Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belum Dijamah Semua

Kota pekanbaru berkembang pesat. Jalan-jalan dan bangunan bertingkat muncul dengan aneka ragam model. Tapi wali kota tetap cemas, kenaikan penduduk mencapai 6% setahun.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh tahun yang lalu, Pekanbaru tak lebih dari sebuah kota kecamatan dengan setumpuk pasar di bibir sungai Siak. Waktu itu penduduknya masih kurang dari 50.000 jiwa. Tapi yang tak dapat dilupakan ketika itu ialah bau apaknya karena banyak kotoran kuda hampir di sepanjang jalan. Tapi sekarang, sebagai ibukota Propinsi Riau, Pekanbaru bak wajah janda yang telah dioperasi plastik. Di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, jalan utama kota ini, misalnya, cukup menampilkan tampang kota yang di sekitarnya bergelirnang minyak. Pasar-pasar mentereng, toko dan kantor-kantor bertingkat. Lebih-lebih pula karena angunanbangunan itu muncul dengan beragam model dan arsitektur menarik. Di jalan utama itu sendiri dengan lebar 25 meter dan dibelah oleh sebuah jalur hijau yang terawat rapi akan dijadikan pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan. Sebab di sini terletak pula kantor gubernur dan walikota yang sekarang sedang dikerjakan. Dari seluruh jalur jalan dalam kota, 80% di antaranya sudah dioles aspal mulus - walaupun tak kurang yang sudah bopeng. Tapi siapapun maklum bahwa segala yang bagus-bagus itu baru untuk sebagian dari kota yang punya luas 62,9 km persegi itu. "Belum seluruhnya terjamah" walikota Rahman Hamid mengakui. Contohnya mudah saja, bekas kota lama di pinggir sungai Siak itudan yang sekarang terkenal dengan sebutanPasar Bawah, hampir terlupakan. Di sini mudah didapati perumahan dan perkampungan yang lintang pukang bagai tak terurus, membuat pemandangan tak sedap di sepanjang sungai Siak yang kerap meluap itu. Sehingga jika orang datang ke Pekanbaru dengan kapal laut dan merapat di pelabuhan, tak bakal menyangka bagian kota yang suram ini masih terdapat. "Pembangunan Pekanbaru agak lambat dan belum merata" keluh Rahman Hamid lagi secara jujur. Penyebabnya bukan hanya oleh biaya yang terbatas, tapi juga "penanganan masalah perkampungan di Pekanbaru belum dituangkan dalam suatu rencana induk yang terarah". Untuk itu sebelum terlanjur ruwet, walikota yang sudah hampir 7 tahun mengurusi kota ini, tahun ini akan mengadakan kerjasama dengan Universitas Gajahmada untuk menanganinya. Tanah Sebab bagaimana pun juga agaknya Rahman Hamid (48 tahun) faham bahwa penduduk kota ini semakin membengkak jua. Urbanisasi dalam waktu 10 tahun terakhir ini cukup terasa. "Terutama dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara" kata Rahman. Ini menyebabkan penduduk yang tadinya tak sampai 50.000 kini sudah berjejal sekitar 165.000 jiwa lebih. Bagian terbesar dari penduduk inijustru mendiami perkampungan di pinggir kota. Dengan luas kota yang ada sekarang ditambah tingkat kenaikan penduduk sekitar 4 hingga 6% setahun, tak mustahil dalam waktu 5 atau 6 tahun lagi kota ini akan jadi sesak. Meskipun untuk waktu sekarang belum begitu mendesak, tapi Walikota Rahman telah menyampaikan usul perluasan kota ke pemerintah pusat. Hasilnya memang belum ketahuan. Sebab dengan sedikit cemas walikota itu mengakui masih ada sedikit hambatan. "Di luar areal kota Pekanbaru yang ada sekarang, tanah-tanah sudah dikonsesikan" ujarnya kepada Rida. K. Liamsi, Koresponden TEMPO di Riau. Maksudnya, adakah para pengusaha minyak yang mengeram di situ - seperti Caltex di Rumbai - bersedia memberikan daerah konsesi mereka buat melebarkan kota propinsi ini. Kekhawatiran Walikota Pekanbaru agaknya tak pantas berkepanjangan. Sebab kabarnya perusanaan minyak tadi tentu tak keberatan jika memang areal mereka dibutuhkan. Yang agaknya pantas dicemaskan adalah justru di dalam kota sekarang sudah hampir tak ada tempat lagi untuk membangun beberapa proyek pemerintah. "Untuk proyek-proyek Inpres pun, tanah di Pekanbaru kini menjadi problem" kata Rahman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus