Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATKALA video kekerasan terhadap seorang mahasiswa difabel Universitas Gunadarma, Kelapa Dua, Depok, dan seorang siswi sekolah dasar di Tanah Abang, Jakarta, beredar luas pekan lalu, kita terperenyak. Kekerasan itu terjadi di lingkungan sekolah dan kampus, yang seharusnya mengawal tumbuh-kembang edukasi.
Kekerasan terhadap siapa pun-berkebutuhan khusus atau tidak-tak dapat dibenarkan. Peristiwa di Gunadarma adalah contoh sempurna miskinnya penerimaan terhadap anak-anak difabel dalam masyarakat kita. Alih-alih membantu teman yang berkebutuhan khusus, sejumlah mahasiswa justru merisaknya beramai-ramai, menyiramkan sampah segala. Insiden ini tak cukup hanya disesali. Harus ada upaya serius mengenali dan menerima mereka apa adanya-baik di lingkungan sekolah maupun dalam pergaulan sosial.
Caranya lewat edukasi keluarga serta pengajaran di berbagai jenjang pendidikan. Sejak dini, para pendidik perlu menanamkan penghargaan pada martabat manusia, tak peduli bagaimanapun kondisi mereka. Proses edukasi yang membuat anak-anak difabel tumbuh mandiri tentu perlu topangan pihak keluarga, sekolah, dan terutama teman-temannya sebagai lingkungan sosial terdekat.
Sanksi skors 12 bulan dari kampus oleh pihak Gunadarma serta pemindahan sekolah dan proses rehabilitasi anak-anak SMP Negeri 273 dan SMP Muhammadiyah 6, Jakarta-dalam kasus penyiksaan siswi SD-jangan dijadikan solusi final. Kekerasan serupa telah berulang kali terjadi. Di Jakarta, pada 2012, sejumlah siswa SMA Don Bosco merisak murid baru. Dua tahun lewat, SMA Negeri 70 mengembalikan 13 siswa kelas XII kepada orang tua masing-masing karena diduga melukai murid baru dalam orientasi sekolah. Pada 2016, sejumlah siswi SMA 3 menyiksa junior mereka: menyiramkan air ke kepala serta memaksa memakai bra di luar baju dan merokok.
Kasus-kasus ini dibahas sejumlah psikolog serta para pemangku kepentingan pendidikan, lengkap dengan aneka usul solusi. Peristiwa pekan lalu membuat kita harus menelaah secara jujur: apakah kita masih jalan di tempat dalam menangani problem kekerasan di sekolah; dan sejauh mana kesiapan dunia pendidikan kita menyediakan ruang bagi murid-murid difabel untuk menikmati proses edukasi dengan aman, gembira, dan efektif.
Sekolah luar biasa lazimnya menjadi tempat belajar anak-anak berkebutuhan khusus. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, perlu mulai melakukan diskresi serius, jangan sampai sekolah luar biasa seolah-olah menjadi pilihan tunggal bagi mereka. Opsi memasukkan mereka ke sekolah umum perlu dibuka lebih lebar. Tentu perlu persiapan khusus, dari metode ajar, pendampingan para guru dalam proses studi, hingga penanaman sikap suportif kepada peserta didik terhadap "anak difabel di sekolah kita".
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1991) mengartikan bully sebagai perilaku negatif berkali-kali oleh orang yang merasa lebih kuat kepada mereka yang lebih lemah. Pelaku cenderung menganggap korban sebagai target yang gampang dilecehkan dan tak berani melawan. Pandangan itu harus diubah secara tuntas. Metode efektif menghentikan bullying atau perisakan adalah melawannya secara tegas.
Pada setiap jenjang pendidikan, selalu ada anak berpotensi melakukan perisakan. Rangkul mereka sebelum terlambat. Kembangkan latihan-latihan empati dan pengendalian emosi-tanpa kehilangan sikap tegas seorang pendidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo