Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belatung-belatung di tangan pasien bergerak-gerak mendekati sumber cahaya. "Ia jalan-jalan, kayak gerakan ulat," ujar dokter spesialis bedah plastik Vera Ikasari menirukan gerakan belatung dengan kaisan ibu jari di atas tangannya sendiri. Sekitar 200 belatung yang sudah kenyang itu pun siap "dipanen". Cukup tiga hari belatung diperam dalam luka tertutup kasa, dan tugas mulianya pun selesai. Mereka telah membantu dokter menyembuhkan borok.
Hewan yang demen hidup di jaringan makhluk hidup yang membusuk itu sejak dulu dihindari karena menjijikkan. Tapi kini mereka menjadi salah satu sarana untuk menyembuhkan luka. "Khususnya untuk luka lama yang tak kunjung sembuh," kata dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, ini.
Di antara luka menahun yang paling banyak membutuhkan bantuan para belatung adalah luka pada penderita diabetes. "Karena luka diabetes biasanya kronik," ujar anggota staf pengajar Divisi Metabolik Endrokrin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dokter Tri Juli Edi Tarigan, yang ditemui terpisah. Tapi belatung-belatung itu juga bisa menyembuhkan luka di sakrum (tulang yang terletak antara tulang pantat dan tulang ekor), luka bakar, luka karena komplikasi penyakit lain (lever atau ginjal), hingga luka pada penderita kanker.
Secara teoretis, terapi dengan larva ini bisa untuk semua luka. Tapi luka karena kecelakaan atau luka trauma pada anak-anak biasanya cepat sembuh, jadi tidak perlu pengobatan khusus. Berbeda dengan penderita penyakit komplikasi, seperti diabetes melitus, lever, dan ginjal. Luka mereka lama sembuh karena organ dalam tubuhnya terganggu. Hati dan ginjal yang terganggu, misalnya, tidak mampu memproses zinc dengan baik sehingga tidak terdistribusikan dengan baik. Padahal zinc dibutuhkan untuk mengeringkan luka.
Sudah banyak teknik perawatan luka dikembangkan untuk penyakit-penyakit ini. Misalnya teknik tajam (pemotongan jaringan mati), terapi hiperbarik (oksigen tekanan tinggi), atau pemakaian bahan-bahan biokimia (gel dan enzim). Prinsip semua teknik itu sama: "Menghilangkan jaringan mati," kata Tri Juli. "Sebab, kalau sudah terpapar kuman dan kondisinya basah, jadinya nanah," ujar Vera. Jika jaringan mati yang tempat favorit kuman itu sudah dihilangkan, jaringan sehat tak akan terganggu untuk tumbuh lagi.
Ini sebenarnya bukan teknik baru, bahkan sudah dipakai oleh suku Maya di Amerika Selatan dan Aborigin di Australia. Ilmu kedokteran modern baru menemukannya pada awal abad ke-20. Saat Perang Dunia I, seorang prajurit yang mengalami patah tulang terbuka tertinggal dalam peperangan. Ia ditemukan dalam keadaan hidup. Lukanya sudah dijejali belatung. "Tanpa antibiotik, tanpa minum, ajaibnya lukanya tidak infeksi," kata Vera. Dokter bedah tulang yang menanganinya, William S. Baer, menyadari bahwa belatung selektif memilih makanannya. Belatung hanya memakan jaringan mati (necrotic) dan meninggalkan jaringan sehat berwarna merah jambu. Ia pun getol mengembangkan teknik ini dan didapuk sebagai bapak terapi belatung modern.
Sejak 2004, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat memberi izin distribusi belatung untuk medis. Penggunaannya untuk terapi borok kaki pasien neuropatik (untuk kerusakan saraf penderita diabetes, AIDS, dan ginjal), luka bekas baring, luka akibat terhambatnya aliran pembuluh vena, luka trauma, dan luka pascaoperasi. Pada 2008, Asosiasi Paramedis Amerika Serikat (AMA) bersama Pusat Pelayanan Bantuan dan Perawatan Kesehatan membuat tata laksana penggunaan belatung sebagai terapi medis.
Di Jakarta, terapi belatung bisa ditemukan di RS Medistra dan RSU Bunda Jakarta. Menurut Vera, baru setahun terakhir terapi ini masuk ke Jakarta. Memang belum populer karena masih ada sugesti bahwa belatung itu kotor, jijik, dan menggelikan. "Secara agama kadang dianggap sumbernya tidak bersih," ucap Tri Juli. Padahal belatung untuk terapi adalah belatung yang steril, dikembangkan perusahaan bioteknologi dan aman dari sisi medis. Steril maksudnya adalah belatung yang bebas hama. Belatung ini masih bisa menjadi lalat dan bereproduksi.
Larva lalat botol gangsa awalnya tinggal di media agar dalam botol seukuran sabun batangan. Ia perlu dua hari perjalanan untuk sampai ke Indonesia dari Singapura. "Jadi kami tidak membuat stok. Kalau ada pasien baru pesan," ujar Vera. Di dalam botol, larva ini hanyalah jentik-jentik sepanjang 0,5 sentimeter. Mereka siap berendam dan membesar dalam kolam makanan bernama jaringan mati.
Sangat mudah untuk menanam belatung di luka. Pertama, kata Vera, luka dibersihkan dengan cairan fisiologis (larutan yang sesuai dengan cairan tubuh) sehingga tidak terkena infeksi dan nanah pun ikut tersapu. Kemudian area luka diÂseka dengan kapas agar tidak terlalu basah, tapi juga tidak boleh terlalu kering. "Luka yang bagus diobati itu dalam kondisi lembap," ucapnya. Kelembapan membantu migrasi sel dan mengurangi rasa nyeri ketika kasa pembalut diganti. Suasana ini juga cocok untuk tempat hidup Lucilia cuprina, si calon belatung yang habitatnya di tempat yang lembap, gelap, dan agak tertutup.
Untuk memindahkan larva dari botol, kita cukup menuangkan cairan fisiologis ke botol itu, dikocok dengan lembut hingga media tempat tumbuh larva tersebut (agar) melembek. Cairan itu kemudian dioleskan di seluruh permukaan luka, ditutup dengan kasa, dan proses pun selesai.
Selama tiga hari, ratusan "uget-uget" ini berubah ukuran hingga tiga kali dari semula menjadi 1,5-2 cm. Mereka mengeluarkan enzim serin protease untuk menghancurkan jaringan secara perlahan, merusak protein di jaringan mati, lalu memakannya. "Semuanya (jaringan mati) dibabat sama dia," kata Tri Juli.
Tapi tidak semua jaringan mati bisa termakan. Kadang tersisa dalam bentuk serpihan di sekitar luka. Maka, setelah tiga hari dan belatung diangkat, luka perlu diguyur dengan larutan fisiologis lagi. "Kalau masih banyak jaringan matinya, ya, ditaÂnami belatung lagi," ujar Tri Juli. Jadi, pasien bisa dua-tiga kali menjadi ladang belatung. Tergantung tingkat keparahan. Prinsipnya, Tri Juli menambahkan, semakin besar luka, semakin banyak yang diaplikasikan. Tak ada perawatan khusus selama terapi, cukup menjaga agar luka tetap lembap.
Tak perlu khawatir belatung akan tertinggal. "Kalau kena cahaya, ia pasti keluar," kata Vera. Lagi pula untuk apa belatung tinggal berlama-lama dan jalan-jalan di dalam tubuh. Toh, makanan favoritnya, jaringan mati, sudah habis. "Belatung sudah kekenyangan," ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Tak ada konsumsi obat khusus selama terapi ini, tak perlu ganti perban setiap hari, bahkan pasien pun bisa pulang ke rumah dan kembali ke rumah sakit untuk membuka kasa. "Keluarga atau orang terdekat pun sebenarnya bisa melakukan ini," kata Vera. Asalkan mereka sudah dididik mengenai tata laksana perawatan luka atau memiliki pendidikan medis. Yang saat ini belum jelas adalah aturan hukumnya. Di Amerika, semua tenaga medis boleh melakukan terapi belatung. Di Indonesia, menurut Vera, tata laksananya masih digodok Kementerian Kesehatan.
Dianing Sari
Terapi Belatung
1. Belatung untuk terapi adalah belatung yang steril, dikembangkan perusahaan bioteknologi, dan aman dari sisi medis. Steril maksudnya adalah belatung yang bebas hama. Belatung ini masih bisa menjadi lalat dan bereproduksi.
2. Untuk menanam belatung di luka. Pertama, luka dibersihkan dengan cairan fisiologis (larutan yang sesuai dengan cairan tubuh) sehingga tidak terkena infeksi dan nanah pun ikut tersapu.
3. Larva dalam botol diberi cairan fisiologis, dikocok dengan lembut hingga media tempat tumbuh larva tersebut (agar) melembek. Cairan itu kemudian dioleskan di seluruh permukaan luka,
4. Kemudian seluruh permukaan luka ditutup dengan kasa. Selama tiga hari, ratusan "uget-uget" ini berubah ukuran hingga tiga kali dari semula menjadi 1,5-2 cm. Mereka mengeluarkan enzim serin protease untuk menghancurkan jaringan secara perlahan, merusak protein di jaringan mati, lalu memakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo