Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi, tapi kesibukan di bangunan kecil seluas separuh garasi mobil itu sudah dimulai. Bangunan itu tanpa dinding, hanya memiliki atap seng sebagai pelindung dari sengatan matahari dan kucuran hujan. Halamannya penuh dengan kelawang atau bonggol pohon kelapa dan di dalam bangunan itu terdapat beberapa dol, gendang besar seperti beduk masjid.
Seorang lelaki kurus bertubuh kecil tampak asyik membersihkan kulit kelawang menggunakan mesin ampelas yang suara bisingnya memenuhi ruang sekitarnya. Iman Komara, satu dari sedikit perajin dol Bengkulu, hampir setiap pagi bekerja di "bengkel" sederhana yang dibangunnya di depan rumahnya di Kompleks Kehutanan, Pasar Melintang, Bengkulu, itu.
Iman harus mulai bekerja sepagi mungkin agar dapat memanfaatkan sinar matahari untuk mengeringkan kelawang, yang menjadi bahan dasar pembuatan dol. "Semakin kering semakin bagus, karena jika tidak kering bunyinya tidak bagus," ujarnya pada pertengahan November lalu. Pohon kelapa yang diambil bonggolnya adalah pohon yang berumur di atas 30 tahun. Jika umurnya di bawah 30 tahun, bunyi dolnya nanti tidak nyaring. Harganya mulai Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu, sesuai dengan ukurannya.
Iman mendapat pasokan kelawang dari Desa Lais, Kabupaten Bengkulu Utara. Tapi dia mulai kesulitan mendapat kelawang yang cocok karena saat ini pohon kelapa banyak yang berjenis hibrida. "Kelawang kelapa hibrida tidak dapat dibuat menjadi dol karena ukurannya kecil," katanya. Karena itu, Iman terpaksa masuk ke kampung di pedalaman yang diperkirakan masih banyak terdapat pohon kelapa besar.
Dol adalah instrumen musik utama dalam perayaan tabut. Menurut Ketua Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu Syiafril Syahbudin Imam Maulana Ikhsad, dol pada mulanya berfungsi sebagai pemacu semangat saat berperang sekaligus musik pelepas lelah sehabis perjalanan panjang ke medan pertempuran.
Dol, kata Syiafril, dalam bahasa Urdu adalah semacam drum, alat musik tertua bangsa Punjab, dan saat ini menjadi akar musik bhangra. Selain di Pakistan, dol telah menyebar ke wilayah Benggala, India, dan beberapa daerah di Sumatera.
Dol dibikin dari kelawang yang bagian dalamnya dikerok sampai hanya menyisakan dinding setebal beberapa sentimeter. Bentuknya mirip mangkuk yang bagian atasnya ditutupi kulit sapi atau kerbau. Untuk memainkannya, dol dipukul dengan tongkat kayu berkepala kain atau karet.
Ukuran dol besar—dol utama pengiring tabut—bermacam-macam, sesuai dengan kelawang yang didapat. Dol yang tergolong besar bisa sepelukan orang dan setinggi paha. Dol besar sering didampingi instrumen musik lain. Ada dol kecil, yang bentuknya mirip dol tapi diameter kulitnya hanya sekitar 50 sentimeter. Ada pula tassa, yang mirip rebana dan berbentuk serupa kuali ceper, yang biasanya ditutup kulit kambing berdiameter sekitar 40 sentimeter. Tassa dipukul dengan rotan.
Untuk membuat dol, mula-mula kulit kasar kelawang dikupas, lalu dibentuk menjadi dol. Bagian dalamnya dikerok sampai menyisakan dinding tipis dengan ketebalan minimal 1,5 sentimeter. Setelah itu, kelawang dijemur selama sekitar sepuluh hari hingga benar-benar kering.
Rahasia dol terletak pada konstruksi bagian dalamnya. Meskipun seluruh alat musik ini tertutup, bagian dalamnya dipaÂsangi senar-senar untuk menciptakan getaran suara. Itu sebabnya mengapa, meskipun tertutup, suara dol tidak mendem. Bagian dalam kelawang juga dicat dengan oli bekas agar tidak dimakan rayap. Dengan cara ini, "Bisa dipastikan dol bisa bertahan hingga ratusan tahun," kata Iman, yang mendapat pelatihan pembuatan dol dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bengkulu.
Tahap berikutnya adalah menutup bagian atas kelawang dengan kulit sapi. Kulit itu diikat ke pinggiran kelawang dengan rotan sego, rotan khusus yang dianggap lebih kuat dibanding rotan lain. Terakhir, bagian luar kelawang digambar dengan motif puncak rebung, motif dol khas Bengkulu yang dicirikan dengan bagian atasnya berupa susunan segitiga warna-warni.
Iman dapat membuat 10 dol sebulan. Jika mendapat banyak permintaan, barulah dia menggunakan tenaga tambahan. Dol bikinannya dia jual Rp 1,7 juta per buah, dan untuk dol berdiameter lebih dari 60 sentimeter dibanderol Rp 2 juta. Selain sanggar seni, sekolah yang punya kegiatan musik dol, dan lembaga pemerintah daerah di Bengkulu, pembelinya berasal dari Bali, Surabaya, dan Jakarta. Iman juga mulai menggunakan media sosial, seperti ÂFacebook, untuk memasarkan produknya.
Selama berabad-abad dol dianggap keramat dan hanya ditampilkan setahun sekali selama 10 hari perayaan tabut. Belakangan, para seniman setempat mulai melihat potensi dol sebagai instrumen musik mandiri. Maka dol pun dicoba untuk tampil di luar acara tabut. Musik dol pertama kali ditampilkan tanpa tabut pada 1985 oleh Sanggar Mayangsari asuhan Aulia. Menurut Aulia, saat itu dol dipinjam oleh sanggar untuk mengiringi pergelaran tari. Ini mengawali "revolusi" dol.
Syukri Ramzan, pengasuh dan penata musik sanggar itu pada masa awal, lantas menambahkan berbagai alat musik pengiring dol, seperti serunai, ketok bambu, dan piring. Dia juga menciptakan berbagai komposisi musik berbasis dol seperti Rentak Bebuai, yang diilhami Bebuai, lagu rakyat Bengkulu; Rentak Gempa, yang melukiskan suasana Bengkulu setelah gempa bumi pada 2000; Gering, yang melukiskan ketakutan; dan Beruji Dol, yang menggambarkan pertarungan antarkelompok tabut.
Sejak itu, beberapa sanggar kesenian di kota tersebut mulai membentuk kelompok musik dol. Musik dol pun mulai digunakan untuk acara penyambutan tamu, festival budaya lokal, bahkan dipentaskan di berbagai festival musik di Indonesia dan luar negeri.
Malah pemerintah Bengkulu melalui Dinas Pendidikan Nasional telah memasukkan musik dol ke mata pelajaran kesenian daerah. Hal ini mengakibatkan bermacam kelompok musik dol tumbuh di daerah ini dan rata-rata pemainnya kaum muda, terutama anak usia sekolah. Namun musik dol hingga saat ini masih dimainkan anak laki-laki, mengingat ukurannya yang besar dan harus dipukul keras. "Revolusi" dol masih menunggu satu tahap lagi ketika perempuan pun mendapat tempat di sana.
Phesi Ester Julikawati, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo