Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Beda Aturan Penghinaan terhadap Presiden di Berbagai Negara

Thailand dan Jepang hanya mengatur pasal penghinaan terhadap raja, ratu, atau kaisar.

10 Juni 2021 | 00.00 WIB

Sebuah stiker merusak potret Raja Thailand Maha Vajiralongkorn sebelum dihapus saat rapat umum menyerukan penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan reformasi monarki, di Bangkok, Thailand, 19 September 2020. REUTERS
Perbesar
Sebuah stiker merusak potret Raja Thailand Maha Vajiralongkorn sebelum dihapus saat rapat umum menyerukan penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan reformasi monarki, di Bangkok, Thailand, 19 September 2020. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Thailand dan Jepang hanya mengatur pasal penghinaan terhadap raja, ratu, atau kaisar.

  • Penghinaan terhadap perdana menteri di Thailand dan Jepang tidak diatur karena perdana menteri merupakan kepala pemerintahan.

  • Perbandingan pasal penghinaan terhadap presiden di berbagai diduga hanya mencari-cari alasan untuk memuluskan pasal itu dalam rancangan KUHP.

JAKARTA – Direktur Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, meminta memerintah tak mencari-cari alasan untuk memuluskan rencana pengesahan delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Ia mengingatkan bahwa pengaturan delik serupa di negara lain hanya berlaku bagi kepala negara yang menjadi simbol nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Erasmus mencontohkan penerapan pasal serupa di Thailand dan Jepang. Perbuatan penghinaan di dua negara ini hanya mengatur tindakan yang ditujukan kepada raja, ratu, atau kaisar. Namun kedua negara tersebut tidak mengatur tindak pidana penghinaan terhadap perdana menteri. "Jangan membandingkan hal yang salah mengatur dan berbeda. Itu menunjukkan tim perumus RUU KUHP tidak cermat," kata Erasmus, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Erasmus, kedua negara tersebut tidak mengatur penghinaan terhadap perdana menteri sebagai tindak pidana karena tugasnya hanya sebagai kepala pemerintahan. Tugas serupa melekat pada presiden di Indonesia. Dengan demikian, segala ekspresi masyarakat kepada kepala pemerintahan patut dianggap sebagai kritik yang semestinya dilindungi dalam sistem demokrasi.  

Organisasi nirlaba yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, Freedom House, melaporkan bahwa belasan negara masih menghukum warganya yang dianggap menghina presiden, hakim, hingga petugas pemerintahan. Salah satunya adalah Turki, yang mengatur hukuman 1-4 tahun penjara bagi penghina presiden. Regulasi ini memakan korban seorang jurnalis yang dihukum 16 bulan penjara lantaran menerbitkan artikel seputar tindakan pemerintah dalam bencana gempa di Turki pada 2009. 

Mahasiswa membawa potret Presiden Joko Widodo saat unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di Patung Kuda, Monas, Jakarta, 10 November 2020. TEMPO/Subekti

Satu dekade berselang, parlemen Rusia juga merevisi Undang-Undang Informasi dengan mengatur hukuman bagi penghina pemerintah. Namun Rusia hanya mengatur hukuman denda bagi penghina pemerintah, yaitu sebesar 100 rubel atau setara dengan Rp 21,3 juta.

Erasmus mengatakan pemerintah semestinya mengembalikan semangat revisi KUHP untuk membebaskan diri dari aturan kolonial. Sedangkan pasal penghinaan terhadap presiden justru berlawanan dengan semangat tersebut. "Jangan sampai kembali lagi ke era kolonial," katanya. 

Delik penghinaan terhadap presiden diatur dalam Pasal 218 dan 219 RUU KUHP. Kedua pasal tersebut memuat bahwa tindakan menyerang kehormatan presiden ataupun wakil presiden di muka umum melalui siaran, tulisan, atau gambar diancam pidana paling lama 4,5 tahun penjara. Lalu Pasal 220 membolehkan presiden atau wakil presiden yang merasa terhina melaporkannya secara tertulis ke penegak hukum. 

RUU KUHP turut memuat ancaman pidana bagi warga yang dianggap menghina kekuasaan ataupun lembaga negara. Sanksi maksimum yang diatur dalam Pasal 353 dan 354 adalah dua tahun penjara. Hukuman lebih berat hingga maksimum tiga tahun dapat dijatuhkan pengadilan jika tindakan warga menyebabkan kerusuhan dalam masyarakat. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly berdalih bahwa pemerintah tetap mempertahankan pasal tersebut untuk melindungi harkat dan martabat presiden sebagai kepala negara. "Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (penghinaan terhadap presiden). Di beberapa negara, (pasal) itu hal yang lumrah," ujar Yasonna dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Menurut Yasonna, masyarakat boleh saja mengkritik kebijakan presiden dengan syarat tidak boleh menyerang urusan pribadinya. Ia berdalih bahwa aneka batasan itu dibuat untuk membuat masyarakat Indonesia lebih beradab. "Enggak bisa kalau kebebasan sebebas-bebasnya. Itu bukan kebebasan. Itu anarki," ujarnya.

Yasonna juga menjelaskan bahwa pasal tersebut berbeda dengan pasal-pasal yang telah dicabut Mahkamah Konstitusi. Perbedaan ini dianggap signifikan karena aparat hukum baru bisa mengusut perkara penghinaan terhadap presiden jika diadukan oleh presiden, wakil presiden, ataupun lembaga negara. 

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi, Zaenur Rohman, mengatakan putusan MK sesungguhnya melarang secara tegas segala upaya pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP. "Dikatakan dalam putusan MK bahwa RUU KUHP harus tidak memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal yang sudah dicabut," kata Zaenur. 

Zaenur mengemukakan tindak pidana penghinaan terhadap presiden ataupun lembaga negara semestinya tidak ada. Sebab, pejabat publik dalam sistem demokrasi tidak bisa lepas dari kritik ataupun perbedaan pendapat. Lalu ekspresi penolakan masyarakat seharusnya dapat disampaikan dengan cara apa pun. 

Menurut Zaenur, kritik kepada pejabat publik sangat penting untuk mencegah adanya konflik kepentingan dan menghindari terjadinya korupsi. "Sekeras apa pun kritik, tidak boleh dilarang," katanya. 

ROBBY IRFANY | DEWI NURITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus