DUA puluh tahun yang lalu, Pekanbaru tak lebih dari sebuah kota
kecamatan dengan setumpuk pasar di bibir sungai Siak. Waktu itu
penduduknya masih kurang dari 50.000 jiwa. Tapi yang tak dapat
dilupakan ketika itu ialah bau apaknya karena banyak kotoran
kuda hampir di sepanjang jalan. Tapi sekarang, sebagai ibukota
Propinsi Riau, Pekanbaru bak wajah janda yang telah dioperasi
plastik.
Di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, jalan utama kota ini,
misalnya, cukup menampilkan tampang kota yang di sekitarnya
bergelirnang minyak. Pasar-pasar mentereng, toko dan
kantor-kantor bertingkat. Lebih-lebih pula karena
angunanbangunan itu muncul dengan beragam model dan arsitektur
menarik. Di jalan utama itu sendiri dengan lebar 25 meter dan
dibelah oleh sebuah jalur hijau yang terawat rapi akan dijadikan
pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan. Sebab di sini
terletak pula kantor gubernur dan walikota yang sekarang sedang
dikerjakan.
Dari seluruh jalur jalan dalam kota, 80% di antaranya sudah
dioles aspal mulus - walaupun tak kurang yang sudah bopeng. Tapi
siapapun maklum bahwa segala yang bagus-bagus itu baru untuk
sebagian dari kota yang punya luas 62,9 km persegi itu. "Belum
seluruhnya terjamah" walikota Rahman Hamid mengakui. Contohnya
mudah saja, bekas kota lama di pinggir sungai Siak itudan yang
sekarang terkenal dengan sebutanPasar Bawah, hampir terlupakan.
Di sini mudah didapati perumahan dan perkampungan yang lintang
pukang bagai tak terurus, membuat pemandangan tak sedap di
sepanjang sungai Siak yang kerap meluap itu. Sehingga jika orang
datang ke Pekanbaru dengan kapal laut dan merapat di pelabuhan,
tak bakal menyangka bagian kota yang suram ini masih terdapat.
"Pembangunan Pekanbaru agak lambat dan belum merata" keluh
Rahman Hamid lagi secara jujur. Penyebabnya bukan hanya oleh
biaya yang terbatas, tapi juga "penanganan masalah perkampungan
di Pekanbaru belum dituangkan dalam suatu rencana induk yang
terarah". Untuk itu sebelum terlanjur ruwet, walikota yang sudah
hampir 7 tahun mengurusi kota ini, tahun ini akan mengadakan
kerjasama dengan Universitas Gajahmada untuk menanganinya.
Tanah
Sebab bagaimana pun juga agaknya Rahman Hamid (48 tahun) faham
bahwa penduduk kota ini semakin membengkak jua. Urbanisasi dalam
waktu 10 tahun terakhir ini cukup terasa. "Terutama dari
Sumatera Barat dan Sumatera Utara" kata Rahman. Ini menyebabkan
penduduk yang tadinya tak sampai 50.000 kini sudah berjejal
sekitar 165.000 jiwa lebih. Bagian terbesar dari penduduk
inijustru mendiami perkampungan di pinggir kota. Dengan luas
kota yang ada sekarang ditambah tingkat kenaikan penduduk
sekitar 4 hingga 6% setahun, tak mustahil dalam waktu 5 atau 6
tahun lagi kota ini akan jadi sesak.
Meskipun untuk waktu sekarang belum begitu mendesak, tapi
Walikota Rahman telah menyampaikan usul perluasan kota ke
pemerintah pusat. Hasilnya memang belum ketahuan. Sebab dengan
sedikit cemas walikota itu mengakui masih ada sedikit hambatan.
"Di luar areal kota Pekanbaru yang ada sekarang, tanah-tanah
sudah dikonsesikan" ujarnya kepada Rida. K. Liamsi, Koresponden
TEMPO di Riau. Maksudnya, adakah para pengusaha minyak yang
mengeram di situ - seperti Caltex di Rumbai - bersedia
memberikan daerah konsesi mereka buat melebarkan kota propinsi
ini.
Kekhawatiran Walikota Pekanbaru agaknya tak pantas
berkepanjangan. Sebab kabarnya perusanaan minyak tadi tentu tak
keberatan jika memang areal mereka dibutuhkan. Yang agaknya
pantas dicemaskan adalah justru di dalam kota sekarang sudah
hampir tak ada tempat lagi untuk membangun beberapa proyek
pemerintah. "Untuk proyek-proyek Inpres pun, tanah di Pekanbaru
kini menjadi problem" kata Rahman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini