barang elektronik lain,” Tisna menjelaskan. Gumpalan-gumpalan arang tersebut menjadi materi utama presentasi pamerannya.

Universitas Nasional menggolongkan karya Tisna sebagai art activism. Itu karena Tisna tidak hanya berhenti sebagai seorang periset ilmu sosial yang mereportase dan menganalisis keadaan, tapi juga ingin melakukan perubahan, merevitalisasi lingkungan Cigondewah. Pada 2007, ia membeli kawasan sampah seluas 500 meter persegi. Ia membersihkan kawasan tersebut dan sedikit demi sedikit—dengan menjual lukisannya—membangun rumah, yang digunakannya sebagai Pusat Kebudayaan Cigondewah. Tisna misalnya menukarkan lukisannya dengan jendela dan pintu-pintu antik sebagai bahan rumah milik penyair Sitok Srengenge, yang dikenal memiliki koleksi aneka macam pintu.

Di kawasan rumahnya, ia lalu menanam berbagai pohon. Pengamat seni rupa, Prof Dwi Marianto dan Prof Setiawan Sabana, misalnya, turut menanam pohon gayam di situ. Tiga tahun berlalu, kawasan rumahnya menjadi asri. Pohon-pohon gayam itu tumbuh besar. Menurut Tisna, inisiatifnya menanam itu menjadi virus. ”Warga kemudian ikutan menanam pohon.” Di rumahnya, Tisna lalu membuka latihan silat dan latihan kendang Sunda. Ia membuat Paguyuban Pencak Silat Putra Siliwangi.

Para buruh sampah akhirnya sering kongko-kongko di situ. Beberapa di antaranya terlibat latihan silat. Tisna kemudian meluaskan aktivitasnya. Ia mengajak warga setempat melakukan performance di sungai, membuat topeng-topeng, membuat proyek kincir air, dan melakukan arak-arakan. Di kawasan itu juga terdapat lapangan yang selalu menjadi arena adu burung merpati. Itulah sebabnya di Singapura ini Tisna membawa berbagai kurungan burung. Tisna mengajak para penyuka burung merpati melakukan kegiatan seni.

Salah satu target Tisna adalah membuat lapangan sepak bola. ”Saya menabung uang buat membeli kawasan sampah lagi di sini untuk lapangan sepak bola,” katanya. Ia di situ sudah membentuk kesebelasan sepak bola anak-anak Cigondewah.

Yang dilakukan Tisna walhasil sebuah kritisisme yang fleksibel tapi penuh strategi. Tisna tahu diri bahwa ia warga baru di Cigondewah. Ia mendekati warga, memasyarakatkan lingkungan, dengan cara yang tak ingin frontal. Penyadarannya lewat jalan kesenian. Ia bergaul, masuk ke komunitas buruh, dan mengajak mereka berpartisipasi secara pelan-pelan. Ia menghindari konflik. ”Saya tak ingin menempatkan diri sebagai hero,” katanya.

Cara Tisna menyusun pameran—menghadirkan seluruh proses yang sudah dilakukannya di Cigondewah—patut dipuji. Tisna hirau terhadap detail. Detail seolah suatu estetika sendiri. Perhatikan misalnya puluhan stoples berisi air yang dipajang Tisna di pameran ini. Stoples itu berisi air-air dari sumur dan selokan penduduk setempat—air yang bersih dan tercemar. Di stoples itu dapat kita baca air di dalamnya dari sumur Pak Haji, sumur Bapak Enden, sumur Ibu Mari, dan sebagainya.

Dua lukisan Tisna, yang tidak berhubungan dengan Cigondewah tapi berkaitan dengan sampah dan buruh, juga dipajang. Satu lukisan menggunakan materi dari buku-buku yang terbakar. ”Ketika Pasar Palasari—pasar buku di Bandung—terbakar, saya mengumpulkan buku-buku yang hangus, dan saya tempelkan di kanvas,” katanya. Satunya lagi sebuah lukisan yang penuh tempelan arit-arit membentuk sosok orang. Secara keseluruhan, pameran Tisna adalah pameran yang ekspresif, lugas. Tidak diindah-indahkan. Tidak takut kotor. Tidak takut akan dicap terlalu verbal. ”Ini pameran post avant-garde. Seni sebagai jalan kehidupan,” katanya sembari ketawa.

Bagi warga Singapura, pameran sampah Tisna ini mungkin sangat mengejutkan. Singapura memiliki prob­lem dengan air. Pasokan air bersih Singapura selama ini bergantung pada Malaysia. Pemerintah Singapura berjuang untuk bisa memiliki sumber air bersih sendiri. Mantan perdana menteri Lee Kuan Yew, dalam wawancaranya dengan para wartawan Strait Times—dan dalam buku terbarunya, Lee Kuan Yew: Hard Truths to Keep Singapore Going (Maret 2011)—menyebutkan ketidakmandirian Singapura dalam hal air bersih adalah kelemahan Singapura. Maka ia mendukung sepenuhnya proyek Newater—sebuah proyek yang membebaskan Singapura dari ketergantungan air pada Malaysia

Warga Singapura bisa kaget karena mereka bergulat untuk memiliki sumber air, sementara Indonesia berlimpah dengan air tapi sungai-sungainya kian hari kian busuk, kian tercemar. ”Tisna adalah contoh seniman yang tidak melulu bekerja di studio, tapi berinteraksi konkret dengan komunitas. Ini yang jarang dilakukan seniman Singapura,” kata Ahmad Mashadi, Direktur Museum Universitas Nasional Singapura. Pameran ini direncanakan diboyong ke galeri di Indonesia. Namun, bila berpameran di sini, tentu Tisna harus menambah bobot ke­jutannya—karena beberapa materi yang disajikannya telah biasa di sini.

Seno Joko Suyono (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus