Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETYA Novanto masih bisa bercanda meski sedang dirundung perkara susah. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik pekan lalu. Ia dianggap berperan merancang megakorupsi Rp 2,3 triliun dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun pada 2011-2012 itu.
Ketika Tempo menemuinya di kantor Partai Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat, pada Jumat pekan lalu, Setya lebih banyak tersenyum saat diberondong sejumlah pertanyaan konfirmasi. "Gue salah, lu hantemin. Gue kerja bener, lu hantemin juga," kata Ketua Golkar sejak 2016 itu.
Itu berbeda dengan saat perkara ini masuk pengadilan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, pada Maret lalu. Dari Bandung, Setya menyambangi kantor Tempo untuk menjelaskan gunjingan di media sosial karena berkas perkara kedua terdakwa menyebut namanya. Setya bersumpah tak terlibat perkara itu.
Status tersangka untuk Setya terbilang menggegerkan. Di kalangan politikus, ada anekdot yang menyebut Setya seperti belut yang dicelupkan ke oli. Saking licinnya, ia selalu bisa lolos dari pelbagai jerat perkara hukum.
Dari cessie Bank Bali pada 1998, ia tak tersentuh. Dalam kasus penyelundupan beras Vietnam, ia juga lolos. Korupsi proyek Pekan Olahraga Nasional juga hanya ramai di awal perkaranya bahwa Setya terlibat. Saat hakim menjatuhkan vonis, seperti di banyak perkara lain, nama Setya tak disebut-sebut lagi.
Koneksi dan kelihaiannya membaca peluang membuat Setya licin dalam mengarungi arena politik Indonesia. Setelah Prabowo Subianto gagal menjadi presiden yang didukung partainya, Setya mengalihkan dukungan Golkar ke Joko Widodo. Kadernya pun bisa masuk kabinet dan akuntan lulusan Universitas Widya Mandala Surabaya ini pun lolos dari tuduhan memalak saham kepada PT Freeport Indonesia.
Dalam perkara KTP elektronik, taji dan kelicinannya itu tak berfungsi. Sehari setelah menjadi tersangka, ia menggelar jumpa pers. Politikus yang memulai karier sebagai pencuci mobil dan pengusaha fotokopi ini mengelak dari tuduhan terlibat korupsi e-KTP. "Allah tahu yang saya lakukan," katanya.
Untuk mengkonfirmasi ambyarnya taji politik Setya dan ambruknya dukungan politik dari penguasa, Wayan Agus Purnomo dan Anton Septian dari Tempo menemuinya. Wawancara Setya digabung dengan penjelasannya kepada Tempo pada Maret lalu.
Benarkah Anda mengejar Presiden Joko Widodo ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada hari kedua Lebaran lalu untuk membicarakan perkara korupsi e-KTP?
Enggaklah.
Menurut informasi yang kami dapatkan, Anda meminta jaminan Presiden agar tak terseret perkara itu....
Tidak ada itu.
Di luar Halim, pernahkah Anda membicarakan korupsi ini dengan Presiden?
Kami bertemu untuk tugas-tugas kenegaraan.
Apa yang Anda ingat mengenai proyek e-KTP?
Waktu itu, saya menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar. Sebagai ketua fraksi, saya hanya menerima laporan bulanan. Nah, sepanjang untuk kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat, apalagi e-KTP bisa berguna untuk paspor dan bisa untuk identitas korban pengeboman, buat saya itu baik.
Bagaimana dengan anggaran?
Ada juga pertanyaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi soal anggaran. Selaku ketua fraksi, saya serahkan masalah anggaran kepada Komisi II. Di setiap komisi ada anggota Badan Anggaran dan dilaporkan ke sana.
Sewaktu proses penganggaran, Anda mendapat laporan dari anggota Fraksi Golkar di Komisi II?
Saya menjelaskan bahwa dalam proses anggaran saya tidak ikut campur. Kalau rapat, waktunya selalu pendek karena ada sebelas komisi, belum lagi badan-badan.
Dalam putusan Irman dan Sugiharto, nama Anda tak disebut sebagai penerima aliran uang korupsi….
Syukur alhamdulillah. Ini karena Yang Di Atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo