Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Minnesota, Amerika Serikat, Johannes Marliem menebar ancaman. Direktur Biomorf Lone LLC itu berencana membuka seluruh rekaman percakapan yang dimilikinya bila pemerintah tak melunasi tunggakan kepada perusahaannya dalam proyek kartu tanda penduduk elektronik. "Mau jerat siapa lagi? Saya ada rekamannya," kata Marliem kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Dalam proyek e-KTP, Biomorf adalah penyedia produk sistem perekaman sidik jari merek L-1. Biomorf merekam data biometrik, mengecek data ganda, dan menyimpannya di basis data. Biomorf mengklaim pemerintah masih berutang US$ 90 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun.
Menurut Marliem, file rekaman percakapan tersebut besarnya sekitar 500 gigabita dan berisi percakapan dengan sejumlah orang sepanjang berjam-jam. Marliem mulai merekam percakapannya dengan sejumlah orang yang terlibat dalam proyek e-KTP ketika ia melihat gelagat proyek tersebut bakal jadi bancakan. "Hitung saja, selama empat tahun ada berapa pertemuan?"
Rekaman itu belum ia serahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi meski penyidik dua kali menemuinya: pertama di Singapura sebelum Ramadan tahun ini dan terakhir di Kedutaan Besar RI di Washington pada 5 Juli lalu.
Marliem mengklaim telah memperdengarkan sebagian kecil rekaman tersebut kepada tim KPK, tapi tidak memberikan salinannya. Ia berjanji menyerahkan rekaman asalkan KPK membantunya mendapatkan Rp 1,2 triliun dari pemerintah. "KPK tak mau deal," ujarnya.
Walau tak membawa pulang rekaman, KPK kian yakin akan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam korupsi proyek e-KTP. Dari luar negeri, KPK pun telah mendapatkan keterangan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos. PT Sandipala adalah penyedia blangko e-KTP, anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, pemenang lelang proyek.
Paulus diperiksa KPK di Singapura, tempat ia bersembunyi. Kepada Tempo, Paulus memberi petunjuk bagaimana uang mengalir ke Setya. "Di persidangan disebutkan Anang Sugiana telah membayar Andi Narogong sebanyak empat kali," katanya, Selasa pekan lalu. Anang Sugiana adalah Direktur Utama PT Quadra Solution, anggota lain konsorsium Percetakan Negara RI. Adapun Andi Narogong orang dekat Setya Novanto.
Keterangan mereka dibawa ke gelar perkara di kantor KPK. Tapi ekspose kasus mulai intensif dilakukan pada akhir Ramadan lalu. Di depan lima pemimpin KPK dan pejabat bagian penindakan, para penyidik mempresentasikan perkembangan kasus ini. Keputusan untuk memeriksa Marliem di Amerika juga lahir dari gelar perkara sebelum Lebaran.
Pada akhir Ramadan itu, sidang e-KTP dengan terdakwa dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, masuk pembacaan surat tuntutan. Artinya, segala bukti telah disodorkan dan diuji di depan hakim. Minus kesaksian politikus Hanura, Miryam S. Haryani, yang dicabut di persidangan, semua bukti dan keterangan saksi tak digugurkan hakim.
Tanpa menunggu Irman dan Sugiharto divonis, pada Senin pekan lalu KPK akhirnya menetapkan Setya sebagai tersangka keempat kasus e-KTP sekaligus anggota DPR pertama yang terjerat korupsi itu. Dua hari kemudian, KPK menyasar Markus Nari, kolega Setya di Golkar, juga sebagai tersangka korupsi proyek ini. Adapun Miryam Haryani, juga anggota DPR, menyandang status tersangka pemberian keterangan palsu.
Setya dituduh menyalahgunakan wewenangnya sebagai anggota DPR dalam proyek tersebut sehingga membuat negara rugi Rp 2,3 triliun. Menurut KPK, Setya berperan besar dalam mengegolkan proyek sejak pembahasan anggaran di DPR, mengatur tim yang menentukan spesifikasi material dan peralatan proyek, hingga melobi pejabat Kementerian Dalam Negeri agar memilih konsorsium Percetakan Negara RI yang ia ajukan.
Tak ada silang pendapat berarti di antara pemimpin KPK. Semua komisioner sepakat Setya jadi tersangka, cuma tak seragam dalam menentukan waktu penetapannya.
Yang tak setuju Setya menjadi tersangka didasari alasan KPK sedang disasar Panitia Angket DPR. Dengan menetapkan Setya sebagai tersangka, mereka khawatir KPK dianggap balas dendam sehingga serangan terhadap KPK makin hebat. Toh, semua komisioner akhirnya menandatangani surat perintah penyidikan.
Problem muncul tiga hari kemudian. Pada Kamis pekan lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, masing-masing tujuh dan lima tahun penjara. Keduanya terbukti membuat negara rugi Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Dalam amar putusannya, hakim tak menyebut Setya "melakukan korupsi bersama-sama" Irman, Sugiharto, dan beberapa orang lain seperti yang disebut jaksa dalam dakwaan. Dalam surat dakwaan itu, Setya Novanto dan Andi Narogong disebut menerima Rp 574,2 miliar. Tapi ini pun hilang dalam putusan hakim.
Setya langsung bersyukur ketika diberi tahu namanya hilang dari amar vonis Irman dan Sugiharto. "Alhamdulillah. Ini pertolongan dari Yang Di Atas," katanya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada pada Jumat pekan lalu. Dalam berbagai kesempatan, Setya meminta KPK membuktikan aliran duit Rp 574,2 miliar kepada dia dan Andi Narogong. Setya selalu membantah terlibat perkara korupsi ini.
KPK tak terlalu mempersoalkan raibnya nama keduanya dari amar putusan. Sebelum menjadikan Setya tersangka, penyidik menangkap Andi Narogong di sebuah kafe di Tebet, Jakarta Selatan-dua bulan sebelumnya.
Menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, meski dalam amar putusan tak disebut secara spesifik Setya "melakukan korupsi bersama-sama", perannya telah diuraikan dengan jelas oleh hakim. Misalnya saat Setya menjanjikan berkoordinasi dengan fraksi-fraksi lain di DPR untuk melancarkan penganggaran proyek.
Karena itu, kata Febri, KPK tak khawatir keputusan menjadikan politikus Partai Golkar berusia 61 tahun ini sebagai tersangka merupakan kebijakan keliru. "Hakim menyatakan ada korupsi sejak pembahasan anggaran, bahkan hakim menegaskan ada kerugian negara dalam proyek e-KTP," ujar Febri.
Keyakinan lain adalah hakim tak menggugurkan bukti-bukti dan keterangan para saksi, kecuali keterangan Miryam Haryani, yang dicabut dalam persidangan sebelumnya. Keterangan Johannes Marliem dan Paulus Tannos kian menguatkan peran Setya dalam megakorupsi ini.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo